Kabar yang Menyebar Cepat

1366 Words
Satu hari sebelum hari pernikahan. Janur kuning sudah melengkung di depan rumah Mbok Mar. Kabar tentang pernikahan Kinar, anak semata wayangnya pun sudah terdengar ke segala penjuru kampung. Sementara, Kinar baru saja menerima tamu, Teh Mina yang akan merias dan mempercantik dirinya di hari bahagia Kinar. Meskipun entah itu benar-benar hari bahagianya atau bukan. Bruno lah yang paling bahagia akhir-akhir ini. Ia berpikir bahwa apa yang ia tuai kali ini mendapatkan sebuah hasil. Selama ini ia bersusah payah untuk mengejar-ngejar pujaan hatinya itu, dan kini ia telah mendapatkan apa yang ia mau. “Nar, Mbok mau nganterin dulu sesuatu ke rumah Nyai, ya.” Tiba-tiba Mbok Mar muncul dari balik pintu kamar Kinar. Ia berpamitan pada Kinar untuk pergi sebentar saja ke rumah Nyai. Katanya ia ingin mengantarkan sesuatu. Tapi, entah apa itu. Selama perjalanan, Mbok Mar mulai memikirkan desas desus dari warga yang sering kali tak sengaja ia dengar. Dari mulai Kinar yang katanya mau menerima pinangan Bruno karena uang, sampai Kinar yang sepertinya di pelet oleh Bruno. Seluruh warga tahu bagaimana sikap Kinar kepada Bruno selama ini. Karena ke mana pun Kinar pergi, yang pada akhirnya disusuli oleh Bruno, perempuan itu selalu menghindar atau bersembunyi. Hampir semua penduduk terlihat kaget ketika mendengar kabar kalau perempuan cantik itu pada akhirnya akan menerima pinangan dari lelaki tambun yang umurnya lebih tua dari Kinar. Sampai di perempatan jalan, Mbok Mar melewati kumpulan anak muda yang sedang mengobrol santai selepas ashar. Tiga orang laki-laki yang salah satunya adalah lelaki yang sempat Kinar tolak lamarannya. Ia sedang memegang gitar dan mulai bersama-sama menyanyi. Mbok Mar berlalu begitu saja setelah menganggukkan kepala sambil tersenyum, yang kemudian di balas oleh anggukkan kepala juga dari mereka sebagai tanda ke ramah tamahan. Selepas Mbok Mar berlalu meninggalkan mereka bertiga, lelaki yang memakai kaus berwarna putih mulai berbicara. “Heh, geus apal can kabarna?” Ia mengeluarkan kalimat tanya yang merupakan tanda tanda awal dunia pergibahan telah di mulai. Namanya Acep. Yang paling cerewet dan senang menggoda perempuan perempuan di kampung. Sejenis buaya rawa yang senang membuat korbannya nyaman lalu menghilang, mencari korban yang baru. Status saat ini masih single alias membujang. Sepertinya ia belum ada pikiran untuk serius dalam menjalankan hubungan. “Kabar naon atuh maneh teh? Ai ngomong tong sok sapotong-sapotong naha!” Pertanyaan dari mulut Acep itu rupanya dibalas oleh Winarto. Lelaki dengan nama yang sangat Jawa kental, padahal ia sebenarnya turunan Sunda tulen. Memakai kain sarung berwarna hitam coklat, ia duduk di antara ke tiga lelaki itu sambil memainkan kopiah nya. Ia baru saja pulang dari masjid, sepulang sholat ashar. Berbeda dengan Acep yang tabiatnya seperti setan, senang memberi harapan lalu menghilang, Winarto ini memiliki rupanya setia pada satu pujaan hati. Ia menyimpan perasaannya sejak lama, hanya karena perbedaan usia yang membuatnya enggan untuk menyatakan cinta. Katanya, masih terlalu dini untuk tertolak dan sakit hati. Jadi, diam-diam, ia memungkinkan hatinya dengan cinta dari hari ke hari. Acep menggerakkan kepala. Mendongak dua kali ke arah lelaki yang sedang memegang gitar. Ia yang paling terlihat tidak peduli dengan obrolan mereka berdua. Namanya Haris. Usianya dengan Kinar hanya beda satu tahun. Ia lah lelaki yang rupanya ditolak pinangannya oleh Kinar. Padahal, lelaki itu sudah menyukainya sejak mereka masih kecil dan senang bermain di lapangan bersama. Menggunakan kaus hitam, dilihat-lihat dan dibandingkan dengan Bruno yang bertubuh tambun dan lebih tua itu, jelas kalau Haris menang telak. Wajahnya bisa dikatakan lumayan. Postur tubuhnya pun bisa dibilang ideal. Tidak terlalu kurus, tapi tidak gendut juga. Tapi sekali lagi. Kinar hanya tertarik dengan mahasiswa dari kota yang saat itu sempat melakukan KKN di kampung tersebut. “Yeuh, Ris! Si Kinar!” Acep memulai percakapan. Ia menyenggol lengan Haris yang sama sekali tidak tertarik. Entah luka di hatinya belum kering, atau memang sudah bisa menerima kenyataan kalau wanita yang diincarnya itu memang tidak bisa ia dapatkan, pokoknya ia sudah tidak mau tahu. Ia tidak tuli. Hampir semua penduduk di perkampungan itu memang sudah tahu kabar tentang Kinar. Lagipula, dengan lingkup yang tidak luas. Ditambah lagi tingkat kumpul-kumpul dan bersosialisasi antara penduduk kampung dengan orang-orang kota lebih tinggi. Mereka masih senang berkumpul di tukang sayur yang memang hanya satu di kampung itu, masih sering menghadiri acara acara yang diadakan oleh tetangga, mereka akan secara kompak datang dan memenuhi rumah tetangganya itu, begitu juga jika ada musibah, mereka akan berkumpul, setidaknya memberikan semangat kepada orang yang terkena musibah tersebut. Belum lagi, anak-anak muda yang sering berempugan, berbeda dengan di kota yang lebih sering berdiam di dalam kamar sambil memainkan ponsel, bermain game digital, atau sekedar maraton menonton drama, seperti keponakan Nyai yang belum lama ini pindah dari kota ke kampung ini. Karena itu tadi. Perkampungan yang cukup berada di pedalaman ini belum terjangkau oleh sinyal untuk ponsel. Untuk berkomunikasi saja, kampung ini masih menggunakan kentongan yang berfungsi untuk memberikan informasi-informasi penting pada semua warga. Mereka juga masih menggunakan speaker dari masjid untuk memberi pengumuman. Maka, sejak datang ke kampung tersebut, sedikit demi sedikit, anak kota yang belum lama pindah itu mulai terbiasa untuk bersosialisasi dengan para remaja kampung. “Beuh, membuka luka lama ai maneh mah, Cep!” celetuk Winarto kemudian. Sementara Haris masih sibuk dengan gitar yang ia pegang, Acep sibuk bergosip tentang perempuan yang menolak sahabatnya itu. “Geus teu baleg eta mata si Kinar teh, euy!” Katanya, mata perempuan itu sudah rusak. Sudah tidak dapat melihat lagi dengan benar. Mungkin, perkara kabar yang katanya Kinar besok akan menikahi Bruno sudah sampai di telinganya. Jika dapat dikatakan, bukan hanya mereka saja yang terkejut mendengar hal gila itu. Mbok Mar sendiri yang sangat dekat dengan anaknya pun merasa sangat terkejut. “Cik tingali atuh si Haris. Goreng nya teu goreng-goreng teuing lah! Teung teuingeun si Kinar miceun si Haris demi si Bruno mah euy!” Rupanya, selain sejenis dengan buaya rawa yang senang menebar pesona dan gombal sana sini, si Acep ini adalah kompor gas dua tungku. Senang memanas manasi sahabatnya itu. Ia berkata kalau Haris sangat jauh lebih baik dari Kinar. Kesalahan yang sangat fatal bagi Kinar yang telah membuang Haris demi seseorang seperti Bruno itu. “Ai sugan mah neangan nu kumaha si Kinar teh. Ai pek tembragna geuning nu kos kitu patut. Hahaha,” tambah Acep lagi. Benar-benar definisi mulut tetangga julid dengan level paling pedas sekecamatan. Ia bilang, kalau ia sudah menerka-nerka bagaimana selera Kinar. Ia pikir Kinar menolak Haris karena standarnya yang tinggi, tapi ternyata ia salah presepsi. Lelaki pilihan Kinar rupanya adalah seorang Bruno. Sementara Haris yang terus menerus digoda itu hanya pura pura tuli. Ia masih menyetel gitarnya dan sesekali memainkan senar. “Tapi, maneh diundang teu?” Kali ini, yang bersuara ada Winarto. Ia bertanya apakah Haris dapat undangan dari Kinar atau tidak. Haris yang sejak tadi terlihat tidak peduli itu akhirnya menengok ke arah Winarto. Ia kemudian kembali membuang pandangannya ke gitar yang ada di tangannya. “Kalau pun diundang, maraneh emang rek naon?” Haris bertanya balik. Katanya, kalau memang dirinya diundang oleh Kinar, apa yang akan mereka berdua lakukan? Keduanya menggelengkan kepala. “Ah, pokokna mah, urang menyayangkan pilihan Kinar!” Lagi-lagi Acep menjadi kompor. “Keun. Hidup Kinar adalah miliknya. Jadi, keun wae. Tong pipilueun.” Haris yang nampak tidak peduli itu ternyata diam diam masih membela Kinar. Katanya, itu adalah hidupnya Kinar. Terserah ia mau melakukan apa. Jadi, biarkan saja. Kita tidak perlu ikut campur. Cukup lama mereka berbincang-bincang sampai senja mulai menguning. “Mun ceuk urang, yeuh. Eta lalakina maen teu bener!” Rupanya tidak berhenti di situ. Acep yang sudah seringkali diberi tahu Haris untuk berhenti membahas kasus perempuan itu. Namun, ya namanya juga Acep. Sulit baginya untuk tidak julid walau hanya satu hari saja. Tiba-tiba, Wiranto yang sejak tadi diam itu tergelenjar. Ia yang beberapa menit terakhir hanya bengong dan menghabiskan waktunya untuk berpikir, sekarang kelabakan. “Duh, urang poho!” Begitu yang keluar dari mulutnya. Ia rupanya baru ingat kalau ia harusnya pergi ke kompleks pemakaman selepas shalat Jum'at tadi siang. Tapi, tidak ada yang terlambat bagi Winarto. Dengan segera, ia menarik lengan kedua temannya untuk ikut mengantarnya ke sana. Sementara kedua temannya yang tidak tahu apa apa itu menatap Winarto dengan mimik yang heran. “Ngilu weh heula. Ke urang jelaskeun.” “Ikut saja dulu, nanti saya jelaskan. “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD