Bab 2

1306 Words
Rintik-rintik hujan jatuh membasahi jalanan di pagi hari. Awan hitam menutupi mentari untuk bersinar menerangi dunia ini. Kendaraan mulai berlalu lalang di jalanan depan rumahku. Semua orang terlihat begitu giat menyongsong hari Senin yang begitu dingin ini. Tidak ada yang istimewa dari suasana di pagi hari yang dipenuhi dengan rintik-rintik hujan. Tidak ada burung yang bernyanyi merdu menyambut Sang mentari, yang ada hanya semilir angin dingin memeluk tubuh setiap orang yang mulai beraktivitas. Aku baru saja bersiap berangkat ke kampus ketika handphoneku berbunyi menandakan ada bbm yang masuk. Aku segera membukanya, ternyata dari Wilman, kekasihku. "Di, maaf aku tidak bisa mengantarmu ke tempat KKN. Ada kerjaan yang harus aku selesaikan." "Ya sudah tidak apa, Diona berangkat sama rombongan dari kampus saja." Seperti biasanya aku selalu di nomor duakan oleh Wilman, baginya pekerjannya adalah yang utama. Dia adalah seorang abdi negara, tepatnya seorang Polisi Lalu Lintas di kotaku. Kesehariannya lebih banyak disibukkan dengan pekerjaannya dibandingkan denganku. "Kak, kamu jadi di antar pacarmu?" tanya Dirga, adikku. "Enggak Dir, dia ada kerjaan. Kamu antar Kakak sampai kampus ya!" pintaku. Tanpa banyak bicara dia langsung mengiyakan permintaanku. Sedikit aneh mendengar dia langsung mengiyakan permintaanku karena dia selalu saja mengajakku berdebat sebelum bicara 'ya'. Tapi hari ini dia langsung mengiyakan, mungkin dia merasa kasihan jika aku harus berangkat sendrian dengan barang bawaan yang lumayan banyak. Rintik-rintik hujan menemani perjalananku ke kampus. Aku mengeratkan jaket yang kugunakan untuk melindungi tubuhku dari dinginnya udara pagi yang disertai dengan gerimis. Rasanya pagi ini memang lebih dingin dari pagi-pagi biasanya. Sesampainya di kampus, aku langsung turun dari motor yang di kendari oleh Dirga. Lagi-lagi tidak seperti biasanya dia membawakan semua barangku ke dekat mobil yang akan digunakan untuk mengangkut semua barang bawaan. Suasana kampus di pagi hari masih begitu lengang, apalagi libur semester telah dimulai. Hanya ada mahasiswa yang akan mengikuti semester pendek dan beberapa dosen yang tengah bersiap menemani mahasiswanya untuk berangkat KKN. Dari kejauhan samar-samar aku melihat sebuah sepeda motor ninja berwarna Biru dengan Polet hitam. Aku memicingkan mataku untuk memastikan apakah itu benar motor Wilman atau bukan. Ya… itu motor Wilman, aku sangat mengenali plat motornya. Sedang apa Wilman di kampus? Bukankah dia bilang dia ada kerjaan. Dengan hati penuh tanya, aku berjalan mendekati sepeda motor Wilman dan tidak menghiraukan panggilan Dirga yang akan kembali pulang. Aku berharap dapat surprise indah dari dia, berharap dia tiba-tiba dapat mengantarku. Dan… aku memang mendapat surprise dari dia, tapi bukan surprise indah seperti harapanku, melainkan surprise yang sangat menyakitkan. Aku melihatnya tengah merangkul mesra seorang gadis. Tunggu… dia adalah gadis yang aku lihat sebelum aku masuk aula kemarin. Apa mungkin gadis itu… ah tidak mungkin. Langkah demi langkah aku tapaki jalan beraspal untuk mendekati Wilman dan perempuan itu. Rasanya ada beban berton-ton di kakiku ini hingga aku berjalan dengan begitu gontai saat menghampirinya dan ditambah lagi keadaan hati yang remuk redam. "Wilman?" sapaku seakan masih berharap jika itu bukan Wilman. Berharap jika laki-laki yang tengah merangkul perempuan itu adalah laki-laki lain yang hanya mirip dengan Wilman. "Diona… kamu…," kata Wilman kaget saat melihatku berada di sana. Dan seketika hancur sudah harapanku bersamaan dengam hancurnya hatiku. Aku melihat senyum penuh kemenangan tersungging dari perempuan itu. Ternyata ini alasan tatapan penuh kebenciannya kemarin, alasan auranya yang begitu hitam pekat. "Kamu… kamu sedang apa di sini?" tanyaku menahan tangis. "Mengantarku ke tempat KKN," jawab perempuan itu sinis dan penuh kemenangan. Jawabannya benar-benar bagai sebuah bom yang meluluh lantakkan benteng pertahananku. Bulir-bulir kecil mulai menjatuhi pipiku tanpa dapat aku tahan lagi. Ingin aku menampar perempuan itu serta menjambak rambut panjangnya. Dan tentu saja aku juga ingin menampar Wilman. Tapi aku masih dapat mengendalikan diriku dari semua itu mengingat keadaan saat ini sangat tidak memungkinkan. "Di…," kata Wilman berusaha berbicara sesuatu padaku dan melepaskan rangkulannya dari gadis itu, tapi aku tidak menghiraukannya dan beranjak menjauh darinya. "Di… Diona, tunggu aku," kata Wilman mengejarku. "Ada apa Wil? Semuanya sudah sangat jelas bagiku. Kamu merangkul dia sangat mesra," kataku sambil menangis saat Wilman berhasil mengejarku. "Semua tidak seperti yang kamu pikirkan." "Lalu seperti apa?" "Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya Di, dia cuma temanku." "Teman kamu bilang? Teman itu gak akan merangkul seperti itu, Wil." "Di, tolonglah percaya sama aku kali ini saja." "Kamu…," kata-kataku terhenti ketika kudengar Ria memanggilku. Baru kali ini aku merasa sangat beruntung karena kehadirannya. Aku menghapus air mataku agar Ria tidak mengetahuinya. "Yuk kita kumpul sama kelompok kita," ajak Ria tanpa basa-basi. "Ya, Ri," kataku sambil berbalik dan mulai melangkahkan kaki. "Di… mana barangmu, biar kuantar kamu," kata Wilman yang masih saja berusaha untuk memperbaiki kesalahannya. "Tidak usah, kamu antar saja dia!" kataku sambil berlalu. Mataku mulai berembun kembali menandakan akan ada bulir-bulir kecil yang akan mulai jatuh ke pipiku. Aku cepat-cepat menghapusnya dan menarik napas dalam-dalam agar mutiara-mutiara bening itu tidak jatuh ke pipiku. Sayang, tarikan napasku tidak berhasil menahan bulir-bulir itu agar tetap berada di tempatnya. Aku segera membuka kotak kacamataku dan mengenakannya, ini dapat menahan orang menyadari bahwa mataku sedang berembun dan dapat menyembunyikan mutiara-mutiara kecil yang jatuh ke pipiku. Baru kali ini aku merasa beruntung membawa kacamata anti iritasi. Badanku berada dalam satu tempat dengan kelompokku, tapi pikirku melayang jauh entah ke mana. Satu persatu teman sekelompokku mengenalkan diri mereka masing-masing dan aku berusaha dengan keras untuk mengingatnya. Tapi sayang aku tidak dapat mengingat nama mereka dengan baik karena pikiranku tidak dapat terfokus sama sekali. Samar aku mendengar rektor mulai berbicara pada mikrofon hingga membawaku kembali ke dalam dunia nyata dan meninggalkan semua kenanganku. Perlahan tapi pasti semua fokusku mulai kembali ke dalam pikiranku. Kata demi kata yang disampaikan rektor aku cerna dengan baik di dalam otakku. Rektor berganti dengan ketua Lembaga Pemberdayaan Mahasiswa yang mengurus KKN di kampus. Dia sampaikan kembali tempat-tempat kami melakukan kegiatan KKN selama sebulan penuh. Aku tidak dapat membayangkan seperti apa tempat KKN-ku nanti. Aku hanya mengetahui bahwa itu sangat jauh dari kampus. Setelah semua sambutan dari para petinggi kampus dan Lembaga Pemberdayaan Mahasiswa usai, akhirnya semua mahasiswa-pun menuju ke mobil yang sudah disediakan kampus untuk mengantar kami ke tempat KKN. Selama perjalanan menuju tempat KKN, di kiri dan kanan jalan dipenuhi dengan pohon-pohon yang rindang dan tinggi. Udaranya masih sangat segar menyejukkan setiap kali oksigen memenuhi rongg paru-paruku. "Kamu Diona ya?" tanya seseorang yang duduk di sampingku. "Ya… maaf, nama kamu siapa?" tanyaku. "Namaku Leny. Kamu temannya Pandukan?" tanyanya. Aku coba mengingat-ngingat temanku yang bernama Pandu tapi aku gagal mengingatnya. "Pandu mana ya?" tanyaku bingung. "Teman sekelasmu, yang tadi berbicara denganmu sesaat sebelum pemberangkatan," jawab Leny dan aku mulai mengingat ada seorang pria yang mengajakku berbicara sebelum pemberangkatan tadi, tapi saat itu pikiranku sedang terfokus pada permasalahanku dan Wilman. "Maaf, aku di sini mahasiswa pindahan jadi kurang ingat dengan teman sekelas. Ada yang tau nama tapi lupa wajah dan sebaliknya. Kamu fakultas apa?" "Aku Fakultas Keguruan, jurusan Bahasa Inggris," "Wah calon guru ni...," "Pandu ada perempuan lain gak di fakuktas-nya?" Mendengar pertanyaannya sejenak aku bengong, aku mencoba mencerna pertanyaanya. Ah ya … mungkin dia bertanya apakah Pandu memiliki kekasih lain di fakultas-ku? "Aku kurang tahu karena aku memang tidak dekat dengannya" jawabku. Pertanyaan Leny mengingatkanku kembali pada apa yang aku alami tadi pagi. Bagaimana aku tidak menyadari bahwa Wilman memiliki perempuan lain di fakuktas-nya. Wilman selain seorang Polisi, dia juga adalah mahasiswa Fakuktas Hukum di kampus-ku. Dia mengambil kelas karyawan agar dapat berkuliah dan bertugas dengan baik. Mungkinkah perempuan tadi adalah teman sekelas Wilman? Namun, sekeras apa pun aku mencari alasan dan mencoba mempercayai perkataan Wilman, tetap saja hatiku tidak dapat mempercayainya. Perkiraan teman sekelas pun dapat kutepis dengan mudahnya karena Wilman adalah tingkat akhir yang telah KKN tahun lalu, sedang perempuan itu baru KKN sekarang. Memang tidak menutup kemungkinan perempuan itu juga tingkat akhir, karena aku pun tingkat akhir dan baru KKN sekarang. Tapi entahlah, aku sungguh tidak memahami semuanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD