Bab 4

2358 Words
HAPPY READING *** Resti melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.00, ia memandang Kejora sudah mengganti pakaian sekolahnya dengan baju tidurnya yang lembut. Setelah ia mengenal Kejora sejauh ini ia jadi tahu bahwa gadis itu suka membaca novel. Banyak buku-buku tebal terpajang di rak bukunya, tidak hanya satu namun banyak mungkin ada ratusan novel. Seperti ada perpustakaan mini. Ia tahu bahwa seumuran Kejora sudah memasuki masa pubertas dan lebih banyak mendalami novel yang mengangkat tema percintaan. Novel-novel dengan bergenre fanfiction, teenlit, romance, fantasi seperti buku Harry Potter, terpajang di sana. Dulu ketika SMA ia suka membaca artikel tentang healty parenting dan cara mengelola anak di majalah Fame, Kartini, Gadis, Aneka Yess, Mode, dan Femina, karena pada saat itu majalah adalah media yang paling hits pada jamanannya. Ia baru mengerti setelah dewasa ternyata hasil membaca dirinya dahulu bisa terpakai saat ini. Ia bisa menyeimbangi pembicaraan Kejora dan membuat Kejora nyaman berada di dekatnya. Resti dan Kejora turun ke bawah, ia melihat bibi sudah menyiapkan makanan yang tersaji di meja. Resti memandang Pevita dan Taran juga mendekati meja, karena malam ini mereka akan makan malam bersama. Resti duduk di samping Kejora, sudah menjadi kebiasaanya jika Kejora makan ia juga ikut makan. Apa yang disajikan bibi itulah yang ia makan, karena Taran melarangnya melakukan di luar tugasnya. Resti memandang Pevita yang duduk di samping Taran. Ia akui bahwa wanita bernama Pevita itu sangat cantik dan sangat pantas bersanding dengan Taran. Mereka makan berempat di tempat yang sama. “Bagaimana sekolah kamu, Kejora?” Tanya Taran tenang, ia menatap adiknya. “Baik, mas,” Kejora memasukan nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Resti memandang Taran dan Taran memandangnya balik, tatapan pria itu seolah berpusat kepadanya, padahal pria itu bertanya dengan Kejora, namun malah menatapnya. Resti menundukan pandangannya, ia makan dalam diam. Kemudian mereka makan dengan tenang. “Kok tumben mba Pevita ke sini?” Tanya Kejora. “Mas yang ngajak ke sini,” ucap Taran tenang, ia tahu bahwa sang adik memang tidak terlalu suka dengan keberadaan Pevita di sini, ia tidak tahu alasannya apa, kenapa adiknya tidak suka, tidak ada alasan yang berarti menurutnya. Padahal Pevita tidak melakukan apapun dan tidak pernah berbuat salah kepada Kejora sebelumnya. “Mba Pevita cuma main aja sebentar,” timpal Taran lagi. “Kirain ada apaan. Soalnya Kejora lebih suka kalau nggak ada mba Pevita, sih. Lebih tenang,” sahut Kejora lalu terkekeh. Taran menatap Kejora, menurutnya adiknya kurang sopan jika berbicara seperti itu kepada tamunya, terlebih itu Pevita. “Kejora udah kenyang, ngantuk mau tidur,” ucap Kejora tanpa menyelesaikan makannnya. Kejora pamit lalu berlari menuju tangga. Resti menarik nafas, mungkin karena Kejora tidak terlalu suka dengan Pevita jadi makanannya di piring tidak dihabiskan bahkan dia hanya makan beberapa suap saja. Biasa gadis itu makan selalu habis. “Saya susul Kejora.” Resti berpamitan kepada Taran lalu melangkahkan kakinya menuju tangga menyusul Kejora. Remaja satu ini terlalu kentara menyatakan ketidak sukaanya. Resti menarik nafas, ia melangkah masuk ke dalam kamar. Resti membuka hendel pintu, ia menatap Kejora sedang berbaring di tempat tidur sambil memegang novelnya. “Kejora.” “Iya, mba,” ucap Kejora menatap Resti yang masuk ke dalam kamarnya. “Kenapa, kamu ngomong kayak gitu sama mba Pevita?” “Emang nggak boleh ya?” “Enggak sopan sayang, itu nggak boleh,” Resti memberi pengertian kepada Kejora. “Tapi beneran Kejora nggak terlalu suka sama mba Pevita di sini.” “Alasannya apa, kalau kamu nggak suka?” Tanya Resti penasaran. “Dia kayak mau rebut mas Taran, dan nggak suka gitu deh.” “Pasti ada alasan lain, bukan karena nggak suka dia dekat dengan mas Taran, kan?” ucap Resti, ia lalu duduk di sisi tempat tidur. Kejora menatap Kejora, gadis itu menghela nafas lalu menutup novelnya. “Cerita sama mba, ada apa?” Kejora menggigit bibir bawa, ia memandang Resti, “Oke, dulu pertama kali mba Pevita ke sini, Kejora pernah tersandung dari tangga, dan mba Pevita ada di situ. Dia lihat Kejora dan dia tertawa, sejak saat itu Kejora nggak suka dia.” Alis Resti terangkat, “Hanya karena itu kamu nggak suka dia?” “Iya.” “Mungkin saat itu dia reflek lalu tertawa.” “Walau reflek, aku tetep nggak suka. Pokoknya mas Taran nggak boleh sama mba Pevita.” “Yah, sayangnya kamu harus menerima kenyataan bahwa mas kamu dekat dengan Pevita kan?” “Tapi mba.” Resti menarik nafas, “Walau kamu nggak suka dia, jangan ngomong seperti itu lagi, oke?” “Oke.” “Jangan mikirin masalah itu lagi, sekarang kamu tidur. Jangan baca novel lagi.” “Iya.” Resti beranjak dari duduknya, ia melihat ke arah dinding, melihat jadwal mata pelajaran Kejora. Ia memeriksa tas Kejora, merapikan buku-buku pelajarannya, dan memeriksa satu persatu. Baginya Kejora harus menjadi artis panutan remaja masa kini, yang tetap mengutamakan akademik yang baik. Ia pernah bertemu dengan wali kelas Kejora dan nilai-nilai akademik Kejora sangat baik. Ia juga sudah mengatakan kepada wali kelasnya bahwa jika berhubungan dengan Kejora, maka orang pertama yang dihubungi adalah dirinya bukan Taran. Resti melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 20.20 menit. Ia melihat Kejora sudah tertidur dangan novel dalam pelukannya. Ia melihat buku novel pada sampul gambar dasi di sana. Ia tidak tahu jenis novel apa yang dibaca oleh Kejora, ia menyimpannya di nakas, lalu keluar , tidak lupa ia mematikan lampu, hanya menyisakan lampu tidur saja. Resti turun dari tangga, ia memandang Taran sedang duduk di sofa ruang keluarga, pria itu menoleh menyadari kehadirannya. Resti menatap Taran hanya sendiri di sana, tidak ada lagi Pevita di sana. “Kejora sudah tidur,” ucap Resti, ia mengambil tasnya di nakas. “Kejora cerita kepada kamu?” Resti tahu arah pembicaraan Taran, ini pasti berhubungan dengan ketidak sukaan Kejora terhadap Pevita. ia menarik nafas lalu mengangguk, “Iya. Ke mana Pevita?” Tanya Resti. “Barusan pulang, tadi supir saya yang mengantar.” “Alasannya apa?” Tanya Taran penasaran. “Dulu katanya, pertama kali Pevita datang ke sini, Kejora pernah tersandung di tangga, lalu Pevita tertawa. Sejak saat itu Kejora tidak menyukainya. Saya sudah mengatakan kepada Kejora, mungkin itu reflek, bukan di sengaja, hanya tersandung biasa. Saya akan memberi pengertian kepada Kejora, jangan di ambil hati, lagian itu masa lalu. Nanti saya akan ngomong pelan-pelan kepada Kejora agar Kejora meminta maaf kepada Pevita atas ucapannya tadi.” “Terima kasih,” ucap Taran kepada Resti. “Bagaimana persiapan manggung Kejora yang perdana?” Tanya Taran. “70 persen sudah oke, gaun, sepatu dan aksesories sudah ada seponsor tersendiri. Acaranya jam 20.30 hari Minggu ini. Saat latihan vocal, Kejora sudah cukup baik, tinggal gladi resik saja nanti di panggung, bersama artis-artis lainnya.” “Wow, berarti kamu sudah mempersiapkan semuanya.” “Itu memang pekerjaan saya, tenang saja. Saya sudah menghendel pekerjaan ini enam tahun lamanya.” “Apa Kejora menerima koment hater di social medianya?” “Ada beberapa, kebanyakan mengomentari pakaian, sepatu, makeup, dan aksesories yang dikenakan Kejora. Tapi itu tidak masalah, saya sudah membatasi komenan semua social media Kejora.” “Saya percaya kamu,” ucap Taran lagi, ia melihat Resti menyungging senyum. “Sekolah Kejora bagaimana?” Tanya Taran lagi. “Cukup baik, nilai akademiknya bagus. Itu yang harus saya jaga, karena saya imej Kejora harus menjadi contoh remaja lainnya di luar sana, walau dia seorang artis namun dia tidak melupakan tentang pendidikannya.” Resti melangkahkan kakinya menuju pintu utama, Taran menyeimbangi langkahnya. “Kamu tinggal di mana?” Tanya Taran penasaran, selama beberapa Minggu Resti bekerja dengannya, namun ia tidak tahu di mana Resti tinggal. “Saat ini saya tinggal di apartemen Senopaty, itu apartemen Rara, bukan apartemen saya.” Taran mengerutkan dahi, “Kamu masih tinggal dengan Rara?” “Enggak, saya sendiri di apartemen. Sekarang Rara sekarang tinggal dengan suaminya Maikel. Rara juga meminta saya menempatinya, dari pada dibiarkan kosong.” Taran menarik nafas, ia kembali menatap Resti, “Kalau kamu mau tinggal di sini, juga nggak apa-apa Res, banyak kamar kosong di atas. Kasihan kamu pulang malam terus.” “Ah, nggak apa-apa. Lagian enggak terlalu jauh.” “Saya pamit pulang,” ucap Resti ketika mereka berada di teras. “Iya, kamu hati-hati.” Taran memandang Resti menjauhinya, wanita itu masuk ke dalam mobil Pajero miliknya. Semenit kemudian mobil meninggalkan area rumahnya. Taran masuk ke dalam kamar, ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur, seketika kepalanya di penuhi dengan Resti. Lagi-lagi wanita itu memenuhi isi pikirannya. *** Keesokan harinya, Resti sudah berada di rumah Taran tepat pukul 07.00 menit, ia melihat bibi menyiapkan sarapan berupa toast untuk Kejora, full breakfast untuk Taran dan dirinya berupa oatmeal. Ia memeriksa chiller, di dalamnya banyak sekali makanan frozen dan kaleng. Hampir semua makanan yang tersedia dalam bentuk kaleng. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Taran sehingga menyetok makanan ini seperti ini sekian banyak. Ia tahu bahwa makanan-makanan ini memang paling banyak dicari banyak orang. Salah satunya makanan instan yang bisa disetok dalam jangka panjang. Di Jakarta, banyak sekali makanan segar yang di jual di pasaran, sepertinya tidak begitu sulit mencarinya. Kenapa Taran masih memakan, makanan seperti ini. Jika sebagai pendamping ia tidak masalah, tidak harus menjadi makanan utama. Resti menatap bibi sudah menyajikan hidangan di meja. “Bi, nanti siang bantu saya beresin ini, ya. Biar saya yang belanja keperluan dapur.” “Baik, non.” “Makanan kaleng ini, jangan taruh di chiller, pindahin saja ke lemari sini. Semua ini bisa di makan kok, tapi saya perlu mengisi makanan segar untuk Kejora.” “Baik non.” Resti memandang Kejora turun dari tangga, ia juga melihat Taran keluar dari kamarnya. Resti berikan senyum terbaik kepada dua orang itu. Ia akui bahwa di rumah ini memiliki kebiasaan disiplin waktu di mana mereka harus istirahat dan di mana mereka harus tidur, semua serba teratur. “Hai, mba Res,” ucap Kejora lalu duduk di kursi meja makan. “Hai, juga Kejora.” “Breakfast bareng?” Resti mengangguk, “Iya.” Resti melirik Taran, pria itu mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana abu-abu. Dengan rambut yang tertata rapi, aroma parfume yang khas dari tubuh Taran tercium, padahal jarak mereka cukup jauh. Resti memilih duduk di samping Kejora. Taran memandang Resti, wanita itu mengenakan celana jins dan kemeja putih transparant namun di dalam kemeja itu dia mengenakan tang top berwarna senada. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana jika Resti hanya mengenakan kemeja itu tanpa celana dan pakaian dalamnya. Ia yakin betapa indahnya pemandangan itu di kamarnya. Oh God, bisa-bisanya ia berpikiran bahwa Resti hanya mengenakan kemeja transparant itu di hadapannya. Hayalannya terlalu jauh, ada-ada saja menurutnya. Taran menyesap kopinya secara perlahan, ia memandang Resti yang makan outmeal nya dengan tenang. “Kalau Kejora manggung, mas datang nggak? Soalnya ini perdana Kejora manggung di acara besar,” Tanya Kejora kepada Taran. Taran mengangguk, “Iya, mas pasti datang.” Kejora menyungging senyum, “Thank you, mas,” Kejora makan toast nya setalah itu meminum s**u segar. “Mba dress Kejora, buat manggung bagus nggak?” Resti tersenyum, “Bagus dong, sesuai dengan request kamu, mintanya yang sederhana namun tetap memukai seperti dewi Yunani.” “Really?” “Yes. Mba sudah pilihin yang terbaik.” “Nanti di panggung rame nggak mba?” “Rame penonton. Kalau dibelakang layar, ada crew stasiun TV, di backstage ada artis-artis ternama. Nanti mba kenalin, kebanyakan semua sudah pada kenal dengan mba.” “Enggak sabar rasanya mau cepet-cepet manggung.” Resti lalu tertawa, “Iya, sebentar lagi kok kamu manggung. Semua mata nanti tertuju pada kamu, karena saat ini, kamu bintang remaja yang paling bersinar.” “Ah, mba bisa aja.” Resti dan Kejora menyelesaikan sarapannya, setelah itu mereka pergi ke sekolah, tidak lupa berpamitan kepada Taran. Sebenarnya Taran senang keberadaan Resti di rumahnya. Resti telah menjadi sosok pengganti ibu untuk Kejora. Mereka terlihat sangat akrab dan Kejora tidak terlalu mengurung di kamarnya. Taran juga bersiap-siap untuk pergi kerja, ia tidak menyangka bahwa adiknya Kejora sudah menjadi bintang. *** “Selamat pagi, Resti!” Otomatis Resti menoleh ke samping, ia memandang Ben sudah berada di sampingnya. Ia memandang senyum tampan pria bernama Ben. Untung saja Kejora sudah masuk ke dalam gedung. “Selamat pagi juga, Ben,” ucap Resti, ia juga memberikan senyum terbaiknya. “Nanti malam kamu sibuk nggak?” Tanya Ben. “Kenapa?” “Saya mengundang kamu makan malam di rumah.” Alis Resti terangkat, “Ada acara apa ya?” Tanya Resti penasaran. “Enggak ada acara apa-apa. Robert dan saya ingin mengundang kamu makan malam saja.” Resti lalu berpikir, ia menatap Ben cukup serius, “Berarti Robert sudah tau kalau saya bukan orang tua Kejora?” “Iya, saya memberitahunya. Tapi tenang saja Robert tidak memberi tahu prihal ini kepada Kejora. Dia sebenarnya anak yang baik, kalau mengganggu Kejora mungkin karena iseng saja dan mungkin ada hati kepada Kejora,” ucap Ben lalu tertawa. Resti lalu tertawa, “Yah, namanya juga remaja.” “Ini pertama kalinya Robert ingin berkenalan dengan kamu. Dan mengundang kamu makan malam.” “Really?” “Yes.” “Saya merasa terhormat diajak makan malam bersama kalian.” “Kamu mau?” “Yah, tentu saja. Tapi saya menyelesaikan pekerjaan saya.” “Kamu pulang kerja jam berapa?” Tanya Ben penasaran. “Biasa setelah jam makan malam Kejora, saya pulang, sekitar jam delapan.” “Begitu ternyata.” “Kalau begitu, saya jemput kamu di rumah Kejora.” “Tapi saya takut merepotkan kamu.” “Tidak apa-apa. Saya yang mengajak kamu makan malam, jadi sudah seharusnya saya jemput kamu. Bisa kasih nomor ponsel kamu?” Tanya Ben. “Ah, ya, tentu saja,” ucap Resti, ia lalu mengucapkan nomor ponsel kepada Ben dan Ben menyimpan ke dalam ponselnya. “Coba cek, saya ada kirim pesan melalui whatsapp.” Resti menatap ke arah layar ponsel, ia memandang nomor Ben di sana. Ia lalu menyimpannya. Resti tidak menyangka bahwa ia bisa berkenalan dengan Ben secapat ini. Ia akui bahwa Ben pria idaman wanita di luar sana. Semenjak istrinya meninggal, hingga saat ini pria itu belum mencari pengganti, itu sudah membuktikan bahwa Ben tipe pria setia. “Terima kasih.” “Iya sama-sama Ben.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD