4. Semakin Penasaran

2082 Words
"Sudah mau pulang?" tanya Jett ketika melihat Nayarra merapikan meja kerjanya. "Iya, sudah waktunya. Atau saya tidak boleh pulang?" sindirnya dengan wajah datar. "Kenapa curiga begitu?" tanya Jett heran. "Biasanya Bapak sering mengeluarkan kebijakan yang aneh," balas Nayarra. "Tentu kamu boleh pulang." Jett ikut merapikan meja kerjanya. "Saya antar." "Hah?" Nayarra melongo. Benar saja! Ujung-ujungnya pasti ada yang tidak beres. "Saya antar," ulang Jett. "Tidak perlu, Pak. Saya biasa pulang sendiri," tukas Nayarra cepat. "Kamu bawa kendaraan?" "Tidak." "Ada orang lain yang mengantar?" tanya Jett lagi. "Tidak." "Lalu?" Jett mengangkat sebelah alisnya, menunggu Nayarra menjelaskan. "Saya naik kendaraan umum." Jett mendengus geli mendengar jawaban Nayarra. "Kalau ada yang bersedia mengantar kamu pulang, kenapa repot memilih kendaraan umum yang tidak nyaman?" "Pulang sendiri dengan kendaraan umum terasa lebih nyaman ketimbang diantar pulang oleh orang asing," sindirnya tajam. "Saya bukan orang asing, Arra. Saya atasan kamu," ralat Jett. "Memang Bapak atasan saya, tapi kita tidak akrab. Karena itu, bagi saya Bapak orang asing," balasnya berani. Nayarra memang sudah dua tahun bergabung dengan BLC Corp, tapi ia baru mengenal Jett secara langsung satu minggu terakhir ini. Wajar bukan jika Nayarra menganggapnya sebagai orang asing? Jett tersenyum samar melihat keberanian Nayarra menolak tawarannya. "Kalau saya sering mengantar kamu pulang, kita tidak akan jadi orang asing lagi." "Tapi masalahnya saya tidak mau, Pak." "Kenapa kamu senang sekali berdebat, Arra?" ujarnya mulai kesal. Jett selalu tidak suka jika keinginannya dibantah. "Kenapa Bapak senang sekali memaksa?" Nayarra membalikkan pertanyaan Jett. "Sudahlah, Arra. Saya sedang malas berdebat," potong Jett. "Terima tawaran saya untuk mengantar kamu pulang, atau kita berdua akan menghabiskan sepanjang malam di sini." "Maksud Bapak?" Jett mengedik angkuh. "Saya kunci pintunya dan kamu tidak akan bisa keluar." "Oke, antar saya pulang!" sahut Nayarra geram. Disambarnya tas kerjanya dengan kasar dan berjalan cepat meninggalkan ruangan Jett. Ia mulai paham kegilaan Jett, dan ia tahu pria itu bukan hanya sembarang mengancam. Si Gila itu mungkin benar-benar akan melaksanakan niat gilanya. Jett terkekeh senang. Puas karena gertakannya berhasil. "Seharusnya kamu jawab begitu sejak awal, Arra." Nayarra duduk dengan kaku di dalam mobil Jett. Berada berdua saja di dalam mobil seorang pria asing, apalagi sosok kaya yang berkuasa macam Jett ini, selalu Nayarra hindari. Kewasapadaan dan kecurigaannya meningkat tajam. "Kamu tinggal di L&C, kan?" Jett memastikan jalan yang ia lalui benar menuju ke panti asuhan tempat Nayarra tinggal. Nayarra mengangguk kecil. Malas meladeni pertanyaan Jett. "Sudah berapa lama kamu tinggal di sana?" Jett yang tahu kalau Nayarra sedang malas berbicara dengannya, sengaja memilih pertanyaan yang mengharuskan wanita itu membuka mulut untuk menjawab. Bukan sekadar pertanyaan yang bisa dijawab dengan anggukan atau gelengan kepala saja. "Sejak saya kecil," balasnya singkat. "Tepatnya?" pancing Jett lagi. "Waktu umur saya sebelas tahun." "Apa yang terjadi dengan keluarga kamu?" Nayarra menoleh ke arah Jett, ia ingin tahu ekspresi yang Jett tunjukkan saat ini. Dan Nayarra menemukan Jett memasang wajah serius, tidak ada ekspresi menyebalkan seperti yang biasa ditampilkannya ketika sedang melancarkan interogasi. "Semua keluarga saya meninggal dalam kebakaran." Jett sudah pernah mendengar tentang hal itu, tapi entah mengapa ia ingin mendengar cerita ini dituturkan langsung oleh Nayarra. "Boleh saya tahu ceritanya?" Sikap serius Jett dan sedikit kepedulian dalam suaranya membuat Nayarra setuju untuk bercerita. Lagi pula ia bukan wanita cengeng yang selalu merasa sendu setiap kali menceritakan masa kecilnya.  "Keluarga saya menjalankan usaha katering dan rumah makan. Kami tinggal di sebuah ruko. Lantai satu dan dua dijadikan sebagai tempat usaha, sementara lantai tiga untuk tempat tinggal. Menurut polisi, kebakaran terjadi karena ledakan oven di dapur. Semua keluarga saya meninggal dalam kebakaran itu. Kedua orang tua saya, kakek, nenek, kakak dan adik dari orang tua saya yang juga bekerja di sana, serta adik saya yang masih bayi. Saat kejadian, saya sedang mengikuti acara sekolah ke luar kota, itulah yang membuat saya selamat." "Kenapa tidak tinggal dengan keluarga kamu yang lain?" Nayarra menggeleng pelan. "Tidak ada keluarga dekat yang masih hidup." "Siapa yang membawa kamu ke panti asuhan?" Entah mengapa Jett semakin tertarik untuk menggali kisah hidup wanita yang sudah membuatnya didera penasaran tinggi sejak beberapa waktu terakhir. "Mama Dena, pemilik panti asuhan. Beliau sahabat mama saya." Sebelas tahun yang lalu, saat tragedi yang merenggut keluarganya terjadi, Dena Amalia membawa Nayarra untuk tinggal bersamanya. Dena yang sudah bersahabat dengan ibu dari Nayarra sejak SMA, adalah pemilik Panti Asuhan Loving & Caring. Jett mengangguk paham. "Kamu hidup dengan baik?" "Meski jauh dari kata mewah, tapi saya hidup dengan layak," ujar Nayarra dengan senyum tulus. "Dan kamu memilih menetap di sana meski sudah bekerja dan bisa hidup mandiri?" tanyanya heran. Nayarra sudah terlalu tua untuk tetap tinggal di panti asuhan. Biasanya penghuni panti asuhan akan meninggalkan tempat mereka selepas SMA atau paling tidak sampai kuliah. "Iya. Saya ingin memberikan pada anak-anak apa yang dulu saya dapatkan dari Mama Dena," jawabnya gamblang. "Berapa anak yang tinggal di sana?" "Tidak banyak. Hanya 23." "Rentang usianya?" tanya Jett. Ia senang karena Nayarra begitu kooperatif saat ini. Setiap pertanyaan yang ia ajukan dijawab dengan baik oleh wanita itu, dan ini membuat rencana Jett berjalan mulus. Sedikit lagi ia bisa mencapai tujuan utamanya. "Beragam. Dari balita hingga remaja." "Pengurusnya?" "Mama Dena, saya, dan seorang juru masak." "Hanya tiga? Memangnya cukup?" "Harus cukup." "Siapa yang bertugas membersihkan tempat kalian?" "Kami semua." "Termasuk anak-anak?" tanyanya terkejut. Ia tidak bisa membayangkan sosok yang dicarinya menjalani kehidupan yang berat seperti itu. "Iya. Sejak kecil semua anak di sana sudah diajar untuk hidup mandiri." "Anak yang terkecil di sana, berapa usianya sekarang?" tanyanya hati-hati. "Tiga tahun." Setelah obrolan panjang mereka yang terasa tenang, Nayarra baru merasa heran. Rasanya baru pernah mereka mengobrol selama ini tanpa berdebat. "Kenapa Bapak terlihat tertarik?" "Hanya ingin tahu saja." "Bapak mau ikut masuk?" Tiba-tiba Nayarra melontarkan tawaran itu ketika mobil Jett sudah berhenti di halaman L&C. "Sebentar lagi waktunya makan malam. Mungkin Bapak tertarik melihat secara langsung kehidupan di panti asuhan." Jett berpikir beberapa saat. Ini di luar rencananya, tapi tawaran Nayarra tentu merupakan hal yang bagus, dan ia langsung mengangguk setuju. "Tawaran menarik." *** "Mama, Kak Aya pulang sama laki-laki nggak dikenal!" teriak Sella yang sedang duduk di teras sambil membaca buku pelajarannya. Teriakan Sella yang kencang langsung menarik perhatian anak-anak penghuni L&C yang lain. Beberapa anak remaja terlihat melirik sekilas ke arah luar, namun tetap tenang di posisi masing-masing. Namun anak-anak yang masih kecil langsung berhamburan keluar. Nayarra menggeleng pelan sambil mengembuskan napasnya. "Bunda," sapa seorang bocah laki-laki yang menyongsong kedatangan Nayarra. Bocah lelaki itu langsung memeluk pinggang Nayarra. "Hai, Tian!" balas Nayarra sambil memeluk Sebastian. Sebastian mengangkat wajahnya namun tetap tidak melepaskan pelukannya di pinggang Nayarra. "Bunda, capek?" "Capek, tapi lihat Tian langsung hilang capeknya." Nayarra tersenyum manis sambil membelai kepala Sebastian, bocah laki-laki berusia lima tahun yang selalu lengket padanya. "Tian hari ini pintar nggak di sekolah?" "Pintar, dong!" balas Sebastian dengan senyum lebar. "Di tempat les?" tanya Nayarra lagi. "Pintar juga." Sebastian kembali mengangguk. Sebastian yang begitu menyukai musik, selalu merasa bersemangat saat berlatih piano di tempat les. L&C memang bukan panti asuhan dengan dana berlimpah, tapi Dena selalu memastikan agar anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik yang bisa diusahakannya. Termasuk membiayai les tambahan bagi anak-anak yang memiliki potensi, tentunya dengan bantuan dana dari para donatur. Nayarra membelai pipi Sebastian penuh sayang. "Di rumah?" "Lebih pintar lagi." Sebastian menjawab sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. Setelah itu Sebastian melirik ke arah Jett kemudian bertanya pelan. "Bunda datang sama siapa?" "Ini atasan Bunda di tempat kerja. Salam dulu, Sayang." "Hai, Om!" Sebastian melambaikan tangan ke arah Jett, bocah itu terlihat sedikit malu-malu. "Hai!" balas Jett kaku. Ia tidak pernah mudah berhadapan dengan anak-anak, kecuali Cheri. "Tian, boleh ajak Om Jett ke ruang makan?" pinta Nayarra pada Sebastian. "Bunda mau mandi dulu sebentar. Nanti kita makan sama-sama." Sebastian mengangguk kemudian meraih tangan Jett, menuntun pria itu ke dalam seperti permintaan Nayarra. "Ayo, Om!" Baru saja Nayarra menjejakkan kakinya di pintu rumah, seorang bocah perempuan yang masih sangat kecil berlari ke arahnya sambil mengangkat kedua tangannya, meminta Nayarra menggendongnya. Nayarra tersenyum dan menuruti permintaan bocah menggemaskan itu. "Hai, Livi! Kangen Bunda?" "..." Livi mengangguk senang, ia yang baru berusia tiga tahun memang belum banyak bicara. "Livi pintar hari ini?" tanya Nayarra seperti biasa. "..." Livi kembali mengangguk. "Bobo siang nggak?" "Bobo," jawabnya. "Makannya pintar nggak?" "..." Livi kembali mengangguk. Nayarra mengecup pipi Livi kemudian menurunkan bocah itu dari gendongannya. "Livi main dulu sama Kak Tian, Kak Iko, Kak Devi, ya? Bunda mau mandi dulu." "..." Livi mengangguk patuh. Ia berlari mendatangi Sebastian, Jeriko, dan Devi, anak-anak yang usianya tidak terpaut jauh dengan bocah itu. "Ay, siapa itu?" Belum lagi Nayarra mencapai kamar tidurnya, Dena sudah menghadang langkahnya. "Bos Aya di kantor, Ma." Dena menatap Nayarra penuh menyelidik. "Dua tahun kamu kerja di sana, Mama baru pernah lihat kamu diantar pulang sama laki-laki. Apa kamu punya hubungan dengan dia?" "Ma, Aya nggak ada apa-apa sama Pak Jett." Nayarra tersenyum menenangkan. "Amit-amit juga kalau sampai ada apa-apa, Ma. Orangnya asli bikin kesal terus." "Hati-hati sama omongan sendiri, Ay!" tegur Dena. "Iya, Ma." Nayarra mengangguk patuh. Ia begitu menghormati dan menyayangi Dena yang sudah mengasuhnya dengan baik sejak ia menjadi yatim piatu. "Bos kamu mau ikut makan di sini?" "Cukup nggak, Ma?" "Semoga cukup. Soalnya Mbok Isah masak nasi pecel hari ini." "Wah, itu sih favorit anak-anak, Ma!" Nayarra terkekeh geli. "Bisa pada nambah terus." "Makanya Mama bilang semoga cukup." *** Ketika bergabung di meja makan setelah selesai membersihkan diri, Nayarra menatap geli pada Jett yang terlihat duduk dengan canggung bersama seluruh penghuni L&C. Sedikit banyak Nayarra tahu jika Jett bukanlah orang yang terbiasa dengan kehangatan semacam ini. Buktinya saja pria itu terlalu kaku. Sikapnya seperti semua orang adalah musuhnya. Jadi jangankan untuk beramah tamah dengan segerombolan anak-anak, tidak mencari masalah dengan orang lain saja sudah bagus rasanya. "Om, makannya pake tangan aja," celetuk Eka yang duduk di sebelah kiri Jett. "Pakai tangan?" tanyanya heran. Jelas ia tahu kalau makan memang pakai tangan. "Maksudnya tidak perlu pakai sendok dan garpu, Pak," ujar Nayarra yang duduk di seberang Jett. Jett membuat gerakan dengan jarinya sambil mengernyit heran. "Iya, Om. Begini," ujar Sebastian yang duduk di sebelah kanan Jett. Bocah itu memberi contoh pada Jett. Jett menggeleng sungkan. "Saya pakai sendok dan garpu saja. "Jangankan untuk makan memakai tangannya langsung tanpa alat makan, memakan menu tradisional Indonesia saja jarang dilakukannya. Jett mencoba mencicipi hidangan di atas piringnya dengan ragu. Penampakannya yang tidak biasa membuatnya ngeri, tapi melihat betapa lahap anak-anak menyantap hidangan itu, Jett penasaran juga. "Enak juga," gumamnya setelah mencoba sesuap. "Ini salah satu menu favorit anak-anak di sini, Pak." Nayarra memberitahu meski Jett tidak bertanya apa-apa. "Kak Aya," panggil seorang remaja yang terlihat cukup besar di antara anak-anak yang lain. "Ya, Kikan?" "Kikan udah dapat pengumuman dari ITB tadi siang," ujarnya dengan mata berbinar. "Oh, ya? Gimana hasilnya?" Sebenarnya dari pancaran mata Kikan saja Nayarra sudah bisa menebak hasilnya. "Diterima, Kak!" sahutnya gembira. Nayarra ikut tersenyum senang. "Syukurlah. Selamat ya, Kikan." "Kak Kikan bakal pindah ke Bandung?" tanya Sella sedih. Kikan mengangguk pelan. "Kakak kan harus kuliah, Sel." "Kenapa nggak di Jakarta aja?" tanya Mita dengan wajah yang juga mulai mendung. "Keterimanya di sana, Mit," balas Kikan sabar. "Nanti kita nggak bisa ketemu lagi," timpal Rosa. Meski sudah berkali-kali mengalami datang dan pergi, tetap saja anak-anak selalu merasa sedih saat salah satu di antara mereka harus meninggalkan L&C. "Sudah, jangan bicarakan urusan ini saat makan. Kita bahas yang lain, ya?" Melihat suasana sedih yang tiba-tiba menyerang di tengah acara makan malam, Dena langsung menyela. "Yuda, bulan depan jadi ikut kejuaraan?" "Jadi, Ma." Yuda mengangguk kecil. Remaja 16 tahun yang pendiam ini sudah memiliki banyak prestasi dalam karate. Jett menyimak semua percakapan dan interaksi yang terjadi di meja makan, sambil pikirannya terus sibuk memperhatikan satu per satu wajah anak-anak di ruangan ini. Namun sosok yang duduk tepat di sebelahnyalah yang terus menyita perhatiannya. "Arra, terima kasih untuk malam ini. Saya baru pernah melihat suasana seperti ini," ujar Jett sungguh-sungguh saat Nayarra mengantarkannya ke halaman L&C untuk berpamitan. "Iya, Pak." "Arra, saya punya pertanyaan." Ia tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama lagi. "Ya?" Seketika Nayarra kembali waspada. Apakah Jett akan mengajaknya bermain tebak-tebakan lagi malam ini? "Apa Livi itu anak kamu?" tanyanya langsung. Nayarra mengernyit sambil menggeleng. "Bukan, Pak." "Iko?" tanya Jett lagi. Nayarra kembali menggeleng. "Kalau Tian?" Nayarra tersenyum geli. Ia sadar kenapa Jett bertanya seperti ini. "Pak, anak-anak yang masih kecil memang memanggil saya dengan sebutan 'bunda', tapi bukan berarti mereka anak saya." "Ya, sudah." Jett mengangkat bahunya kemudian mengembuskan napas. Masih tidak puas dengan jawaban Nayarra. "Kita akhiri dulu sesi tanya jawabnya. Besok kita lanjutkan lagi." *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD