Chapter 2 - His

1169 Words
“Apa?! Darimana aku bisa tahu kalau itu anakku?” Nikah? Seorang wanita? Anak? Ugh! Apa yang tengah mereka bicarakan? Dan kenapa aku tiba-tiba menjadi selemah ini bahkan hanya untuk membuka mataku dan mencari kebenarannya? Siapa mereka? Siapa yang tengah mereka bicarakan? Dan siapa itu Justin? “Janin yang dikandungnya, adalah anakmu, Justin! Kau pikir selama ini Mom tidak tahu hah! Dia gadis suci yang telah kau kotori! Mom selalu mengawasinya semenjak malam itu. Mom hanya tidak percaya, bahwa kau melakukan hal sekeji itu pada gadis polos sepertinya,” Setelah ucapan yang cukup panjang itu berhenti terucap, aku mendengar suara isakan. Entah isakan siapa, dan aku benar-benar ingin segera bangun untuk meraih kesadaranku sepenuhnya. Tidak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dibanting. Dan setelahnya, suara erangan keras. Terdengar sangat frustasi. Mataku terbuka pelan. Hal pertama yang kulihat adalah seorang pria yang tengah berdiri jauh dari ranjangku seraya menatapku tajam. Tatapannya benar-benar mengingatkanku pada sesuatu. Ya! Pada seseorang! Diakah....pria itu? Aku terkejut. Spontan tubuhku meringsut ke belakang. Menghiraukan pening di kepalaku yang semakin menjadi. “Si-s-ssiapa kau?” tanyaku dengan takut. Aku bahkan tidak berani balas menatapnya di saat aku tahu dia tengah menatapku tajam. “Dengar, b***h! Ak...” “Evelyn,” “Apa?” “Namaku Evelyn, bukan Jalang. Aku Evelyn,” kataku lirih. Lebih tepat untuk diriku sendiri. Entah kenapa aku menjadi sedikit paranoid setelah malam itu. Aku benci saat seseorang menyebut kata 'jalang' di hadapanku. Seperti petir yang langsung menyambar, membuat perasaan itu kembali datang. Perasaan marah, sedih, frustasi, dan jijik pada diriku sendiri. Ada jeda yang cukup lama. Kupikir pria itu sudah pergi, tapi saat aku mendongak, dia masih di sana. Aku langsung menundukkan kepalaku dengan takut. Dia pria itu! batinku menjerit. Membuat sekujur tubuhku seperti tersetrum listrik. Aku membisu dengan takut. Nafasku berhembus tak beraturan. Dan aku bisa merasakan air mataku mengalir. “Hey, kau baik-baik saja?” Suaranya sama. Dengan bergetar aku semakin meringsut menjauhinya sekalipun aku tahu sudah tidak ada lagi ruang di belakangku. Lututku kutekuk dan kupeluk. Rambutku yang tergerai menutupi wajahku. Aku gadis yang menyedihkan! Ah bukan! Aku jalang yang paling menyedihkan! “Kumohon, tolong aku.” Aku berbisik di sela tangisku yang tertahan dan tubuhku yang bergetar hebat. Aku yakin pria itu tidak akan mendengarnya. “Kumohon, tolong aku,” lirihku lagi. “Evelyn, tatap aku!” pria itu berucap dengan sedikit berbisik dan sangat lembut, tapi aku enggan dan masih takut menatapnya. Ia meraih daguku dan mendongakkan kepalaku, tapi tetap tidak kutatap ia. Kemudian kurasakan jemarinya menyentuh bibirku, membebaskannya dari gigitan gigiku. Dan kurasakan perih setelahnya. “Kau menyakiti dirimu sendiri.” Pria itu berucap dingin. Aku tidak habis pikir akan ucapannya barusan. Siapa menyakiti dan tersakiti disini? Aku memejam sejenak, merasa bahwa detik waktu berlalu lamban. Saat aku kembali membuka mata, aku menatapnya. Aku mungkin salah saat kulihat reaksinya yang sedikit terkejut, atau lebih tepatnya, terhenyak. Tidak lama, karena aku langsung menepis tangannya, mencoba untuk pergi dari tempat terkutuk ini. Akan tetapi tubuhku terlalu lemah, saat aku berhasil turun dari ranjang tubuhku linglung dan aku hampir terjatuh ke lantai jika saja tangan kekarnya tidak menahanku. Kemudian dia mendudukkanku di ranjang kembali, dengan dia yang berjongkok di lantai sembari menatapku dalam. “Dengar Evelyn! Kau tengah mengandung, apa kau tahu itu?” Aku mengangguk lemah sebagai jawabannya. “Aku benci mengatakan ini,” bisiknya kemudian kembali melanjutkan, “anak yang kau kandung bisa saja bukan anakku, kan? Dan dengan begitu, aku ingin kau menggugurkannya. Anak siapapun itu aku sungguh ingin kau menggugurkannya! Ini juga untuk...” Plakkk! Aku menamparnya. Tanganku terasa perih setelahnya seakan baru saja menampar seonggok batu es. Aku hamil. Dan calon bayiku tidak diakui oleh ayahnya sendiri. Oh betapa sempurnanya kini penderitaanku! “Kau pikir apa yang baru saja kau lakukan?!” dia membentak tepat di depan wajahku. Aku tidak kembali menunduk. Malah aku membalas tatapan tajamnya. Mengabaikan rasa sakit dan takutku. “Seharusnya aku yang bertanya! Kau pikir apa yang baru saja kau lakukan?!” suaraku naik beberapa oktaf. “Kau menghancurkan hidupku dan merenggut segala yang kupunya. Dengan membuatku hamil! Ini semua karenamu! Dan dengan mudahnya kau berkata untuk menggugurkan janin ini, yang tidak kau akui?! Dia juga anakmu dan demi Tuhan aku bukan jalang!!!” aku berteriak pada akhirnya. Itu semua karena emosi yang sungguh sudah tidak bisa lagi aku tahan. Aku menangis tersedu dengan kepala tertunduk. “Kau bilang, kau akan bertanggung jawab jika aku hamil,” bisikku lirih sambil mendongak untuk menatapnya. Dia seperti terhenyak lagi. Mulutnya terbuka hendak berkata, tapi ia menutupnya lagi. Keheningan yang membentang cukup panjang. Aku hanya dapat mendengar suara isakan tertahanku. Sekalipun begitu, aku tahu dia masih ada disana. Tepat di hadapanku. “Baiklah, aku akan bertanggung jawab. Gugurkan kandunganmu dan aku berjanji akan membiyai semua kebutuhan hidupmu.” Dengan gampangnya dia berkata demikian. Membuat goresan dihatiku semakin menganga. Dan tangisku semakin menjadi. Sebelum aku menyadarinya, aku berteriak. Tubuhku terguncang dan aku menjambak rambutku sendiri dengan frustasi. Bukan ini yang aku inginkan! Bukan ini yang kumaksud! “Hey hey Evelyn, tenanglah!” Pria itu mencengkram bahuku, sedikit mengguncangnya untuk menyadarkanku. “Bukan itu yang aku inginkan,” bisikku lirih ditengah isakanku. “Aku tidak akan menggugurkannya. Aku juga tidak butuh tanggung jawabmu. Sekarang, biarkan aku pergi. Kau bisa menganggap bahwa aku tidak pernah ada.” Aku sendiri terkejut bisa mengatakan semua itu dengan lancar. Fokusku ada pada matanya yang berwarna cokelat keemasan, dan dia balas menatapku. Kali ini tidak tajam, melainkan lebih lembut, dingin, dan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan dengan kata. Lama seperti itu, akhirnya dia menunduk dan berbalik. Tanpa kata dan tanpa kepastian apapun dia meninggalkanku. Kemudian kudengar bunyi kunci yang di putar. Kurebahkan kembali tubuhku. Mengabaikan mual dan pening di kepalaku. Aku bisa mengatasi ini! Aku akan bisa menjalani semua ini! Aku yakin aku bisa! Tapi aku ragu apakah aku akan bahagia saat melaluinya.   * Saat aku membuka mata, aku melihat seorang pria berdiri di dekat jendela sembari menatap keluar. Dia membelakangiku dan belum menyadari kesadaranku. Setelah cukup siap, aku berdehem membuatnya menoleh dan berbalik kemudian berjalan mendekatiku.      “Akhirnya kau bangun juga,” dia bergumam pada dirinya sendiri seraya mengeluarkan sebuah kertas dari map coklat. “Tanda tangani surat ini.” Dia menyodorkan sebuah kertas yang terdapat sebuah tulisan disana. Aku membaca setiap kata pada kertas putih itu dan sedikit terhenyak. “Kita akan menikah. Tapi di atas kertas kontrak ini. Setelah satu tahun dan bayi yang kau kandung telah lahir, aku berjanji akan menceraikanmu. Tapi sekalipun begitu, aku akan tetap menafkahimu dan anak yang kau kandung,” katanya tanpa sedikitpun menatapku. Mungkin terlalu jijik. Aku tergelak dalam hati. Dia akan menikahiku kemudian setelah itu berjanji akan menceraikanku. Apa itu juga termasuk sebuah pertanggung jawaban? Tapi aku tidak butuh itu! Aku bisa merawat bayiku seorang diri tanpa harus terlibat kontrak kawin dengannya atau apapun itu. Mulutku terbuka hendak mengutarakan penolakanku, tapi ia segera memotong. “Aku tidak meminta, aku memberitahumu yang mana artinya kau harus.” Kemudian ia pergi begitu saja. Meninggalkanku kembali sendiri dengan ucapannya yang terngiang di kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD