Saatnya kembali ke pekerjaan yang sudah menjadi rutinitasnya. Tetapi, ini lebih baik daripada ia berada di rumah. Seburuk apapun pikirannya, di tempat ini, ia mendedikasikan dirinya dengan penuh. Sebisa mungkin, tidak ada kesalahan yang ia perbuat. Karena, ia ingin mempertahankan pekerjaan ini. Meski ia baru bekerja, ia tidak boleh tertinggal dengan yang lain. Dan hari ini, wajah cerianya kembali. Gadis itu berjalan menuju ruangan Yudha untuk menyerahkan laporan keuangan yang sudah disusunnya.
"Selamat pagi, Pak Yudha."
Pria yang tengah menyesap kopi panasnya itu tersedak karena melihat Alyandra yang berada di ruangannya sepagi ini.
"Pak, ini laporan keuangan tiga bulan terakhir. Laporan perpajakan, tagihan dan lain-lain sudah balance. Mohon diperiksa kembali." Alyandra menyerahkan dokumen di tangannya.
"Pagi banget, Aly. Kamu gak kesurupan, kan?" tanya sang atasan bingung.
"Bapak ini lho, saya telat, kena marah. Saya tepat waktu, Bapak heran. Saya cuma gak mau kena marah nanti. Soalnya, saya mau ngerjain yang lain juga hari ini. Kalau sudah laporan, kan pekerjaannya saya cepat selesai."
"Bagus. Gini dong. Jangan teledornya dipertahankan, ya." Yudha mengangkat kedua jempolnya.
Ya, memang bukan tanpa alasan kalau Alyandra sering lupa dengan jadwal, deadline, dokumen yang tertinggal di rumah dan lain-lain. Padahal, ia juga sudah berusaha tak mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Dan di bulan yang baru ini, Alyandra menerapkan kebiasaan yang lebih baik lagi.
"Al, lo udah laporan pengeluaran aja."
"Hish, Kak Nini kalo dateng salam dulu, kek. Ngagetin aja."
Ningsih atau yang sering karyawan panggil Nini ini sudah cukup lama bekerja. Pembawaannya yang santai membuat karyawan baru seperti Alyandra pun nyaman berbicara dan bertanya tanpa canggung.
"Lagian. Biasanya, Aly yang sering ketinggalan laporan."
"Kan, harus menjadi lebih baik, Kak. Ini juga kerjaan bekas karyawan lama masih banyak yang mesti dikoreksi. Makanya, kalau ditunda atau kelupaan lagi, makin banyak banget, dong kerjaannya."
"Mantap, anak muda. Saya suka semangat anda!"
Ningsih menepuk bahu Alyandra pelan sebelum kembali ke kubikelnya.
"Kak Nini emang udah tua?"
"Enak aja! Nggak lah!"
Keduanya tertawa pelan sampai Yudha menginterpsi mereka. "Aly, jangan mentang-mentang hari ini ngumpulin laporan tepat waktu terus bisa ngobrol seenaknya, ya."
"Nggak, Pak. Maaf."
Alyandra memusatkan seluruh pikirannya kepada pekerjaan yang tengah dilakukannya sampai ajakan Ningsih untuk beristirahat pun hanya ia angguki saja.
"Ini orang kalo resign coba kerjaannya di kelarin dulu! Bikin pusing orang baru aja! Kalo salah, gue juga yang kena!" gerutu Alyandra yang masih mencocokkan setiap data yang dipegangnya.
"Kerja boleh, tapi melewatkan waktu istirahat bikin kamu sakit. Saya gak mau ya, ada karyawan saya yang sakit cuma karena gak makan siang. Saya gak mau dibilang gak ngasih hak karyawan."
Pekerjaan Alyandra terhenti ketika seseorang bicara tepat di sampingnya.
"Lho, Bapak?!" pekik Alyandra. Ia baru sadar, kalau di sana memang hanya ada dirinya. Semua orang tengah beristirahat.
"Apa?"
"Ngapain Bapak di sini?"
"Ya, kantor-kantor saya. Terserah saya!"
Alyandra menutup mulutnya karena susah bertanya sesuatu yang sangat tidak penting.
"I-iya maksud saya, Bapak ada keperluan, kan? Tapi, kenapa di sini? Kan, ini tempat karyawan biasa."
"Kalau saya bilang suka-suka saya, ya suka-suka saya."
Alyandra berdecak malas. Setelah insiden kepulangan dari kantor pusat dan ia mendapat omelan dari Yudha, ia berharap tidak akan bertemu kembali dengan sang bos besar. Toh, mereka juga tidak tahu kapan akan bertemu kembali. Tetapi sekarang, pria itu berdiri di hadapannya dengan wajah menyebalkan.
"Saya mau lihat laporan kamu, dong."
Gadis itu mengernyitkan keningnya. Apa tidak salah jobdesk? Bos besar, meminta laporan kepadanya?
"Kalau Bapak mau cek laporan divisi keuangan, bisa langsung ke pak Yudha. Kan, orang di divisi ini pekerjaannya berbeda dan semua sudah ada di pak Yudha."
"Lho, kok jadi kamu yang ngatur saya?"
Alyandra tidak tahu lagi apa yang harus ia ucapkan kepada Aly. Pria itu benar-benar menjengkelkan. Sampai, bunyi perutnya membuatnya mengurungkan niat untuk berbicara.
"Tuh. Kamu kerja terus sampai gak ingat istirahat."
"Iya, Pak. Saya istirahat dulu. Permisi."
"Eh, siapa yang izinin kamu pergi?" Aly menahan lengan Alyandra yang hendak meninggalkan kubikelnya.
"Kamu makan siang sama saya."
"Nggak! Saya bisa ke kantin sendiri."
"Kamu nolak saya yang jauh-jauh datang dari Jakarta?"
"Ya, itu kan demi kerjaan Bapak. Gak ada urusannya sama saya."
Aly yang gemas karena Alyandra terus menjawab perkataannya itu pun langsung menarik lengan gadis itu yang membuatnya bungkam.
"Pak, ini kita mau ke mana?" tanya Alyandra karena ia masih ditarik oleh Aly keluar dari kantornya. "Kantin ada di lantai dua, Pak."
"Memang, saya mau, makan di kantin karyawan kayak gitu?" tanyanya angkuh.
Alyandra hanya mendesah pasrah ketika dirinya sudah berada di dalam mobil mewah milik Aly.
"Kamu kerja terlalu keras, Aly. Ya, maksud saya bagus sih tapi jangan lupakan waktu istirahat. Kamu sama saja tidak menghargai orang yang menata waktu di tempat kerja."
"Hmm."
Aly melirik gadis yang tampak lesu itu.
"Bapak kenapa sih? Saya gak tau salah saya di mana, tapi Bapak kayaknya ngawasin saya banget."
"Saya gak ada masalah sama pekerjaan kamu."
Alyandra memberanikan diri menoleh ke arah pria yang tengah fokus menyetir tersebut.
"Urusan saya sama kamu bukan urusan pekerjaan."
"Maksudnya?"
"Nah, ini restonya." Aly tidak menjawab pertanyaan Alyandra dan memilih mengubah topik pembicaraan mereka.
Alyandra tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat restoran yang akan dimasukinya. Ini bisa untuk empat sampai lima kali makan siangnya. Ia juga harus menghemat pengeluarannya. Tetapi, ia juga tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali ke kantor saat ini karena ia bahkan meninggalkan ponselnya karena terburu-buru. Untung saja, ia sempat menyambar dompetnya yang ia letakkan di atas meja kerjanya tadi.
"Kalau kamu bengong di sini, kamu bisa telat masuk nanti."
"Tapi, Pak. Saya makan nanti aja, deh. Saya lagi hemat kalau harus makan di sini mending nggak."
Sebenarnya, bukan hanya karena hemat. Tetapi, ia sendiri bahkan tidak akan memasukkan restoran ini ke dalam daftar tempat makan yang akan dikunjunginya.
Sementara itu, Aly malah terkekeh setelah mendengar penuturan Alyandra.
"Saya gak bakal jatuh miskin cuma karena ngasih kamu makan di sini." Pria itu melenggang meninggalkan Alyandra yang masih mencoba mencerna apa yang bos besarnya itu ucapkan.
"Malah masih di sana!" Aly akhirnya menarik lengan Alyandra untuk masuk karena keberadaannya cukup menghalangi jalan orang-orang.
"Waktu istirahat kamu tinggal tiga puluh menit. Belum juga perjalanan ke kantor. Kalau kamu masih bengong, bisa dipastikan kalau nanti kamu kena omel pak Yudha karena tidak kembali ke tempat kerja tepat waktu." Aly mengucapkannya dengan nada yang terdengar sangat menyebalkan bagi Alyandra.
Dengan hati yang masih kesal tapi memilih tidak diungkapkan, Alyandra mulai menyantap makan siangnya. Tidak ada pembicaraan apapun di sana. Hanya ada Aly yang sesekali melirik ke arahnya yang entah ia sendiri sadari atau tidak.
"Sepuluh menit lagi sudah masuk, Pak. Kalau Bapak masih ada urusan, saya akan kembali ke kantor sekarang." Alyandra mengatakan hal itu dengan konyolnya karena tak ada kendaraan umum apapun yang akan melewati kantornya dari tempat ini.
Aly yang sebelumnya tengah bermain ponsel itu pun langsung berdiri dan mengancingkan jasnya. "Ayo!
Alyandra langsung mengikuti langkah Aly tanpa pikir panjang kali ini.
"Kamu ini memang takut banget, ya telat?"
"Retoris banget pertanyaannya. Saya ini karyawan biasa, Pak. Dan saya gak mau kehilangan pekerjaan saya hanya karena hal sepele seperti telat."
Aly hanya tersenyum menanggapi celotehan Alyandra. Gadis itu sangat bekerja keras meski ia tahu usianya masih sangat belia.
"Saya dapat interview tambahan atau gimana, Pak?"
"Nggak. Saya cuma tanya. Lagipula, kalau pak Yudha tau kamu keluar sama saya, gak bakal kena marah."
"Saya gak sedekat itu sama Bapak. Dan itu juga bakal menunda pekerjaan saya yang menumpuk. Dibilang, saya gak bisa seenaknya, Pak!" Alyandra menekan kata-katanya.
"Bercanda." Aly malah tertawa dengan seenaknya tanpa tahu perasaan Alyandra yang sudah jengkel dibuatnya.
Ia tidak tahu alasan bos besarnya itu berada di sana. Mengajaknya makan siang dan bercengkrama seakan mereka adalah dua orang yang tidak asing satu sama lain. Padahal, ia sama sekali tidak pernah merasa akrab dengan pria itu. Hanya sekedar bos dan karyawan biasa.
"Kamu masih mikirin kerjaan? Nah, kita sudah sampai di kantor."
Aly lagi-lagi menahan lengan Alyandra yang hendak turun terlebih dahulu dari mobilnya.
"Ada apa lagi, Pak?" tanya Alyandra sambil melirik lengannya yang masih digenggam oleh Aly.
"Saya mau ke ruangan pak Yudha. Itu artinya, kita satu arah."
Terlalu banyak ketidakpahaman dalam diri Alyandra saat ini. Ia akhirnya hanya terdiam sampai Aly menginterupsinya setelah pria itu membukakan pintu mobil untuknya.
"Aly."
"Ha? Hm."
"Kamu grogi banget, ya?"
"Saya, nggak. Saya cuma masih gak ngerti sama sikap Bapak yang kayak gini. Pertama, waktu rapat di kantor pusat. Kedua, sekarang. Dan saya masih gak paham maksud Bapak."
"Pertanyaan kamu kalau saya jawab di sini, bakal bikin kamu telat. Dua menit lagi masuk."
Alyandra langsung turun dari mobil dan memilih berjalan cepat agar tidak bersama dengan Aly. Namun, pria itu tetap mencoba mensejajarkan langkah mereka sampai langkah terakhir mereka memasuki lift.
Seakan sia-sia saja upaya Alyadra menghindar. Karena, Aly berjalan biasa saja, sudah menyusulnya yang hampir kehabisan napas karena tergesa-gesa.
"Jangan cepat-cepat. Saya bercanda soal telat tadi."
Alyandra berdecak kembali mendengar ucapan Aly yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan waktu masuk. Gadis itu memang takut mendapat anggapan lain dari orang-orang. Yang bahkan sudah menatapnya curiga saat mereka memasuki gedung perkantoran itu.
"Kamu gak perlu khawatir dengan tanggapan orang lain. Selama kamu menjadi dirimu sendiri dan tidak seperti apa yang orang katakan, santai saja. Selamat bekerja dan sampai bertemu kembali di lain waktu."
Aly menepuk puncak kepala Alyandra sebelum gadis itu melangkah tergesa-gesa meninggalkan lift.