2. Deja Vu

1642 Words
"Mas, ini data pelatihan dan seminar karyawan yang Mas Raka minta." Nayarra menyerahkan laporan yang baru saja selesai dikerjakannya untuk diperiksa oleh Raka. "Thanks, Naya." Raka mengambil berkas yang Nayarra letakkan di atas meja kerjanya. "Oh, iya! Kebetulan kamu kemari. Saya baru saja terima telepon dari Pak Jett. Kamu diminta ke ruangannya." Nayarra memicingkan matanya. "Lagi?" "Iya." Raka mengangguk kecil. "Ada apa lagi, Mas?" tanya Nayarra bingung. "Saya juga nggak tahu." Raka menggeleng bingung. "Kali ini Pak Jett nggak bilang apa-apa, cuma minta kamu menemui dia." Nayarra mengembuskan napasnya, berharap dalam hati urusan ini akan cepat selesai. "Jam berapa, Mas?" "Sekarang." Nayarra memutar bola matanya. "Ya, sudah. Saya ke sana dulu." "Hati-hati, Naya," ujar Raka mengingatkan. Nayarra mendengus geli. "Kayak saya ini mau pergi ke mana aja, Mas." "Saya serius, Naya. Kamu harus hati-hati kalau berurusan dengan petinggi di sini. Bicara kamu yang suka tajam dan blak-blakan itu bisa jadi bumerang buat diri kamu sendiri." "Oke, Mas," jawab Nayarra patuh. Begitu keluar dari ruangan Raka, Nayarra langsung menuju meja kerjanya, mengambil agenda dan ponselnya, lalu berjalan keluar. "Mau ke mana lo?" tanya Selly yang melihat Nayarra pergi tanpa pamit. Nayarra berhenti melangkah dan menoleh ke arah Selly. "Ruangan Pak Jett." "Lagi?" sahut Selly dan Pingkan bersamaan. Nayarra terkekeh geli. "Reaksi kalian persis sama kayak reaksi gue tadi." "Lo ada urusan apa lagi?" tanya Lita. "Mana gue tahu." Ia mengedik santai. "Hati-hati lo, Nay," ujar Selly mengingatkan. "Kayak Mas Raka deh tingkah lo," ejek Nayarra. Dalam perjalanan menuju ruangan Jett, Nayarra terus berpikir dan mencoba menerka alasan pemanggilannya kali ini. Sekaligus menyiapkan diri untuk berhadapan dengan sosok penuh intimidasi yang akan ditemuinya dalam beberapa menit ke depan. "Permisi, Mbak," sapa Nayarra sopan pada sekretaris Jett. "Saya Nayarra dari bagian HRD. Saya diberitahu kalau Pak Jett memanggil saya." "Masuk saja," balas Gemma disertai senyum sopan. "Langsung masuk saja, Mbak?" tanya Nayarra tidak yakin. Gemma mengangguk yakin. "Iya, Pak Jett sudah pesan sama saya tadi. Kalau ada kamu, langsung disuruh masuk saja." "Oke, Mbak. Terima kasih." Nayarra mengetuk pintu dan langsung melangkah masuk. Belum lagi ia duduk, Jett sudah menyambutnya dengan pertanyaan tanpa mempersilakannya untuk duduk terlebih dahulu. "Kamu bisa tebak kenapa saya panggil kamu ke sini?" Nayarra otomatis berhenti melangkah lalu menjawab tenang dari tempatnya berdiri. "Untuk menindaklanjuti pembicaraan kemarin, mungkin?" "Tepat." Jett mengangguk angkuh. Kemudian tangannya bergerak menunjuk kursi, meminta Nayarra duduk. Nayarra mengikuti perintah Jett dan duduk dengan tenang. "Jadi apa yang harus saya lakukan?" "Saya mau kamu menganalisis data pelamar yang kamu jegal itu, pelajari dengan baik, lalu carikan posisi yang tepat untuk gadis itu." "Kenapa saya?" balas Nayarra keberatan. "Karena kamu yang memberi rekomendasi buruk tentang dia, jadi kamu yang harus bertanggung jawab." "Kalau ternyata tetap tidak ada posisi yang sesuai?" tanyanya sangsi. "Saya yakin pasti ada. Sebagai seorang lulusan psikologi, saya tahu kamu mampu mengamati kepribadian seseorang. Dan kamu pasti tahu kalau semua orang memiliki potensi untuk dikembangkan. Jadi kamu pasti bisa melihat potensinya dan menemukan posisi yang tepat untuk dia." "Apakah bersenang-senang bisa termasuk sebuah potensi?" tanya Nayarra sinis. Sebelum memutuskan memberi rekomendasi buruk, Nayarra sudah mengamati kehidupan gadis itu melalui sosial medianya, dan hampir semua hal yang Nadia posting didominasi dengan kegiatan clubbing. "Kenapa tidak?" tantang Jett. "Sekarang banyak orang yang menghasilkan uang dari bersenang-senang." "Baik, akan saya lakukan," sahut Nayarra singkat. "Saya beri kamu waktu tiga hari." "Baik." Nayarra mengangguk kaku. "Kalau tidak ada lagi yang ingin Bapak sampaikan, saya permisi." Dalam hati Jett meradang. Wanita ini memang sedikit terlalu berani, atau bahkan terlalu berani. Berani menatap matanya tanpa gentar sama sekali, berani menentang juga membalikkan ucapannya, dan bahkan berani menyudahi pembicaraan lebih dulu. Tapi hal ini juga semakin mengingatkannya pada seseorang. Keduanya terlihat semakin mirip saja. "Silakan," balas Jett datar. Tanpa menunggu lebih lama, Nayarra langsung beranjak dan berjalan menuju pintu. "Tunggu!" cegah Jett sebelum Nayarra mencapai pintu. "Ya?" Nayarra berhenti dan berbalik. "Tiba-tiba saya ingat ingin menanyakan satu hal." "Apa, Pak?" balas Nayarra tenang. "Tahun berapa kamu masuk kuliah?" "Hah?" Nayarra terperangah mendengar pertanyaan Jett. "Kamu tidak ingat?" desak Jett. Nayarra menggeleng cepat. "Bukan begitu, Pak. Hanya saja pertanyaan Bapak terdengar aneh." "Jawab saja," ujarnya memaksa. "2010, Pak." "Oke. Silakan pergi." Dan pria aneh itu mengakhiri percakapan aneh ini begitu saja. Membuat isi kepala Nayarra kusut karena sulit mencerna maksudnya. Tapi ia memilih tidak berlama-lama di sana dan langsung kembali ke ruangannya. Begitu Nayarra membuka pintu ruang HRD, pemandangan yang sama seperti kemarin menyambutnya. "Kenapa gue ngerasa deja vu, ya?" sindir Nayarra ketika melihat tatapan para rekan kerjanya yang terarah langsung padanya. "Kita juga ngerasa gitu," balas Pingkan cepat. "Kalian kurang kerjaan? Lagi santai?" sindir Nayarra lagi. Ia ingin kembali ke meja kerjanya, tapi jelas rekan kerjanya tidak akan mengizinkannya begitu saja sebelum mendapatkan keinginan mereka. "Kerjaan banyak. Tapi penasarana nggak bisa ditahan," sambar Selly. "Diapain lo tadi?" tembak Agung langsung. "Nggak diapa-apain," balasnya santai. "Jadi kenapa dipanggil?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Kiko jelas membuat rekan-rekannya yang lain tercengang. Si pendiam ini bisa jadi kepo juga. "Masih soal pelamar yang lo jegal?" tebak Selly. "Hmm. Gue diminta mencarikan posisi yang sesuai buat orang itu." "Cuma itu aja?" tanya Lita heran. "Iya." Nayarra mengangguk kecil. "Nggak tanya apa-apa lagi?" pancing Pingkan. "Nggak." "Yakin?" tanya Pingkan lagi. "Oh, ada!" Nayarra tiba-tiba teringat bagian akhir percakapannya dengan Jett. "Apa?" sambar Selly tidak sabar. "Pak Jett tanya kapan gue masuk kuliah." "Hah?" Ketiga rekan perempuan Nayarra sontak memberikan reaksi yang sama. Nayarra kembali tergelak kencang. "Persis kayak gitu reaksi gue." "Gitu mulu lo ngomongnya!" omel Pingkan. "Tapi emang kenyataan. Kalian selalu copy paste reaksi gue." "Ngapain Pak Jett nanya hal kayak gitu?" tanya Agung. "Mana gue ngerti. Aneh banget, kan?" "Pak Jett nggak mungkin bertanya tanpa alasan," ujar Raka tenang. "Tapi kenapa Pak Jett selalu kasih pertanyaan aneh di akhir pembicaraan dan pas saya lagi jalan ke pintu keluar?" tanya Nayarra pada Raka. Sebagai orang paling senior di ruangan ini, jelas Raka yang paling paham tentang tindak tanduk pemimpin perusahaan ini. "Supaya kamu nggak sempat mikir dan menjawab dengan spontan," balas Raka tenang. Agung mengangguk setuju mendengar jawaban Raka. "Bener, tuh! Supaya lo nggak sempat mikirin jawaban bohong." "Benar juga, sih. Tapi buat apa coba?" gumam Nayarra penuh kebingungan. "Gue nggak heran kalau besok lo dipanggil lagi ke ruangannya," celetuk Selly. *** "Bisa tebak alasan saya memanggil kamu kali ini?" Untuk ketiga kalinya Nayarra dipanggil ke ruangan Jett, dalam tiga hari berturut-turut. Dan Jett selalu menyambut kedatangan Nayarra dengan pertanyaan pembuka yang serupa. Sebelum menjawab pertanyaan Jett, Nayarra memejamkan mata selama tiga detik dan mengatur napas untuk menenangkan emosinya. Karena sejujurnya kelakuan CEO BLC Corp ini mulai menyebalkan. Setelah yakin emosinya terkendali dengan baik, Nayarra baru menjawab pertanyaan Jett. "Kenapa Bapak senang sekali meminta saya menebak? Padahal akan lebih mudah kalau Bapak mengatakan langsung tujuan Bapak memanggil saya." "Karena saya senang bermain-main, dan senang membuat orang lain susah," jawab Jett sekenanya. "..." Nayarra memilih diam. Mengingat-ingat pesan Raka yang sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak sampai melontarkan kata-kata tajam pada Jett. "Jadi apa kamu bisa menebaknya?" Nayarra menggeleng cepat. "Kali ini tidak." "Kenapa?" tanya Jett dengan nada mengejek. Merasa senang mengetahui jika wanita ini ternyata tidak secerdas kelihatannya. "Ini baru berlalu satu hari, masih ada waktu dua hari untuk menyelesaikan tugas yang Bapak berikan. Jadi seharusnya tidak ada alasan untuk memanggil saya ke sini," balas Nayarra berani. "Oke. Kalau kamu tidak bisa menebaknya, maka saya akan langsung beritahu saja." "Begitu lebih baik, Pak," sahut Nayarra. "Dengarkan baik-baik, saya punya tugas khusus untuk kamu." Jett menatap tajam ke arah Nayarra, berusaha membuat wanita itu gugup, namun nyatanya tidak berhasil. "..." Nayarra tetap menatap tenang ke arah Jett, menunggu pria itu melanjutkan penjelasannya. "Saya mau kamu mengamati, menganalisis, dan menilai kepribadian saya. Saya beri kamu waktu sepuluh menit." "Sepuluh menit?" Tanpa sadar suaranya meninggi ketika bertanya. "Ya." Jett tertawa samar, merasa senang bisa membuat Nayarra merasa terkejut. Karena biasanya ekspresi wanita itu lebih banyak tenang terkendali. "Mana cukup, Pak! Untuk mengamati kepribadian seseorang butuh waktu. Setidaknya saya harus menghabiskan waktu beberapa lama berbincang dengan orang yang akan saya amati," protes Nayarra. "Lagipula untuk apa, Pak?" "Saya punya masalah pribadi yang tidak dapat saya selesaikan, jadi saya butuh bantuan tenaga profesional untuk membantu saya." "Pak, kalau begitu seharusnya Bapak berkonsultasi dengan psikolog," usul Nayarra. "Apa gunanya ada orang-orang seperti kamu di sini?" balas Jett angkuh. Nayarra mengembuskan napasnya pelan-pelan. "Pak, saya ini lulusan psikologi, tapi saya belum menjadi seorang psikolog. Lagi pula, kalaupun seandainya sudah, maka profesi saya adalah seorang psikolog dan bukan seorang cenayang, Pak." "Maksud kamu?" tanya Jett tidak mengerti. "Tidak ada orang yang langsung bisa menilai kepribadian orang lain dalam sekali tatap." "Kita sudah bertemu tiga kali," bantah Jett. "Saya tetap tidak bisa," tandas Nayarra. "Kalau begitu, mulai hari ini kamu akan bekerja di ruangan saya." "Kenapa begitu, Pak?" protesnya spontan. "Untuk menjalankan tugas khusus yang saya berikan." Jett mengedik santai. "Kamu bilang perlu waktu untuk mengenal saya. Kalau kamu bekerja seruangan dengan saya, kamu bisa mengamati saya secara langsung." "Tapi bagaimana saya bisa bekerja? Semua perangkat yang saya butuhkan ada di meja kerja saya." "Kembalilah ke sini dua jam lagi, dan semua yang kamu butuhkan sudah tersedia di sini." Nayarra berusaha setengah mati untuk tidak menampakkan kekesalannya di hadapan Jett. Ia bangkit berdiri sambil berpamitan. "Saya kembali ke ruangan saya, Pak. Permisi." Nayarra gagal menghilangkan nada ketus dalam kata-katanya. "Nayarra," panggil Jett sesaat sebelum wanita itu mencapai pintu. Nayarra yang sudah mempersiapkan diri, langsung berhenti dan bertanya, "satu pertanyaan?" Seulas senyum muncul di wajah Jett. "Kamu memang pandai." "Kali ini apa yang ingin Bapak tanyakan?" "Tidak jadi." Jett menggeleng sambil membuat gerakan memutar dengan tangannya, meminta Nayarra berbalik menuju pintu lagi. "Kenapa?" tanya Nayarra penasaran. Padahal ia sudah menyiapkan diri, tapi Jett malah tidak jadi menanyakan hal-hal aneh padanya. "Waktunya tidak tepat." Kalau kamu sudah bersiap-siap, ini jadi tidak seru. Aku harus mencari waktu lain untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan kejutan buat kamu. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD