Bab 3

1122 Words
Setelah perjalanan yang cukup panjang selama satu setengah jam, akhirnya aku sampai juga di Kecamatan tempatku KKN. Ini bukan tujuan akhir dari perjalananku, ini baru sebuah awal dari perjuanganku selama sebulan di tempat yang baru--tempat yang asing bagiku. Di kecamatan hanya penerimaan secara formal oleh Pak Camat di sini.  Setelah itu nanti kami harus melanjutkan ke desa masing-masing. Di kecamatan ini ada lima kelompok yang disebar dalam lima Desa, salah satunya kelompokku. Aku memandang ke sekitarku mencoba mengenali daerah sekitar kecamatan. Daerah ini menurutku lumayan walau tidak seramai tempatku tinggal. Tetapi setidaknya di sini masih ada kendaraan umum yang berlalu lalang di jalanan. Udaranya terasa masih segar memenuhi setiap rongga paru-paruku. Tatapanku terhenti pada sosok seorang perempuan berutubuh tinggi, berkulit putih dan rambut yang di ikat ekor kuda. Aku melihat perempuan itu dengan seksama, dia adalah perempuan yang tadi pagi bersama Wilman. Jika ada dia berarti Wilman ada di sini. Aku mencoba mencari sosok Wilman di antara para mahasiswa dan orang-orang yang mengantar mereka ke tempat KKN, tapi nihil aku tidak menemukannya. Mungkin dia memang tidak mengantar perempuan itu ke sini, mungkin dia langsung pulang dan seperti katanya, langsung bekerja. "Di, kamu cari siapa sih?" tanya Ria yang menyadari aku tengah mencari seseorang. "Eeehhh… aku tidak mencari siapa-siapa, aku hanya ingin tahu saja daerah sini," jawabku berbohong. Aku kembali memandangi keadaan di sekitarku mencari sosok Wilman, tapi aku sungguh tidak melihatnya sama sekali. Tapi tunggu… dikejauhan aku melihat motor Ninja Biru berpolet Hitam. Aku kembali memicingkan mataku dan mencoba mengenali motor itu beserta pengendaranya. Ya… itu Wilman, ternyata benar Wilman mengantar perempuan itu ke tempat dia KKN. Saat penerimaan di kecamatan selesai, kami bersiap melanjutkan perjalanan ke desa tempat KKN masing-masing mahasiswa. Aku baru saja akan berjalan menuju ke mobil yang membawa kelompokku ke tempat KKN ketika motor Wilman berhenti di hadapanku. "Naiklah!" perintah Wilman. "Tidak! Aku akan naik mobil," jawabku. Tanpa kuduga Wilman langsung memegang tanganku dengan erat—sangat erat. "Apa yang kamu mau?" "Naik ke motor biar aku antar!" kata Wilman. "Sayang… aku mencarimu dari tadi, ayo antar aku," kata perempuan yang sama yang aku lihat tadi pagi sambil naik ke belakang Wilman. Melihat kelakuan perempuan itu aku langsung berlalu dari hadapan Wilman. Rasanya hatiku kembali hancur melihat hal itu. Bulir-bulir kecil itu kembali jatuh ke pipiku dengan derasnya. Aku berusaha menghapus air bening yang membasahi pipiku. "Di… Diona tunggu aku," kata Wilman yang berusaha mengejarku. "Apa lagi?" tanyaku sambil menatap tajam mata Wilman. "Dengarkan dulu penjelasanku," kata Wilman. "Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa, semuanya sudah sangat jelas!" kataku sambil berlalu dari hadapan Wilman. Bulir-bulir kecil dan bening terus menjatuhi pipiku tanpa dapat kutahan lagi. Hatiku benar-benar sakit atas apa yang telah dilakukan oleh Wilman. Aku tidak percaya jika dia tega melakukan semua itu disaat keluarga sudah saling bertemu dan merencanakan masa depan kami, dan juga setelah pengajuan pernikan berjalan. "Kamu kenapa?" tanya Leny saat aku telah duduk di sampingnya. "Tidak apa-apa, tadi hanya ada debu masuk ke mataku," jawabku berbohong. Mobil yang aku tumpangi kembali berjalan menuju desa tempatku KKN. Selama perjalanan yang kukihat di kiri dan kanan jalan hanya sawah dan ladang. Aku mencoba mencari-cari rumah penduduk, tapi ternyata sepanjang jalan sangat jarang rumah penduduk yang aku lihat. Jalan yang dilewati pun sangat sempit, hanya cukup dilewati oleh satu mobil saja dan tidak bisa berpapasan. Setelah empat puluh lima menit perjalanan, akhirnya sampai juga di desa tempatku KKN, nama desanya Bunga Wangi. Sedikit aneh memang namanya, di mana sejauh mata memandang aku tidak melihat satu pun bunga yang tumbuh, yang ada hanyalah pohon-pohon palawija dan tanaman lainnya. Tapi aku yakin pasti ada filosofi di balik pemilihan nama desa itu yang tidak aku ketahui karena aku hanya pendatang. Begitu sampai kami langsung ke kantor kepala desa untuk memperkenalkan diri dan maksud kedatangan kami walau pihak kampus telah menemui mereka jauh sebelum kami KKN. Penyambutan dari Kepala Desa sangat-sangat baik, bahkan ketua dusunnya langsung mengantar kami ke posko yang akan kami tinggali selama satu bulan ini. Posko kami merupakan sebuh rumah yang menurutku sangat besar dan bahkan lebih besar dari rumah-rumah disekitarnya. Rumah itu terdiri dari empat buah kamar, satu kamar mandi, gudang, dapur, ruang keluarga dan ruang tamu. Tidak ada yang aneh dari rumah ini, semuanya nampak normal dan biasa saja. Ibu pemilik rumah pun sangat ramah kepada kami. Dia mempersilahkan kami menggunakan semua fasilitas yang ada di rumahnya. Empat kamar yang ada kami bagi dua, dua kamar untuk perempuan dan dua kamar untuk laki-laki dengan penghuni setiap kamar lima orang. Setelah beristirhat sejenak, kami membagi menjadi empat kelompok untuk berkeliling guna mengenali desa tempat kami KKN. Aku mendapat dusun yang paling jauh dari desa. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Udara disini masih sangat segar dan tidak pernah kutemui di kota. Jam sudah menunjukkan angka dua belas namun embun masih menyelimuti sebagian besar desa ini. Ini benar-benar daerah yang terpencil, jauh dari kota dan menurutku jauh dari peradaban. Memang aku agak berlebihan mengatakan bahwa tempat ini jauh dari peradaban. Tapi ini memang kenyataannya. Sepanjang jalan aku tidak melihat satu pun kendaraan umum melewati daerah ini. Setiap kami berhenti di warung untuk membeli sekedar cemilan dan air mineral pun tidak ada. Warung-warung hanya menjual sabun saja, tanpa menjual cemilan ataupun sayuran. Aku sedikit membayangkan bagaimana kehidupanku selama sebulan di sini. Aku yang terbiasa dengan segala sesuatu terjangkau kini harus benar-benar tidak dapat menjangkau apa pun. Aku bagaikan di buang di negeri antah berantah yang mungkin dalam peta pun tidak ada. "Sebelum kembali ke posko kita istirahat dulu lah, kakiku benar-benar pegal," keluhku. "Bener, kita istirahat dulu," kata Dini. "Ya... lagian kenapa sih tuh anak-anak cowok kan pada bawa motor, kenapa gak mereka saja sih yang survey ke sini," timpah Fitri. "Telpon saja tuh ketuanya suruh jemput kita " kata Dini. "Jangan, jangan telpon mereka. Gengsi dong kalau kita ngeluh. Biar kalau mereka merasa iba sama kita, mereka akan datang sendiri," kataku. "Bener tuh kata Diona," kata Fitri. Dalam kelompok kecilku ini hanya terdiri dari perempuan semua yang kami semua akan menempati kamar depan. Perjalanan pulang kami selingi dengan canda dan tawa sambil sesekali kami berhenti melepas lelah kami. Rasanya ini memang sesuatu yang sangat berat untuk kami lakukan. Bagaimana tidak, kami yang jarang berjalan kaki dan sekarang kami dipaksa untuk berjalan kaki dengan jarak yang benar-benar jauh. "Kalian ke mana saja, sudah satu setengah jam kalian pergi?" kata Arif saat kami sampai di posko. Dia adalah  ketua kelompokku. "Sekali jalan tiga puluh lima menit. Jaraknya jauh banget, lagian kalian gak ada yang jemput kami, padahal ada motor," kataku sambil meluruskan kaki di teras. "Kenapa tidak telpon?" tanya Arif. "Kenapa harus di telpon sih, kenapa gak ngerti saja, kan tahu kita mendapat dusun yang paling jauh? Ah… rasanya aku di buang di sini," kata Dini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD