Bab 3

2493 Words
HAPPY READING *** Beberapa hari kemudian, Kejora biasanya berangkat ke sekolah pukul 08.00 dan pulang pukul 15.00, selama Kejora di sekolah, ia bisa menjalankan tugasnya bertemu klien, bisa mengerjakan endorse dari klien dan bisa merekap catatan keuangan yang masuk. Jam pulang sekolah juga Kejora tidak langsung pulang ke rumah, dia harus latihan vocal dan musik selama satu jam, dan pulang ke rumah biasanya pukul 18.00. “Itu setiap hari?” Tanya Rara di balik speaker ponselnya. “Iya itu setiap hari,” ucap Resti menceritakan pekerjaanya kepada Rara. “Kecuali weekend, karena itu full jadwal manggung Kejora.” “Taran sudah tau, jadwal manggung Kejora?” “Iya, sudah tahu. Rekap untuk satu bulan, sudah aku email ke dia.” Jujur selama ia di rumah Taran, ia jarang sekali bertemu Taran, terakhir ia bertemu dengan Taran beberapa hari yang lalu, itu juga mereka tidak saling sapa. Ia bekerja untuk Kejora, bukan untuk Taran, jadi semua pekerjaanya tidak ada sangkut pautnya dengan Taran. Taran pernah mengatakan padanya bahawa “Setelah tugas Kejora selesai, kamu boleh pulang. Saya ada asisten di rumah, jadi kamu tidak perlu masak dan mengerjakan tanggung jawab lainnya. Yang penting jadwal sekolah, tugas-tugas sekolah dan persiapan konser, manggung, endorse berjalan dengan baik. Sosial media seperti twitter, f******k, ** terkontrol dengan baik.” Itu lah kata-kata terakhir ia dengar dari bibir Taran. Taran terlihat seperti karakter antagonis menurutnya, seolah semua perkataanya tidak terbantahkkan. Ia tidak terlalu suka dengan keberadaan pria itu, entahlah, seperti kurang sinkron dengan keinginannya, seolah didikte. Bagaimanapun ia bekerja untuk Kejora, hubungannya dengan Kejora sangat baik. Tapi Taran lah yang menggajinya. “Terus.” “Ya, gitu deh. Gue nggak terlalu suka sih.” “Apa yang buat lo nggak suka sama Taran?” “Agak keras gitu orangnya. Kayak antagonis gitu, lo tau kan antagonis.” “Tau dong. Pasti lo sebel banget kalau lihat dia.” “Iya, untung aja gue jarang ketemu dia,” sahut Resti lagi. “Syukurlah kalau gitu. Taran itu Duda?” “Iya ia duda, katanya udah cere dua tahun yang lalu.” “Lama juga ya, tapi dia masih sendiri,” ucap Rara, karena ia yakin, pria sukses seperti Taran, sangat mudah mendapatkan pengganti istri, mau apapun profesinya seperti kelas model dan artis ternama,. “Katanya si Taran pacaran sama si Pevita yang artis itu, bener nggak sih?” Tanya Rara. “Iya kali. Selama gue kerja di sini, si Taran nggak pernah bawa pacarnya ke sini. Tau deh, enggak ngurusin kehidupan Taran juga,” ucap Resti. “Lo lagi di mana?” Tanya Rara. “Gue lagi nungguin Kejora pulang dari sekolah,” ucap Resti, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 14.50 menit. “Yaudah kalau gitu, lo semangat kerjanya.” “Iya. Gue mau beli minum haus, banget.” Resti mematikan sambungan telfonnya. Ia keluar daru mobil melangkahkan kakinya menuju parkiran mobil menuju keluar, karena tadi ia sempat melihat ada penjual minuman di luar sana. Resti keluar dari gerbang sekolah, ia membeli aqua di warung terdekat. Setelah membeli minuman itu, Resti masuk lagi ke gerbang yang dijaga oleh security. “Resti!” Otomatis Resti menoleh ke arah sumber suara, ia memandang seorang pria yang mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan lengan tergulung hingga ke siku. Ia masih ingat pria itu adalah Ben, ayah dari Robert. Lihatlah betapa tampannya pria itu ketika melangkah mendekatinya. “Hai,” ucap Resti, ia berikan senyum terbaiknya. “Jemput Kejora?” Tanyanya. “Iya.” “Sama kalau begitu, saya juga jemput Robert,” Ben melihat tangan Resti terdapat botol minuman aqua berukuran kecil. “Bagaimana kabar kamu?” Tanya Ben, menatap penampilan Resti, wanita itu mengenakan celana kain berwarna hitam dengan tang top berwarna putih, ia akui bahwa penampilan Resti sangat baik. “Baik, kamu?” Tanya Resti. “Baik juga.” “Jemput sendiri terus?” Tanya Ben, karena beberapa hari ia memperhatikan Resti menjemput Kejora seorang diri. Resti menyungging senyum, “Iya nih. Emang siapa lagi yang jemput,” ucap Resti terkekeh. “Suami kamu, mungkin,” ucap Ben. Resti lalu tertawa, ia melirik Ben, “Sebenarnya saya bukan orang tuanya Kejora, saya hanya asisten sekaligus managernya Kejora. Tugas saya mengatur semua kegiatan Kejora dari dia sekolah, hingga Kejora manggung.” Alis Ben terangkat mendengar Resti bukan ibunya Kejora, ia sudah menduga sebelumnya, bahwa wanita muda di hadapannya ini bukanlah ibunya Kejora. “Wah, saya baru tahu.” “Kejora meminta saya untuk menjadi ibu penggantinya di hadapan Robert kemarin.” Ben mengangguk paham, ia memperhatikan Resti, “Terus ibunya Kejora?” “Ada di Jerman, ayahnya ada di Singapore. Di sini Kejora tinggal dengan saudaranya. Jadi semua kegiatan Kejora saya yang pegang dan hendel.” “Kalau Robert?” “Ibunya Robert sudah lama meninggal, sejak melahirkan Robert.” Alis Resti terangkat mendengar bahwa Robert tidak memiliki ibu, “Maaf, saya baru tahu.” “Ah, tidak apa-apa.” Resti memandang Ben, “Robert sudah remaja, apa tidak kepikiran menikah lagi?” Ben tertawa ia melirik Resti, “Banyak sih nanya seperti itu. Ada dulu beberapa kali dekat dengan wanita, tapi Robert tidak suka. So, saya mencari istri yang bisa nerima Robert juga, saya nggak mau menjadi ayah egois. Jika Robert bahagia dan saya juga ikut bahagia.” “Harusnya sih seperti itu. Jadi Robert bagaiamana?” “Selama ini Robert tinggal sama mama dan papa saya. Saya sibuk dengan pekerjaan saya.” “Begitu ternyata.” “Iya.” Resti tidak tahu akan bertanya lagi, ia membuka tutup botol aqua itu dan lalu menguknya. Mereka berdua hanya berdiri memperhatikan orang tua murid sudah berdatangan, rata-rata semuanya menggunakan mobil. “Sudah lama kerja sama Kejora,” tanya Ben membuka topik pembicaraan, sambil menunggu Kejora dan Robert keluar dari kelas. “Baru beberapa Minggu, sebelumnya saya kerja sama Rara Adora. Karena Rara sudah vakum di dunia entertainment, jadi saya menerima tawaran jadi manajer sekaligus asisten Kejora,” ucap Resti menjelaskkan kepada Ben. “Sudah menikah?” Itu lah pertanyaan kursial yang harus ia tanyakan kepada wanita di sampingnya ini. “Belum.” “Sama kalau begitu,” Ben tertawa. “Kenapa belum menikah?” Tanya Ben lagi, sambil melirik Resti. “Mungkin belum ketemu yang cocok aja,” ucap Resti sekenanya. “Ada yang deket?” “Enggak ada juga,” Resti tertawa. “Semakin dewasa, semakin susah ketemu yang cocok,” ucap Ben. “Iya bener. Karena kita mungkin sudah lebih mengerti apa yang kita mau. Persoalan mencari pasangan tidak mau sembarangan lagi,” ucap Resti. “Exactly. Pandangan kita tentang cinta juga tidak sesederhana saat masih remaja, terlebih saya sudah merasakan bagaimana pernikahan dan memiliki anak remaja. Kini hubungan tidak hanya lagi soal romantika,” sahut Ben. Ben menarik nafas, ia melirik Resti, “Semakin bertambah usia, lingkup pergaulan kita semakin sempit. Sulit mengenal orang baru, karena yang diitemui itu-itu saja.” “Sekarang bagi saya, hubungan itu selalu berorientasi ke masa depan. Dari pada menjalani hubungan dengan sembarangan, lebih baik menunggu yang tepat, itu pasti akan datang, hanya perkara waktu saja.” Resti melirik Ben, semua yang di ucapkan pria itu benar, “Yah, kadang bukan soal orang yang tepat belum datang, tapi diri sendiri belum siap.” “Tidak apa, hanya kamu yang tahu kapan waktu itu tiba.” Resti dan Ben saling menatap beberapa detik, seketika ada beberapa murid berhamburan di lapangan, karena kelas sudah usai. Resti menyungging senyum kepada Ben, ia menatap Kejora di ujung sana. Wanita itu berlari ke arahnya, ia juga melihat Robert di belakang Kejora. “Itu Robert dan Kejora,” ucap Ben. “Iya.” “Dah,” ucap Resti memandang Ben dan Ben menatapnya balik. “Kamu hati-hati bawa mobil.” “Iya.” Resti menjauhi Ben dan membuka pintu untuk Kejora. Resti dapat melihat senyum Ben di balik kemudi setir, ia akui bahwa Ben tampan, dia jenis pria dewasa dan pria itu juga terlihat sangat mapan, bisa dilihat dari mobil yang dikendarai pria itu merupakan mobil yang dibandrol dengan harga fantastis. Resti melihat Kejora masuk ke dalam mobil dan mendaratkan pantatnya di kursi, tidak lupa wanita itu memasang sabuk pengaman. “Bagaimana sekolah kamu, sayang?” Tanya Resti. “Baik.” “Ada PR?” Tanya Resti lagi, lalu menstater mobilnya. “Enggak ada.” “Kok mba tadi sama papanya Robert?” Resti menarik nafas, “Tadi kita hanya ngobrol-ngobrol aja, sambil nungguin kamu sama Robert. Robert masih suka gangguin kamu?” “Masih lah, mba. Males banget kalau ketemu dia.” “Mungkin Robert beneran suka sama.” “Ih, Kejora ogah sama Robert,” Resti lalu tertawa, ia menjalankan mobilnya menuju tempat les Kejora. Sementara di sisi lain Ben menjalankan mobilnya, meninggalkan gedung sekolah. Jujur ia senang berkanalan dengan wanita bernama Resti. Ketika mendengar bahwa wanita itu bukanlah orang tua dari Kejora ia merasa seolah ada harapan untuk mendekat. “Tadi papi sama mamanya Kejora?” Tanya Robert, karena dari kejauhan tadi ia melihat ayahnya berbincang-bincang sambil tertawa dengan mamanya Kejora. “Iya, emangnya kenapa?” Tanya Ben, ia melirik Robert. “Enggak kenapa-napa sih, tanya doang.” “Papi boleh nggak, deketin mama nya Kejora?” Tanya Ben lagi. “Mamanya Kejora baik nggak?” Ben menarik nafas, ia menyungging senyum sambil memanuver mobilnya, “Tadi, papi ngobrol sih baik. Ngobrol biasa aja, papi baru kenal belum tau dia seperti apa. Kamu mau kenalan sama mamanya Kejora?” “Enggak ah, nanti ada Kejora nya.” “Kalau nggak ada Kejora nya, kamu mau?” Robert lalu mentap Ben, “Hemmm.” “Mau ya?” “Hemmmm.” “Kalau kamu sudah lama mikirnya, berarti mau. Kejora aja bisa suka sama dia, berarti kamu pasti suka.” “Tapi kan mama nya Kejora.” “Kalau dia bukan mama nya Kejora kamu mau?” “Emang dia bukan mamanya Kejora.” “Tadi dia bilang sama papi sih bukan mamanya Kejora. Dia hanya manejer Kejora.” “Tuh kan, feeling Robert bener, bukan mama nya Kejora. Wajahnya aja beda.” “So …” “Papi boleh deketin dia?” “Hemmmm.” “Papi boleh ajak ke rumah kita nggak, kita makan malam beriga, biar kamu bisa kenalan?” Robert lalu mengangguk, “Iya boleh.” “Good.” Ada perasaan bahagia ketika Robert menyetujui usulnya, masalahnya baru kali ini Robert mau dirinya berkenalan dengan seorang wanita. Ia merasa ada angin segar masuk ke paru-parunya, ia harap Robert bisa diajak kerja sama dengan baik. Namun ia yakin bahwa Resti mampu menyeimbangi Robert, karena ia lihat Resti tipe wanita ceria dan dewasa, yang dapat menghipnotis para remaja. *** Setelah pulang les vocal, Resti tiba di rumah tepat pukul 18.00. Resti melihat mobil Taran terparkir di halaman rumah. Ia yakin pria itu ada di dalam. Resti menatap Kejora membuka hendel pintu, lalu gadis itu masuk ke dalam. Resti mengikuti langkah Kejora masuk ke rumah Resti mendengar suara Taran dan seorang wanita dari arah dalam. Resti tidak tahu siapa pemilik suara itu, ia meneruskan langkahnya. Ia penasaran dengan siapa Taran berbicara. Resti menatap Taran dan seorang wanita mengenakan dress berwarna merah dengan belahan d**a rendah duduk di sofa. Ia tahu betul siapa wanita itu, dia adalah Pevita, artis ternama di negri ini, bahkan wajahnya sering berseliweran di TV, karena dia mengiklankan shampo dari merek terkenal. Wajahnya sangat tidak asing, seluruh penduduk Indonesia, sudah pasti tahu siapa Pevita. Tidak hanya itu, citranya sebagai bintang film, sangat baik. Film-filmnya laris dipasaran. Pembicaraan Taran dan Pevita terhenti ketika kehadiran Resti. Resti berikan senyuman kepada Taran dan Pevita, lalu berlalu begitu saja. Resti melangkahkan kakinya menuju kitchen, ia menatap bibi sedang menyajikan makanan, ia melihat menu-menu itu merupakan produk frozen dan kaleng. “Masak apa bi?” Tanya Resti. “Mau goreng ayam, sup, sama salad tuna, non. Biasa Kejora doyan makan ini,” ucap bibi. “Ini semua frozen dan kaleng?” Resti menunjuk bahan-bahan makanan. “Iya non, soalnya semua belanjaan diatur pak Taran.” Resti tahu betul bahwa sisi positif makanan kaleng selain mudah, praktis dan rasanya enak. Namun ia tahu betul bahwa makanan seperti ini mengandung zat gizi lebih sedikit. Karena beberapa zat bergizi tidak tahan panas, juga ada yang rusak kandungannya, seperti vitamin larut air, yang sensitive terhadap panas, yang hilang setela melalui proses pemanasan, pemasakan dan penyimpanan. Penelitian menunjukan bahwa makanan kaleng mengandung BPA, makanan kaleng berpindah dari lapisan kaleng ke makanan. BPA yang masuk ke dalam tubuh berhubungan langsung dengan kesehatan, menyebabkan penyakit jantung, diabetes dan penyakit lainnya. Jadi makanan seperti ini tidak baik untuk Kejora. “Sudah lama masak-masakan seperti ini bi?” Tanya Resti. “Sudah lama non.” “Kenapa nggak masak makanan segar beli di pasar tradisional?” Tanya Resti lagi. “Bapak yang suruh belanja seperti ini non, di supermarket,” ucap bibi lagi. “Padahal belanja di pasar tradisional lebih murah.” “Iya bener non, tapi bibi takut non sama pak Taran.” “Yaudah mulai besok, saya yang atur makanan Kejora.” “Tapi non.” “Enggak apa-apa, nanti ini urusan saya. Tau apa, pak Taran masalah makanan.” “Iya, non.” Resti menarik nafas, “Yaudah, saya ke atas dulu ya bi.” “Non, Resti mau teh nggak? Bibi anterin ke kamar neng Kejora.” “Iya, boleh bi.” Resti melirik ke belakang ia melihat Taran dan Pevita masih di sana. Jujur kehadiran Pevita membuatnya tidak nyaman dirinya berada di sini, merasa kurang leluasa. “Pevita itu pacarnya pak Taran?” Tanya Resti kepada bibi, karena bibi lebih lama di rumah ini. “Enggak tau non, tapi bapak jarang sih bawa non Pevita ke sini. Ini baru dua kali non Pevita ke sini.” “Pacarnya kali ya.” “Mungkin, non.” “Yaudah, saya ke kamar Kejora.” “Iya, non.” Resti melangkahkan kakinya menuju lantai atas menuju kamar Kejora. Sementara Taran memperhatikan Resti dari kejauhan lalu tubuh wanita itu menghilang dari balik pintu kamar Kejora. Taran kembali memandang Pevita, jujur konsentrasinya buyar kehadiran Resti, seolah sulit fokus. “Itu manejernya Kejora?” Taran mengangguk, “Iya.” “Selera fashionnya oke.” “Not bad,” sahut Taran mengakui. “Sampai di mana pembicaraan kita?” Tanya Taran, ia tidak ingin membicarakan manejer adiknya itu, karena sudah beberapa hari wanita itu di sini, sangat menganggu pikirannya. “Owh, iya sampai kamu kemari meeting di luar kota.” “Ah, iya. Aku kemarin keluar kota tiga hari. Kerjaan lagi banyak-banyaknya.” *** “Kok, ada mba Pevita sih di sini!” timpal Kejora. “Emang kenapa kalau ada mba Pevita?” Resti melihat raut wajah Kejora telihat tidak suka. “Enggak suka aja sama dia.” “Apa yang buat kamu nggak suka?” Tanya Resti penasaran. “Enggak suka aja, apa ya. Pokoknya nggak suka aja gitu kalau mba Pevita deket sama mas Taran,” ucap Kejora, ia membuka almamater jasnya. Resti menarik nafas, ia mendekati Kejora, “Yaudah, sekarang kamu mandi. Jangan mikirin Pevita. Setelah itu kita makan.” “Iya mba.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD