Bab 1 ☆Masa SMA☆

1391 Words
Suasana kantin tampak ramai. Banyak para siswa yang sedang menikmati waktu istirahatnya dengan membeli makanan yang ada di kantin. Tak tekecuali, Anara Humairah, gadis yang bercirikan kulit kuning langsat dengan rambut panjang yang dikuncir itu tampak menikmati bakso dengan sambal dua sendok. Yah, bakso memang makanan kesukaannya. Terlebih dapat membuat perutnya kenyang sampai waktu pulang sekolah nanti. Suara pecahan terdengar sampai di telinga Nara. Ia menoleh kearah sumber suara itu. Ia melihatnya, dimana seorang gadis sedang menjatuhkan mangkok yang berisi bakso. Tentu pecah dan membuat lantai itu berantakan. Wajah gadis itu tampak sedih. Nara hendak menolong gadis itu, namun langkah kaki seseorang lebih mendahuluinya. Lelaki itu membantu gadis itu mengambil pecahan mangkok. Nara melangkahkan kakinya mendekat. Ia tak peduli pada makanan yang belum habis ia makan. "Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya lelaki itu sambil menatap gadis itu. Nara terdiam melihatnya. Gadis itu mengangguk. "Terima kasih, kak," ujarnya yang mulai menangis. "Sudah, tidak usah menangis. Biar aku bantu bilang ke ibu kantin. Kamu ambil tempat sampah itu ya, biar pecahan mangkok gak kena yang lainnya," ujar lelaki itu dengan suara lembut. Gadis itu mengangguk mengikuti perintah lelaki itu. Nara menatap sekelilingnya, tidak ada yang mau membantu menolong gadis itu. Hanya lelaki itu. Ia tersenyum tipis. Hati lelaki itu memang baik.  Sikap baiknya itu, lambat laun pasti akan membuat hatinya mencintai lelaki itu. Lelaki macam inilah yang ia sukai, dan cintai. Ah, sampai sekarang ia masih kagum. Belum ada rasa sedikitpun pada lelaki itu. Nara memutuskan kembali duduk di tempatnya tadi. Menikmati baksonya kembali sampai habis tak tersisa. Hanya ada mangkok, garpu, dan sendok saja. "Berapa sendok sambalnya tadi?" Nara menoleh kesamping. Lelaki itu duduk disampingnya dengan alis kanan terangkat. Sangat keren dan tampan. "Berapa, ya?" tanya Nara jahil. "Kurangi makan sambalnya, aku gak mau kamu sakit," ujar lelaki itu perhatian. Nara hanya terkekeh pelan. Ia tak bisa makan tanpa sambal. Ah, ia sangat bergantungan pada sambal. Baginya, makan apapun jika tidak ada sambal akan terasa hambar. Yah, itulah dirinya. Sambal itu sudah seperti cinta pertamanya soal makanan. Tak pernah lepas dan tak akan pernah bisa dijauhi. "Kamu kan udah tahu kebiasaanku. Susah banget lepas dari sambal," ujar Nara. Lelaki itu menggerutu pelan. "Bagaimana tadi? Sudah selesai masalahnya?" tanya Nara mengalihkan perhatian lelaki itu. Lelaki itu mengangguk. "Sudah, gadis itu juga sudah tidak menangis lagi. Kasihan, ya. Gak ada yang bantu lagi, cuman ngelihatin saja!" Nara mengangguk setuju. Entah bagaimana sikap orang-orang tadi. Bagaimana hati nuraninya saat melihat kejadian tadi. Ada yang sedang tertimpa musibah dihadapan mata mereka justru tidak ada yang menolong. Hanya diam kaku bak patung dan melongo tak takut jika akan kemasukan laler. Nara sampai gemas melihatnya! "Aku seneng kamu membantunya," ujar Nara. Lelaki itu tersenyum. "Nanti pulang sekolah ke taman kota, yuk?" ajaknya. Nara menggelengkan kepala pelan. "Enggak deh, aku harus bantu-bantu bapak. Bapak lagi sakit." "Sakit lagi?" Lelaki itu langsung saja menipiskan bibirnya. Diam, ia salah memilih pertanyaan. Nara mengangguk sedih. "Bapak merasa sesak dadanya. Pinggangnya juga lagi kesleo." "Kamu jaga bapak, ya. Aku do'akan bapak lekas sembuh," ujar lelaki itu tulus. Nara menatap lelaki dihadapannya dengan senyuman manis. Lelaki itu yang mengajaknya sebulan lalu untuk komitmen. Bukan untuk menjadi sepasang kekasih. Tetapi sahabat yang begitu dekat. Saling berkomitmen untuk setia dan saling menjaga hati. Ia menerimanya karena lelaki itu selalu mengejarnya dan selain itu sikapnya baik. Membuat dirinya terkagum-kagum melihatnya. Lelaki itu juga selalu meyakinkannya bahwa dirinya tidak akan menyakiti Nara dan menjaga perasaannya untuk Nara. Semula lelaki itu ingin menjadikannya sebagai seorang kekasih, namun ia tak ingin karena ia hanya ingin kekasih pertamanya ialah suaminya kelak. Ah, sebuah prinsip yang indah, bukan? Ia selalu berusaha memegang penuh prinsipnya. Jika memang lelaki itu menginginkan status sebagai kekasihnya, ia dengan tegas akan tetap menolak. Ia hanya ingin menjaga prinsipnya. "Aku mau ke kelas dulu, ya," ujar Nara. Lelaki itu mengangguk. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa waktu pulang tiba. Nara dengan semangat memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Keluar kelas lalu berjalan menuju parkiran. Mengambil sepedanya dan dikayuhnya menuju rumah. Disisi lain, seorang lelaki masih duduk diam di depan kelasnya. Naranya pasti sudah pulang. "Kak Gio," panggil seorang gadis. Lelaki itu bernama Gio El Hamid. Gio menoleh kearah gadis yang ia tolong tadi. "Ada apa, ya?" tanya Gio heran melihat gadis itu dihadapannya dan menemui dirinya. "Aku mau mengucapkan terima kasih lagi kepada kakak. Kakak sudah berbaik hati menolongku," ujar gadis itu. Gio mengangguk paham. "Tidak apa, bukankah sesama manusia hendaknya saling tolong menolong dalam hal kebaikan?" Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Melihat gadis itu masih diam di tempatnya dan tidak beranjak pergi, Gio pun bertanya, "Ada apa lagi?" "Kak Gio bawa apa ke sekolah?" Gio mengerutkan dahi. "Bawa tas, dan tentunya bawa tubuh dan jiwa." Gadis itu terkekeh pelan. "Bukan itu maksudku, Kak Gio bawa kendaraan?" "Bawa." "Boleh tidak kalau aku nebeng kakak?" tanya gadis itu. "Kamu tidak dijemput atau gimana?" tanya Gio. "Motorku bocor, kak. Tadi saat hampir masuk gerbang terkena paku." Gio mengangguk paham. Gadis dihadapannya meminta tolong mungkin karena memang tidak ada yang menolongnya lagi. Ia lihat gadis itu sangat pendiam dan tak memiliki teman. "Oke, aku bantu bawa motormu ke bengkel terdekat!" Gadis itu tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih. Gio beranjak dari duduknya menuju parkiran. Gadis itu mengikutinya dan berjalan disampingnya. Selama perjalanan menuju bengkel, Gio mengajaknya berbicara. Sesekali melontarkan candaan yang membuat gadis itu tertawa. Gio jadi rindu Nara, biasanya ia juga sering pulang bersama dengan gadis itu. Namun, kali ini ia malas. Ia ingin jalan-jalan dulu sebelum pulang ke rumah. Kalau sudah sampai di rumah, ia tak akan dibolehkan keluar rumah sekedar bermain. Karena kedua orang tuanya tahu, ia kalau main keluar pasti sampai berjam-jam lamanya. Huh, benar-benar membuatnya bosan di rumah terus. **** Tak terasa lima bulan Nara dan Gio menjalin sebuah komitmen. Nara sudah semakin tertarik dengan Gio. Ia mulai mencintainya. Ah, sangat mencintainya. Gio memang dapat memenangkan hatinya. Lelaki itu memang banyak dikagumi oleh gadis lain karena tampan dan hatinya yang baik. Menolong orang lain tanpa pandang jabatan. Baik lelaki atau perempuan ia tolong. Ia juga percaya sama Gio. Walau terkadang, tak jarang banyak sekali para gadis yang memanfaatkan kebaikan Gio. Ia sering menasehati hal ini kepada Gio. Lelaki itu mengakuinya, walau kerap rasa kasihan timbul dihatinya. Saat ini ia sedang menunggu Gio di kantin. Ia menatap dari kejauhan Gio datang bersama seorang gadis. Lumayan cantik. Entah apa yang dibicarakan keduanya, Gio juga sesekali tertawa menanggapi perkataan gadis itu. Ia merasa cemburu melihatnya. Maklum kan, ia sudah mencintai Gio! Gio tersenyum menatapnya, lelali itu duduk dihadapannya. "Mau pesen apa?" Nara menggelengkan kepala. "Gio, boleh aku duduk disini?" tanya seorang gadis yang berbicara dengan Gio tadi. Gio mengangguk saja. Ia pikir tak apa, tempat umum juga. "Mau pesen apa? Aku pesenin bakso lagi?" tanya Gio. Nara menggelengkan kepala. Gio menghela nafas. "Aku beliin bakso deh, ya. Kamu tunggu disini." Nara mengangguk. Gadis itu ikut berdiri dan menyusul Gio. "Gio, pulang sekolah nanti bisa kan antarin aku pulang?" tanya gadis itu. Nara mendengarnya, karena kebetulan tempat duduknya tak jauh dari tempat berdiri Gio sekarang. Ia menajamkan pendengarannya. "Kenapa lagi?" Nara terkejut mendengar perkataan Gio. Lagi? Apa keduanya sering pulang bareng? "Aku gak bawa motor, orang tua ku gak bisa jemput," ujar gadis itu dengan cemberut. "Nebeng temen bisa, kan?" tanya Gio. Gadis itu menggelengkan kepala. "Enggak ada yang mau nebengin aku." Gio mengangguk mengiyakan. Nara kecewa akan keputusan Gio. Kenapa Gio saja yang dimintain nebeng? Kenapa bukan yang lainnya? Ah, benar-benar tak masuk akal. Nara menatap datar bakso dihadapannya. Gio sudah duduk kembali, sedangkan gadis itu tadi masih antri di penjual jus. "Makan!" titah Gio perhatian. "Gio, kamu sering nebengin gadis itu tadi?" tanya Nara memastikan. Gio tersentak. Ia lalu mengangguk. "Kenapa? Sejak kapan?" tanya Nara. "Baru dua minggu ini, Nara. Saat kita jarang pulang. Aku kasihan sama dia. Nara menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu tahu gak sih, kalau gadis itu manfaatin kamu?" tanya Nara. Gio menatap kedua mata Nara, ia menggelengkan kepala pelan. "Manfaatin gimana sih, Nara?" "Tiap hari nebeng kamu dengan alasan yang sama. Kentara banget kalau dia sengaja," cetus Nara tak suka. Ia hanya ingin menyadarkan Gio. Untuk sekedar melarang Gio, ia rasa ia tak berhak ketika lelaki itu hanya berniat baik menolong gadis itu. Namun, Gio hanya dimanfaatkan ia rasa. "Sudahlah, kamu jangan berfikir begitu sama orang lain. Kamu gak kenal dia juga. Kalau membantu orang lain harus ikhlas, Nara," ujar Gio. Nara mengangguk saja. Ia berusaha sabar. Ia berharap Gio tidak menyakiti perasaannya. Ia terlalu percaya pada Gio dan ia mencintainya. Walau memang statusnya dengan Gio hanya sebatas komitmen saja, bukan sepasang kekasih. Bagaimanapun Gio sudah memberinya harapan juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD