Chapter 4 - Other Girl

1047 Words
Sudah hampir setengah jam, Justin masih juga enggan beranjak dari duduknya. Sabuk pengamannya bahkan belum ia lepas. Ia menatap kosong kedepan di mana pintu mansion mewahnya berada. Justin ingin segera keluar, tapi di sini dia merasa nyaman. Entah karena godaan apa yang berhasil membuatnya tinggal begitu lama, dalam keheningan pula. Justin menoleh ke samping. Di mana Evelyn tengah tertidur. Suara napasnya halus tanda perempuan itu benar-benar pulas. Justin ingin membangunkannya, tapi sesuatu di dalam diri Justin memaksa untuk tidak. Richard, si kepala pelayan, mengetuk jendela dari luar. Justin menurunkan kaca mobilnya dan menatap Richard. "Ada apa?" "Kamarnya sudah siap, Tuan." Richard menjawab dengan anggukan sopan. Ia tidak melirik sedikitpun ke arah Evelyn karena dia tahu hal itu tidaklah sopan. "Ya," balas Justin datar. "Ah ya, Richard!" Richard baru saja hendak berbalik saat Justin kembali memanggilnya. "Tuntun dia ke kamar saat dia bangun nanti," perintah Justin. Richard hanya menjawab dengan senyum dan anggukan tipis. Kemudian pria tua itu tetap berdiri di sisi penumpang saat Justin keluar dan masuk ke dalam mansionnya, meninggalkan Evelyn yang masih tertidur di dalam mobil.   ***   Setelah merapikan semua barang-barang di kamar baruku, aku meraih baju piyamaku kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuhku benar-benar lemas, pusing dengan perut mual dan aku masih mengantuk. Justin begitu tega meninggalkanku tertidur di dalam mobilnya sampai berjam-jam. Untung saja ada Richard yang kemudian menuntunku masuk dan membawaku ke kamar. Saat air hangat yang memancur dari shower menerpa tubuhku, aku menghela napas panjang. Kupejamkan mata, sedang jemariku tanpa sadar menyentuh dan mengelus perut rataku. Dimana anakku tengah tertidur. "Kau akan baik-baik saja. Ibu akan menjamin itu. Ayahmu memang tidak mengakui kita, tapi setidaknya, dia ada disini. Benar kan? Kau pasti bahagia." Batinku tersenyum pahit.   * Aku baru saja hendak menaiki ranjang untuk tidur saat sebuah ketukan dipintu mengurungkan niatku. Seorang wanita muda berseragam pelayan berdiri di sana dengan troli berisi makanan, cemilan, buah, air, dan s**u. Aku tersenyum menatapnya, dan dia balas senyumanku. "Nona, ini makan malam Anda," katanya ramah sambil mendorong troli itu lebih dekat padaku. "Hmm?" aku menggaruk tengkukku gugup. Karena ini adalah kali pertama aku diperlakukan seperti ini. Seperti nyonya besar yang berkuasa yang sering k****a di novel. "Nona?" "Uh? Ya, terima kasih." Aku mengambil alih pegangan troli itu darinya. "Panggil saya jika nona membutuhkan sesuatu," katanya sekali lagi dengan ramah, yang kubalas dengan anggukan canggung. Dia tersenyum. "Kalau begitu, saya permisi." Setelah kepergiannya, aku membawa masuk troli berisi banyak makanan itu. Duduk di tepi ranjang, aku menatap mereka tidak enggan. Nafsu makanku hilang padahal aku sedang lapar. Lantas aku hanya mengambil buah apel yang sudah dipotong dan dikupas kemudian memakannya. Setelah beberapa potong aku berhenti. Mengedarkan pandang ke sekitar mencari sesuatu yang menarik untuk membunuh bosan, aku langsung tertarik pada balkon. Seakan mereka berteriak minta dihampiri. Aku tersenyum saat angin dingin malam menerpa wajahku, menerbangkan helaian rambutku. Kedua lenganku kuistirahatkan di pembatas pagar balkon. Lagi-lagi aku tersenyum senang. Bukankah biasanya seseorang yang tengah hamil muda akan ngidam? Seperti menginginkan berbagai macam hal yang terkadang bahkan tidak masuk akal. Lalu kenapa aku tidak? Apa mungkin belum? Usia kandunganku memang belum genap tiga minggu, tapi kenapa aku belum mengidamkan apapun? Aku mengedikkan bahu tidak perduli. Tidak ada yang perlu aku khawatirkan karena hal itu memang normal. Aku memilih untuk menatap gemerlap kota Stratford di kejauhan. Ya, mansion Justin ini memang terletak sedikit di pedalaman. Maksudku, jauh dari keramaian.  Aku tidak tahu alasan kenapa Justin memilih menempati tempat ini daripada mansionnya yang lain. Aku akui, di sini memang indah. Kendati aku hanya pernah melihatnya saat malam saja. "Aku mengerti!" Kepalaku menoleh kesamping di mana sumber suara itu berasal dan melihat Justin tengah berjalan ke pagar balkonnya kemudian bersandar disana. Wow! Aku baru tahu kamarku dengan Justin bersebelahan. Aku meliriknya lagi, tanpa sengaja melihat tangan kirinya tengah menahan ponsel di telinganya. "Ya aku mengerti, Bianca!" Justin tengah berbicara dengan seseorang bernama Bianca di telepon. Tunggu! Siapa Bianca? Apakah itu nama pacarnya? "Kan sudah kukatakan padamu, aku memiliki urusan bisnis di sini jadi untuk beberapa hari kedepan, kita tidak bisa bertemu." Justin berucap dengan nada kesal. Aku tahu menguping pembicaraan orang lain itu tidaklah sopan. Tapi entah kenapa aku tidak ingin beranjak pergi. Toh ini juga merupakan wilayahku kan? Ya, walaupun aku tahu ini milik Justin. Dan kurasa, sudah terlambat untuk memilih pergi karena aku sudah kapalang penasaran. "Oke, aku juga..." Ada jeda yang cukup panjang hingga dia kembali melanjutkan, "...mencintaimu.” Hatiku tidak hancur saat mendengarnya. Aku malah biasa-biasa saja. Mungkin... sedikit kecewa? Entah kenapa. Tapi aku bersyukur karenanya, karena itu artinya, aku tidak melanggar persyaratan hubungan ini. Dan aku akan menjamin untuk tidak akan pernah melakukannya. Sebelum Justin menyadari kehadiranku, aku langsung berbalik dan masuk ke dalam kamarku lagi setelah menutup pintu balkon dengan cukup keras. Bahkan aku sedikit terkejut dengan kelakuanku yang terkesan berlebihan.   * Mataku terbuka perlahan dan aku mendapati kamarku masih gelap. Itu berarti belum pagi. Aku melirik jam berbentuk kotak diatas nakas, pukul 02:47. Aku mendesah pelan. Perutku bunyi dan aku kelaparan. Aku melirik troli di samping nakas yang piring paling besarnya berisi nasi dengan lauk ikan, daging, dan sayuran mentah seperti brokoli, kol, tomat dan wortel. Astaga! Apa mereka yakin makanan ini untukku? Karena sungguh! Aku bukan hewan herbivora yang bisa memakan semua sayuran menjijikkan ini. Aku kembali menghela nafas panjang. Tanganku meraih segelas s**u yang sama sekali belum kusentuh juga sebelumnya. Saat aku hendak meminumnya, aku mencium bau aneh dan sadar s**u di gelas itu sudah basi. Aku lapar, tapi yang ada di benakku adalah sekotak es krim vanila dengan taburan bubuk oreo seperti yang pernah aku lihat di iklan tv. Lantas tanpa pikir panjang, aku langsung membuka pintu kamarku dengan hati-hati. Memastikan untuk tidak di dengar siapapun. Perlahan, aku menuruni gundukan anak tangga satu persatu hingga kaki telanjangku yang tidak beralaskan apapun menginjak lantai dapur. Aku tersenyum puas saat melihat kulkas lantas membukanya, berharap akan menemukan sekotak es krim seperti yang aku inginkan. Namun yang kutemukan hanya botol-botol minuman. Juga beberapa makanan ringan yang sama sekali tidak menarik seleraku. Aku menggerutu dengan kesal dan menutup pintu kulkasnya dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras yang bahkan membuatku terkejut sendiri. Aku berbalik dan langsung mendapati tubuhku membeku saat melihat Justin berdiri tidak jauh dariku dengan telanjang d**a diikuti tatapan dinginnya yang seakan menguar begitu saja dari tubuhnya. Pantas membekukanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD