Wak Jaman

1375 Words
Sejak hari di mana kakiku yang terkena bambu itu sembuh, aku tidak pernah kapok untuk mengejar anak ayam dan menangkapnya menjelang petang lagi. Karena sekarang ini aku sudah sedikit banyak hafal, dan juga sudah lebih luwes dibanding sebelumnya, akhirnya Nyai mengizinkan aku untuk terus menangkap anak ayam dan memasukkannya ke dalam kandang bersama Nia, ataupun ketika Nia kebetulan tidak bisa menangkap anak ayam, aku kini bisa mengatasinya sendiri. Sebelum magrib, aku akan berlari dengan senang hati ke kebun belakang dan mulai menangkapi satu persatu anak ayam dan memasukkannya ke dalam kandang. Akan tetapi, beberapa waktu ke belakang, wanita beruban yang biasanya memandangiku dari pintu belakang rumahnya itu, kini jarang terlihat lagi. Biasanya, ia selalu berdiri di ambang pintu sambil memandangiku dengan tatapan yang sampai sekarang pun aku tak tahu maksudnya apa. Sering kali aku perhatikan balik, anehnya ia tetap menatapku. Tidak ada takut-takutnya, begitu. Dan sore ini, begitu aku, Rendi, Nia, Dita, dan juga Teh Kinar berkumpul seperti biasanya, barulah kutahu apa penyebab wanita beruban itu tidak lagi memandangiku dari pintu belakang rumahnya. Mengapa ia tidak lagi terlihat dalam beberapa hari ini. Rupanya, suami dari wanita itu sedang sakit. Lelaki yang dipanggil Wak Jaman itu katanya sudah terbaring sakit sejak beberapa hari yang lalu. Aku ingat, beberapa waktu yang lalu, saat aku mengintip Abah yang keluar di malam hari, aku memang melihat banyak orang berkumpul di rumah itu. Hanya saja, aku tidak tahu kalau ada yang sedang sakit. Kupikir sedang ada perkumpulan warga, seperti di desa-desa kebanyakan. Atau seperti acara pengajian rutin yang memang diselenggarakan di rumah-rumah warga kampung secara bergiliran tiap bulannya. “Sakit apa katanya?” Rendi, anak dari Pak RT yang kali ini bertanya. Kami masih duduk di bawah pohon mangga. Ini menjadi markas tak rahasia kami, karena memang berada di tempat yang terbuka. Kami selalu berkumpul sebelum adzan ashar atau setelah adzan ashar sambil menunggu adzan magrib berkumandang. Nia yang biasanya menjadi seorang mbah Google yang tahu segalanya, saat ini malah mengangkat bahu sebagai isyarat kalau ia juga tidak tahu pasti. Berati, informasi ini belum sampai ke telinga Nia. Padahal, rumah kami memang berseberangan. “Yang pasti sih, udah parah.” Aku juga sebenarnya belum begitu tahu yang mana orang yang dimaksud sebagai suami dari wanita itu. Mungkin saja kami pernah berpapasan, tapi aku yang tidak sadar kalau ia adalah suami dari wanita itu. Yang kutahu hanya namanya yang biasa disebut-sebut oleh warga sebagai Wak Jaman. Sesekali, aku menatap Teh Kinar yang terlihat gelisah. Awalnya, kami bercerita dengan asyik, tapi, begitu ia menengok ke arah belakang Rendi, seketika wajahnya berubah. Seperti baru saja melihat hantu dan ingin segera kabur dari sana. Kalau sudah seperti ini, rasanya aku paham sesuatu. Kusenggol tangan Nia yang sepertinya belum sadar tentang gelagat Teh Kinar. Begitu aku menyenggol tangannya, ia menengok. Langsung sepaham dengan apa yang ada di kepalaku. Seolah-olah kami bisa bertelepati. Tidak perlu bicara tapi bisa saling membaca pikiran masing masing. Benar saja dugaanku. Teh Kinar yang tidak enak duduk sejak tadi itu kini bangkit dari dipan bambu tempat kami berkumpul. Tangannya masih sibuk membuka kuaci yang dikeluarkan Rendi dari ranselnya. Sementara, matanya masih memandang jauh ke belakang lelaki itu. Ia seolah bisa mendeteksi sesuatu yang sangat ia hindari. Tanpa ba bi bu lagi, Teh Kinar berpamitan pada kami dan segera berlari. Kami yang melihat tingkah Teh Kinar yang sebegitunya hanya bisa tertawa. Benar saja, beberapa waktu berlalu, lelaki tambun itu sudah sampai dan berdiri tepat di depan kami yang masih terkekeh geli. Ia kemudian bertanya tentang Teh Kinar. Bang Bruno rupanya benar-benar pantang menyerah meskipun Teh Kinar sudah menolaknya mati-matian. “Permisi, ada lihat Kinar tak? Perasaan tadi ku tengok ada Kinar di sini.” Dalam beberapa je nak Kami terdiam. Kemudian, kami mengacungkan jari secara bersamaan. Tapi, arah kami berbeda satu sama lain. Aku menunjuk ke seberang, ke arah rumah wanita beruban yang katanya memiliki suami yang sedang sakit keras itu, sementara Rendi mengacungkan telunjuknya ke arah kanan, jalan di mana Teh Kinar tadi berlari secepat kilat begitu melihat Bang Bruno dari kejauhan. Dita yang paling kecil itu menunjuk ke arah rumah Nyai. Entah maksudnya mengarah ke mana. Sementara Nia, manusia yang paling tidak masuk akal dan terlihat paling tidak pandai berbohong, ia mengacungkan jari telunjuknya ke atas. Tepatnya, ke pohon mangga yang rimbun ini. Konyol bukan? Ia pikir Teh Kinar sejenis burung hantu yang senang bertengger di dahan? Ia akhirnya berjalan ke arah yang Rendi tunjuk. Rupanya, instingnya tidak salah. Ia berjalan setelah mengucapkan terima kasih pada kami. “Terima kasih!” Sekali lagi, Rendi meneguk sirup berwarna merah yang sebelumnya ia tuang ke dalam gelas kosong. Setelah membiarkan lelaki itu melenggang pergi mengejar pujaan hatinya, kami kembali pada topik utama pembicaraan kami. “Sudah tidak bisa banyak bergerak katanya, Nia. Kamu belum menengok ke sana?” Lagi-lagi Rendi bertanya ke pada sepupuku itu. Sementara, Nia yang ditanya hanya menggelengkan kepala. Ia saja baru tahu kalau ternyata Wak Jaman itu sakit. Abah maupun Nyai tidak berkata apa pun. Tidak ada juga yang mengajak kami untuk menengok mereka. Mungkin, itu bukan urusan anak kecil seperti kami. “Lah, kamu sih, Ren? Belum nengok emangnya? Pan kamu teh anak bapak RT, masa belum ke situ?” Kali ini Nia balik bertanya pada Rendi. Memang benar sih, biasanya beberapa hari jika seorang warga sakit, biasanya Pak RT akan mengunjungi rumah warga tersebut. Apalagi, katanya sakitnya parah seperti ini. Sudah pasti jadi angenda wajib untuk dikunjungi oleh Pak RT. “Saya baru mau ke situ nanti sore, nunggu Bapak lagi rapat di kecamatan, Nia. Bapak bilang ada hal yang harus diurus terlebih dahulu sebelum menengok Wak Jaman. Dita dan aku yang sejak tadi hanya menyimak dua orang ini saling tanya jawab, hanya menyimak sambil membuka cangkang kuaci. Memang paling benar, jika kita mengobrol, mendengarkan cerita seperti ini sambil mengemil. Sampai tak terasa, kuaci yang dikeluarkan oleh Rendi dari dalam ranselnya itu sudah sisa cangkangnya saja. Alias sudah habis. Tak lama, adzan ashar berkumandang. Kami memutuskan untuk bubar jalan dan mulai melakukan aktivitas dan kewajiban harian kami. Dita yang katanya akan membantu ibunya membuat kue karena ada pesanan untuk acara pengajian bulanan di rumah Bapak Missan. Sementara Rendi, seperti yang sebelumnya sudah dikatakan, kalau ia akan menjemput Bapaknya yang rapat di kecamatan dan akan menengok Wak Jaman yang sedang sakit itu. Sementara aku dan Nia, akan mengangkat jemuran, mencuci piring, lalu menangkap anak ayam dan memasukannya ke dalam kandang. Seperti hari hari biasanya. Meskipun beberapa waktu lalu ramai sekali hewan ternak yang dinyatakan menghilang, ayam ayam milik Nyai tetap utuh. Mungkin karena harganya yang tak seberapa, membuat si maling itu tidak tertarik untuk mengambil anak anak ayam milik Nyai. Ditambah kan memang belum besar juga. Masih tanggung, katanya. Dan sepertinya, yang diincar adalah hewan-hewan ternak yang lumayan harganya. Seperti kambing, domba, atau sapi. Nia mengerek air dari dalam sumur tua yang letaknya di tengah-tengah dapur. Kemudian ia menuangkan airnya ke dalam bak hitam besar yang ada di hadapanku. Sementara aku bertugas untuk mencuci piring dan menyabuninya. Dapur terasa sepi. Biasanya suara hewan ternak terdengar gaduh, entah itu suara kambing yang mengambil, ataupun suara sapi yang seringkali mengejutkanku karena suaranya cukup keras terdengar. Sayangnya, kini tidak ada lagi. Suara-suara itu lenyap. Terakhir kali kulihat dari celah di belakang terpal ini, ada tiga hewan ternak yang tersisa. Kucoba intip kembali lewat lubang kecil dari balik terpal. Sepi. Hewan ternak di kandang itu sekarang sudah tidak bersisa lagi. Sama sekali. Tak seekor pun. “Ini tetangga sebelah udah ngejual semua hewan ternaknya apa ya?” Aku tiba-tiba saja berkata demikian pada Nia. Sementara tanganku masih sibuk dengan piring piring kotor itu. “Nanti juga banyak lagi, Gis. Sudah biasa.” Aku sedikit tidak paham dengan perkataan Nia. Maksudnya bagaimana? Melihat mimik wajahku, sepertinya Nia paham. Ia melanjutkan perkataannya. “Sudah biasa, kalau tidak hilang ya dijual. Nanti juga mereka beli lagi. Sudah biasa bisnis jual beli yang seperti itu. Nanti teh kalau sudah musimnya itu hewan murah, mereka beli lagi yang banyak. Pas harganya naik, mereka jual deh. Untung kan?” Cukup masuk akal. Aku menganggukkan kepala. Memang investasi seharusnya seperti itu, kan? Nia mengambil potongan kayu bakar di ujung dapur. Tepatnya di kolong dipan bambu yang menutupi sebuah pintu yang pernah kuceritakan sebelumnya. Pintu yang sejak kedatanganku ke mari, tidak pernah dibuka. “Itu pintu apa, Nia?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD