Chapter 3 - Wedding

927 Words
Ruangan itu berwarna putih. Didekorasi dengan beberapa hiasan sebagai pemanis dengan warna yang nyaris seluruhnya putih. Sebuah kaca bening besar sebagai jendela yang langsung menghadap ke pantai. Dua insan berpakaian serba putih berdiri di tengah-tengahnya. Di hadapan seorang pastur yang tengah mengikatkan mereka kedalam sebuah pernikahan. "I do." Pengantin pria bertuksedo putih menjawab ucapan sang pastur dengan sangat dingin. Kini dia bahkan tengah menatap pria tua itu dengan tajam. Yang dibalas pastur dengan senyuman, ia maklum. Pastur itu tentu berpikir dua pengantin di hadapannya ini tengah gugup dan tidak sabar untuk menjadi pasangan suami istri yang sah. Lain halnya dengan sang pengantin wanita yang kini terbalut gaun putih panjang yang sangat cantik. Kata demi kata yang diucapkan sang pastur seakan terdengar memblur, seperti hujan yang ia dengar di kejauhan. Terlalu banyak yang dipikirkan wanita itu. Tatapannya kosong menatap lurus ke hempasan luas pantai didepannya. Pastur tua dengan senyum manis diwajahnya itu menunggu jawaban dari pengantin wanita yang sedari tadi diam melamun. Membuat sang pengantin pria menoleh padanya. "Ms. Evelyn Victoria Emery," Pengantin wanita itu bernama Evelyn, Evelyn Emery. Hanya menunggu beberapa detik lagi hingga namanya berubah permanen menjadi Evelyn Calvert. Karena pria yang akan dinikahinya adalah putra sulung dari keluarga Calvert, yaitu Justin Calvert. Atau yang bisa Evelyn simpulkan adalah seorang pria b******k. Pria yang telah merenggut segalanya darinya. Memikirkan hal itu membuat mata Evelyn memanas, dia akan menangis dihari pernikahannya jika saja suara deheman pastur tua tidak segera menyadarkannya. "Ms. Evelyn Victoria Emery, would you..." "I do." Evelyn menjawab cepat bahkan sebelum pastur selesai mengulang ucapannya. Setelah doa dipanjatkan, sang pastur mengizinkan kedua mempelai untuk berciuman. Justin mengubah posisinya menghadap Evelyn. Ia menatap istrinya dengan tajam dan dingin, berbeda dengan Evelyn yang kini menatap suaminya nanar. Wanita itu sudah menyerah dengan hidupnya sendiri. Kemudian ia mendekatkan tubuhnya ke Justin dengan wajah tertunduk. Sebelah tangannya ia lingkarkan di leher pria itu. Mereka tidak berciuman, hanya sebuah pelukan yang dingin.  Evelyn hampir saja menjatuhkan air matanya ke tuksedo yang dikenakan Justin jika saja wanita itu tidak cepat-cepat menjauh. Kemudian dia berbalik dan menatap keluarga barunya yang balas menatapnya sama tidak suka. Christian berdiri kaku ditempatnya. Tuksedo yang ia pakai tidak serapi yang lainnya. Sangat jelas tersirat di wajahnya bahwa ia membenci acara ini. Karena ini adalah acara yang sangat tertutup maka yang hadirpun tidak banyak. Hanya keluarga besar Calvert dan Christian seorang. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Evelyn." Justin berbisik disamping Evelyn saat satu persatu kelurga mereka memberi selamat. "Aku tahu, Justin." Evelyn balas berbisik dengan lirih. "Brother, kukira kau akan melajang seumur hidup. Dan lihat sekarang, kau memiliki istri yang sangat cantik dan… seksi." Jaxon menepuk pundak kakaknya dengan bangga, membuat Justin mendecak kesal karenanya. "Justin, aku membencimu. Tapi tolong, jaga kakakku. Aku tidak ingin dia pulang kerumah dengan berlinang air mata karena setelahnya kau tahu apa yang akan aku lakukan padamu." Christian menatap Justin tajam. Ancaman yang keluar dari mulutnya barusan adalah serius. Dia menyayangi kakaknya karena dialah satu-satunya keluarga yang ia punya. "Chris," Evelyn berbisik, kemudian memeluk Christian yang langsung membalas pelukannya. "Kau akan baik-baik saja, Eve. Jangan khawatir," bisik Christian hampir tidak terdengar disela leher Evelyn. Evelyn mengangguk kemudian tersenyum. Semua bisa melihat bahwa pernikahan ini tidak pernah diinginkan. Keluarga Calvert bersikap sangat dingin pada Evelyn sepanjang acara. Yang Evelyn lakukan hanya berdiri seperti pelayan di samping Justin, bukan selayaknya seorang istri. Patricia bahkan selalu menatap Evelyn dengan tatapan menilai. Sangat jelas terlihat bahwa dia tidak suka wanita ini disandangkan dengan putra tercintanya. Sekalipun ini adalah kehendak Patricia sendiri, tapi adakah cara lain yang bisa ia lakukan? Ini juga demi kebaikan keluarga Calvert. Justin juga sudah meminta izin dan apapun yang diinginkannya akan dikabulkan.   ***   “Lain kali, aku ingin kau bersikap lebih baik pada keluargaku." Justin berkata di samping Evelyn sambil mengemudi. Mereka akan pulang ke kediaman Justin. Tempat dimana mereka akan tinggal bersama. "Ya, aku mengerti." Evelyn membalas dengan bisikan. Ucapan Justin barusan tidak bisa dielak bahwa itu menyakitinya. Bagaimana Evelyn bisa bersikap lebih baik atau ramah disaat mereka menganggapnya tidak pernah ada? Evelyn mengusap perutnya. Tiba-tiba saja dia merasa mual dan pening. Ia tahu ini bukan pertama kali, dan memang hal yang wajar. Semakin ditahan Evelyn merasa gejolak di perutnya semakin memberontak ke kerongkongan. "Justin..." Evelyn langsung menangkup mulutnya. Wajahnya berubah pucat. Dan dia mulai berkeringat dingin. Justin menghentikan mobilnya mendadak. Evelyn langsung membuka pintu kemudian keluar. Ia sedikit berlari ke semak dipinggir jalan untuk memuntahkan semua isi perutnya. Di dalam mobil, Justin meperhatikan tubuh Evelyn yang terguncang dan suara muntahannya adalah satu-satunya yang ia dengar. Hati dan pikirannya berdebat untuk menolong, tapi egonya menginterupsi. Dan pada akhirnya dia masih diam menonton dengan debat panjang di kepalanya. Evelyn membuka mata, dia bisa merasakan air matanya mengalir ke pipi. Ia tidak sedang ingin menangis, tapi ini begitu menyiksa. Setelah dirasanya cukup, Evelyn mengambil sapu tangan disakunya yang kemudian ia gunakan untuk mengelap bibir dan keringat di wajahnya. Kepala Evelyn masih terasa pening, ia merasa tidak sanggup lagi untuk berpijak. Maka dengan itu Evelyn berbalik, berharap tenaganya masih cukup kuat untuk sampai ke mobil, tapi saat ia hendak mengambil langkah kakinya tersandung pada pembatas aspal yang lebih tinggi dari tanah yang dipijaknya. Evelyn akan terjatuh, jika saja Justin tidak segera menahan tubuhnya. "Tidak bisakah kau berhati-hati?!" Justin membentak. "Maaf, aku hanya pusing," lirih Evelyn. "Ya, asal tidak menyakiti bayinya," desis Justin dingin. Evelyn mendongak dan menatap Justin dengan kernyitan di dahi. "Sejak kapan kau peduli pada bayi yang kukandung?" kali ini giliran Evelyn yang berucap dingin dan datar. Kalimat itu seakan sebuah peringatan untuk Justin. Ya, sejak kapan dia peduli?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD