JILATAN 43

1061 Words
Lathi tak berhasil mengejar Guntho sampai dapat. Bocah laki-laki itu begitu gesit dan di suatu belokan, ia tiba-tiba menghilang. Lathi menghabiskan satu jam untuk mencari tahu ke mana Guntho bersembunyi. Di belokan itu tidak kelihatan ada kolong, lubang atau apalah untuk bersembunyi. Belokan itu di belakang sebuah balai yang jarang dipakai, kadang hanya dipakai untuk para pelancong yang kebetulan mampir untuk minum jamu herbal racikan Bi Seroh. Di sekeliling balai itu hanya rumput tinggi dan pohon kelapa. Lathi mendongak ke atas, Guntho tidak ada di pucuk pohon kelapa. Dicari saksama di dalam balai pun tidak ada. "Ke mana ya Guntho, misterius juga nih bocah." Lathi geleng-geleng kepala. Ia mencari juga tanda-tanda keberadaan Bubung, si iguana. Mungkin saja inderanya terhadap keberadaan sejenis kadal masih berfungsi. Sudah lama ia tak bersinggungan dengan kadal dan sejenisnya. Ia mencoba, berkonsentrasi, tapi tak membuahkan hasil. Ya sudahlah, akhirnya ia kembali ke kamar, menemui Sekaryani. "Habis dari mana?" tanya Sekaryani, agak curiga. "Biasa Ma, berkeliling, bermain, belajar." "Tidak melakukan hal yang macam-macam?" Lathi menggelengkan kepala. Ia pun menunjukkan kondisi tubuh dan pakaiannya. Tidak ada robekan, bercak darah ataupun tanah kotor. "Janji ya sama Mama, Lathi tidak akan melukai diri sendiri lagi. Mama takut, kalau tiba-tiba, suatu waktu Lathi melakukan itu lagi, ternyata Lathi tidak bisa sembuh sendiri." Lathi tercengang, memikirkan kemungkinan itu. Ia pikir benar juga kekhawatiran ibu angkatnya. Dulu memang sempat terlintas pemikiran seperti itu, tapi ia menyingkirkannya. Ia lebih percaya kemampuan ajaibnya itu sifatnya permanen dan selalu berkembang seiring ia melatihnya. Tapi, bagaimana kalau kemampuan itu tiba-tiba hilang? Lathi menyentuh bahu Sekaryani, "Tenang Ma, Lathi sudah tidak melakukannya lagi." Ia pun menceritakan satu kemampuan barunya. "Mama ada yang dirasakan sakit sekarang inikah?" "Leher Mama sakit nih, Nak." Sekaryani cukup takjub dengan apa yang diceritakan Lathi barusan. Setelah darah, ternyata sentuhan Lathi bisa menyembuhkan? Ia penasaran. Lathi senang sekali bisa meringankan sakit yang dirasakan ibu angkatnya. Ia usap-usap daerah leher belakang Sekaryani. Ia memikirkan kesembuhan. Membayangkan aliran darahnya yang mengandung unsur penyembuh dapat mengirimkan khasiatnya melalui sentuhan. "Tanganmu jadi hangat, Nak. Nyaman." Kata Sekaryani. Lathi jadi semakin giat, semangat, energi penyembuhannya berlangsung baik. "Bagaimana, Ma?" Lathi menyudahi. Sekaryani mencoba memutar-mutar lehernya. Rautnya kentara seperti orang baru dipijat super mujarab. "Sudah tidak sakit lagi, Nak." Lathi bertepuk tangan, lalu memeluk Sekaryani. "Kamu adalah anugerah yang dihadirkan alam semesta, nak." Lathi meyakini itu dengan sangat. Malam itu Lathi tidur pulas dan dalam. Sepertinya karena melakukan penyembuhan dengan sentuhan kepada Guntho dan Sekaryani, ia jadi lelah. Tidak seperti penyembuhan menggunakan darah. Penyembuhan sentuhan ini memerlukan energinya lebih banyak. Keesokan paginya Lathi segera mencari Guntho, bocah itu tidak ditemukan lagi. Makin misterius saja. Akhirnya Lathi pergi ke Ki Yono untuk menceritakan penemuan barunya itu. "Sungguh?" Ki Yono takjub, sama halnya dengan Sekaryani semalam ketika diceritakan. "Tapi sepertinya bakal menguras tenaga Lathi, Ki." Ki Yono manggut-manggut. "Masuk akal. Karena saat penyembuhan menggunakan sentuhan itu Lathi mengerahkan konsentrasi, imajinasi yang tidak enteng." "Lathi sepertinya perlu melatihnya." "Ya, perlu sekali. Tapi mungkin kita tidak akan melakukan itu kepada pasien-pasien yang datang. Bisa-bisa Lathi pingsan saking banyaknya pasien. Cukup pakai darah saja. Sama-sama ampuh, bahkan lebih cepat." Hari ini Lathi diambil lagi darahnya. Agak lebih banyak dari sebelumnya. Selagi diambil, Lathi berpikir. "Bagaimana kalau Lathi bisa melatih kemampuan ini untuk menyembuhkan lebih cepat dari penyembuhan darah? Jujur saja, Ki Yono, Lathi agak kurang nyaman diambil darahnya. Ya meskipun Lathi bisa menyembuhkan diri sendiri, sensasi ditusuk jarum sebesar itu bikin tidak nyaman." Lathi menutup pengakuannya itu dengan cengengesan. "Oh, maaf kalau ini buat Lathi tidak nyaman." Lalu Ki Yono mempertimbangkan, dengan mengetuk dahunya beberapa kali. "Kalau Lathi pikir bisa, berarti bisa. Boleh dicoba untuk dilatih. Karena sesuatu yang dilatih akan semakin baik seiring waktu. Tapi ingat ya, jangan melakukan hal-hal yang ekstrim, apalagi dengan Guntho." Jari telunjuk Ki Yono menuding. "Siap, Ki Yono." Lathi pamit duluan. "Selamat menolong umat manusia!" Hari itu yang datang banyak sekali. Sekiranya sudah lima puluh pasien yang ditangani, seratus lagi dipersilakan masuk, setelah menunggu lama di luar gerbang padepokan. Murid-murid padepokan yang awalnya sedang berlatih silat, diminta Bi Seroh untuk ikut membantu di balai pengobatan. Sekaryani, yang lehernya sudah tak sakit lagi, merasa lebih bersemangat hari itu. Ia gesit menyediakan air minum dan cemilan kepada pasien dan keluarga yang datang. Sementara itu Lathi mondar-mandir, berkeliling seluruh Padepokan bahkan menyusuri jalur rahasia yang ditunjukkan Guntho kemarin. Bocah itu tidak kelihatan juga. Aneh. Tadi sebelum pamit pergi, Ki Yono sempat berpesan juga, "Jangan dulu tunjukkan apa yang Lathi bisa selain kepada orang-orang terdekat Lathi, seperti Mama Sekaryani, Guntho dan Ki Yono, ya. Perihal keajaiban ini bisa sangat cepat menyebarnya. Takutnya, Lathi belum siap kalau ada pasien datang dan minta disembuhkan dengan cara sentuhan. Mereka juga kurang suka disuntik sebenarnya. Oke?" "Oke, Ki Yono." Maka satu-satunya yang bisa diajak untuk latihan penyembuhan cara baru ini ya Guntho seorang. Tapi bocah itu ke mana rimbanya? Lathi berteriak di lapangan luas memanggil namanya. Saat langit menunjukkan tanda mau sore, barulah Guntho muncul, mengagetkan Lathi dari belakang. "Hei, dari mana saja sih?" protes Lathi. "Aku menemukan jalur baru lagi." "Dari wangsit?" Guntho mengangguk. "Misterius sekali. Tidak seperti biasanya." Lathi mendengus. "Ah, biasa saja. Semalam aku dapat mimpi lagi. Makanya aku mencari jalurnya." Hening beberapa saat karena Lathi begitu sebal. "Jadi?" Guntho memecahkan kesunyian. Lathi meminta tangan Guntho. Bocah itu menyerahkannya begitu saja. Lathi pura-pura meneliti telapak tangan Guntho. Saat ia tak waspada, tangan Lathi satunya menusukkan jarum ke jari Guntho. Sebelum Guntho mengaduh, jari itu langsung Lathi isap. Hanya sedetik saja, luka jarum itu sudah hilang. "Aku mau melatih kemampuan ini. Aku tidak suka diambil darahku pakai jarum suntik sebesar sedotan itu." "Lalu, aku jadi kelinci percobaannya?" "Ya siapa lagi? Kamu sih suka hilang-hilangan kalau aku cari." "Baiklah." Guntho menyerah, ia merasa bersalah karena suka hilang-hilangan dari Lathi. "Kapan dimulai?" Tahu-tahu Guntho didorong sampai jatuh. Punggungnya terkena ranting mencuat. "Sekarang." Guntho menjerit kesakitan. Lathi langsung membayangkan proses penyembuhan di benaknya, lalu membalik tubuh Guntho dan menekan tangannya di luka, tentu setelah mencabut ranting itu. Guntho menderita lima menit lamanya, sebelum lukanya benar-benar menutup. "Nah, seperti itulah rasanya. Kamu merasakan sakit menderu-deru, tapi kemudian hilang sekejap, sampai kamu linglung dan bahkan merindukan sakit itu. Seperti tak rela sakit itu hilang sedemikian cepat." Guntho mengangkat tangan tanda menyerah. "Baiklah, baiklah,baiklah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD