Alyandra merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Rasa lelahnya memang tidak seberapa. Tetapi, ada hal lain yang membuatnya merasa aneh dengan pekerjaannya kali ini. Ya, pertemuannya dengan Aly atau CEOnya itu membuatnya bingung. Baginya, Aly terlihat seperti orang yang memiliki kepribadian ganda. Karena, ketika membahas pekerjaan, pria itu tampak sangat serius. Layaknya pengusaha yang jenius dan brilian. Namun, setelah itu, ia melihat sifat lain dari diri pria itu. Dan malangnya, semua itu ditunjukkan kepadanya.
Mengingat betapa melelahkannya setelah mengikuti rapat di kantor pusat, Alyandra memilih tertidur. Ya, ia pikir ketika tidak ada orang di rumah, ia bisa beristirahat. Lain ketika ayah atau ibunya berada di rumah. Ia hanya akan merasa semakin sakit kepala dibuatnya.
Malangnya, ponsel yang sengaja tak ia jamah ketika sampai di rumah itu terus berbunyi. Mau tidak mau, ia mengambil benda elektronik yang masih berada di dalam tasnya tersebut.
Nama Pak Yudha Bawel terpampang di layar ponselnya. Kalau ia tidak mengangkatnya, atasannya itu nanti pasti akan mengomel dari jam masuk kerja sampai pulang.
"Iya, Pak Yud."
"Lho, kok kamu ninggalin saya, Al? Kamu bosen kerja sama saya?!"
Alyandra menjauhkan ponselnya dari telinganya karena pekikan sang atasan yang memekakkan telinganya.
"Bukan salah Aly, Pak. Tadi, pak bos yang minta saya pulang sama beliau. Terus katanya, nanti, Pak Yud diantar sama mobil kantor sana."
"Pak bos? Pak Alyanshah maksud kamu?"
"Kayaknya, saya gak harus ngasih tau siapa deh." Alyandra berdecak malas.
Yang lebih menyebalkannya, Yudha malah mematikan sambungan teleponnya tanpa permisi. Entah, apa maksud sang atasan itu. Rasa lelahnya kini berganti dengan perasaan kesal. Gadis itu memilih membersihkan tubuhnya dan menenangkan dirinya.
Entah untung atau rugi karena esok akhir pekan dan tidak akan bertemu dengan atasan cerewetnya itu. Dan nanti, pada saat kembali masuk bekerja, pria itu sudah melupakan apapun yang terjadi hari ini.
Ruginya, ia harus mendengar pertengkaran ayah ibunya yang seperti tidak berujung. Sejujurnya, Alyandra sudah muak dengan yang terjadi selama ini. Tetapi, sebagai anak tunggal yang seharusnya menjadi kebanggaan keluarganya, ia malah harus menanggung apa yang telah orang tuanya lakukan. Ia bersyukur mendapat pekerjaan dengan gaji yang cukup besar karena bisa mencukupi hidup keluarganya. Meski, di luar itu banyak yang harus ia tanggung juga.
Utang-utang ayahnya yang semakin hari semakin menumpuk itu sudah seperti beban seumur hidup baginya. Ekstrimnya, kadang ada orang yang menagih utang ke kantornya. Siapa lagi kalau bukan sang ayah yang memberitahu tempat kerjanya?
Di balik riangnya gadis itu, ada banyak hal yang ia sembunyikan dan selalu mencoba menutupnya rapat-rapat. Ia tidak akan membiarkan orang lain tahu masalahnya. Meski, orang yang bekerja bersamanya cukup mengetahui sedikit masalah tersebut. Tetapi, Alyandra tetap berusaha menjadi orang yang paling tegar menjalani semua ini.
Gadis itu menjejakkan kakinya di lantai dapur yang terasa dingin. Seperti benar-benar tidak disinggahi siapapun dalam waktu yang lama. Ia menarik napas dalam sebelum mengembuskannya cepat. Rumah yang sunyi ini menjadi sebuah kerinduan tersendiri baginya. Entah kapan, ia sendiri lupa betapa nyamannya berada di rumah. Tanpa ada kegaduhan benda-benda yang dilempar dan teriakan.
Dengan tangis dalam sunyi, Alyandra menyantap makanan cepat saji yang hanya ia hangatkan. Ia rindu menjadi anak yang memiliki orang tua utuh. Tidak ada teriakan, tidak ada pengabaian, tidak ada kata-kata kasar dan merampas semua hasil kerja kerasnya.
"Nangis gak bakal bikin keadaan balik ke semula. Ya, mungkin ini udah jadi takdir gue." Alyandra mengusap air matanya yang luruh begitu saja.
Hari sudah mulai malam dan tanda-tanda kepulangan orang tuanya tidak terlihat. Bagaimanapun, ia tetap khawatir dengan mereka. Meski, entah apa lagi yang mereka perbuat di luar sana.
Ia sudah menatap nomor ponsel sang ayah yang siap ia tekan tombol panggilan. Tetapi, ia mengurungkan niatnya dan memilih merebahkan tubuh ringkihnya.
***
"Bu, semalam pulang jam berapa?" tanya Alyandra yang melihat sang ibu duduk di ruang makan. Kantung matanya menghitam. Tampak sekali kalau wanita paruh baya itu tidak tidur.
"Tanya ayahmu! Semua ini gara-gara dia. Laki-laki tidak tahu diri. Ibu menggugat cerai tapi dia gak pernah mau. Karena, kalo gak ada kita, dia gak bisa bayar utang."
Tubuh kurus ibu Alyandra terlihat semakin ringkih saja setiap harinya. Ya, selain Alyandra, sang ibu juga turut bekerja demi membayar utang-utang ayahnya.
Alyandra sendiri tidak tahu apa yang ibunya kerjakan. Yang jelas, ia sendiri sudah melarang dan mengatakan kalau semua itu bisa diatasinya.
"Bu, Aly kan sudah bilang---"
"Bisa membayar utang-utang ayahmu? Tapi, dia mana mau lihat Ibu di rumah?" Tangis pilunya pecah.
Alyandra tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan agar keluarganya kembali baik-baik saja. Seperti, segala upaya sudah ia lakukan sejauh ini. Tetapi, memang tidak ada hasilnya. Seperti yang ia katakan sebelumnya, kalau ini memang akan menjadi bebannya seumur hidup.
"Ibu tenang dulu, ya. Biar Aly buatkan sarapan."
"Gak usah. Ibu cuma mau tidur aja. Kamu sarapan saja. Taruh saja di meja kalau sudah masak. Biar nanti ayahmu gak teriak-teriak pas pulang."
Alyandra hanya mengangguk dan mulai melakukan aktivitas paginya di dapur.
Ia tidak tahu ke mana ayahnya yang sampai sekarang belum juga pulang. Sampai ketukan pintu yang terkesan memaksa itu membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Mana Dion?" tanya lelaki bertubuh tinggi tegap yang berdiri di depan pintu rumahnya itu.
"Ayah belum pulang."
"Ah. Gue emang gak butuh bapak lo! Gue ke sini mau nagih utang yang udah janji mau dia bayar hari ini!"
"Lalu, urusan dengan saya?" tanya Alyandra dengan nada yang tak gentar sama sekali.
"Ya lo bayar, lah! Dion bilang, tagih sama siapapun yang berada di rumah!"
Alyandra menghela napasnya. Kesialan yang lain lagi. Pagi baru saja menyapa, dan ia harus menghadapi penagih utang, lagi.
"Oke. Tunggu di sini!" ketuanya sambil berjalan menuju kamarnya. Ia tidak ingin menambah kerusakan rumahnya.
Dulu, ia pernah menolak membayar utang sang ayah dan berakhir kaca depan rumahnya hancur karena dilempar batu lantaran ia mengunci rumahnya.
"Nah, gini, dong! Jangan lupa setiap bulan. Atau, bunganya bakal terus nambah!"
Alyandra langsung membanting pintu rumahnya bahkan sebelum orang itu pergi. Persetan dengan tata krama. Toh, yang mereka butuhkan hanya uang. Kalau sudah dapat, mereka tidak peduli apapun.
"Lagi?" tanya sang ibu yang entah sejak kapan berada di belakangnya.
Alyandra mengangguk dan menuntun sang ibu ke ruang makan. Ia tahu, wanita paruh baya itu hanya tidak ingin makan karena terlalu banyak pikiran.
"Maafkan kami, Al. Kamu harus menanggung semua ini."
Ibunya mulai terisak di sana. Alyandra bisa melihat betapa terlukanya perasaan sang ibu.
"Kalau bukan karena Ibu, ayahmu gak bakal kayak gini, Al."
"Bu, menyalahkan diri sendiri gak menghasilkan apa-apa. Kita hadapi semua bersama, ya."
Sebelumnya, keluarga mereka memang baik-baik saja. Tidak kaya tetapi berkecukupan. Sampai, bertahun-tahun lalu, ibu Alyandra terobsesi dengan bisnis-bisnis yang tengah digandrungi banyak orang. Ia mencoba membujuk suaminya untuk turut serta dalam bisnis tersebut dengan iming-iming penghasilan yang besar.
Ayah Alyandra yang dulu merupakan seorang manager di perusahaan swasta itu pun mengikuti usulan sang istri dan mulai menginvestasikan uang tabungannya tanpa pikir panjang. Bahkan, karena hasil awal yang memang tampak menjanjikan, mereka berani meminjam uang.
Sampai akhirnya, bisnis yang diikutinya ternyata tak berlisensi dan uang-uang yang mereka investasikan itu raib. Tentu saja, mereka mulai kehilangan arah setelah itu. Gaji ayahnya tidak bisa menutupi utang-utang mereka. Saat itu, Alyandra baru masuk ke bangku perkuliahan. Untung saja, ia memperoleh beasiswa karena prestasinya.
Ayah Alyandra dipecat secara tidak hormat dari pekerjaannya karena terbukti menggelapkan dana perusahaan. Pria itu tidak dipidana, tapi harus mengganti jumlah uang yang digelapkannya beserta dendanya. Bertambah sudah rentetan utangnya.
Mulai saat itu, ayahnya menjadi lebih tidak terkontrol. Pulang ke rumah hanya untuk bertengkar dengan sang ibu. Saling menyalahkan. Tetapi, bukannya memperbaiki semuanya, ayahnya lebih sering mabuk-mabukan dan berjudi dengan dalih, kalau beruntung, ia bisa membayar utang-utangnya. Tetapi, buktinya malah semakin hari, utangnya semakin bertambah.
"Bu, makan yang banyak, ya. Aly harus ngerjain beberapa laporan buat besok," ucap gadis itu sebelum meninggalkan sang ibu yang masih mengaduk-aduk makanannya.
Pernah, setelah lulus kuliah dulu, ia ingin mengakhiri hidupnya karena ucapan sang ayah yang terlalu menusuk perasaannya karena ia belum juga menemukan pekerjaan tetap. Karena, sejak kuliah, ia juga sudah bekerja paruh waktu demi membantu orang tuanya dan itu sudah sangat melelahkan baginya.
Tetapi, hidup memang harus terus berjalan, bukan? Toh, kematian tidak menyelesaikan semuanya.
Sebenarnya, Alyandra tidak begitu saja mengurungkan niatnya. Tetapi, ia mendengar isak tangis seseorang yang tak jauh darinya saat itu. Entah, siapa yang ditangisi dan siapa lelaki itu. Hanya saja, ia mendengar kalau ucapan lelaki itu sungguh sangat menamparnya saat itu. Dengan tubuh yang ringkih, ia kembali ke rumahnya dengan tekad lain. Yaitu, ia bisa berbuat lebih baik dari hari ini. Toh, masalah akan selesai kalau kita menyelesaikannya, bukan menghindarinya.
Gadis itu mulai memeriksa pekerjaannya besok. Sebisa mungkin, ia harus menghindari omelan Yudha yang akan menambah rentetan beban hidupnya.
0812xxxxxxxx :
Ini nomor saya. Hanya kamu yang tahu nomor ini. Kalau saya telepon, tolong diangkat.
Alyandra mengernyitkan keningnya. Siapa? Orang yang menagih utang ayahnya? Kenapa bisa sampai menghubunginya seperti ini? Karena takut mendapat teror ke depannya yang malah akan mengganggu pekerjaannya, ia memilih untuk memblokir kontak tersebut. Semoga, setelah ini tidak ada lagi gangguan-gangguan seperti ini.