Perkara Pintu dan Penyakit

1141 Words
“Nia, itu pintu apa?” Akhirnya kuungkaokan rasa penasaranku. Masih dengan tangan yang dipenuhi busa dari sabun cuci piring, aku menunjuk ke arah pintu yang terhalang oleh dipan bambu di pojok dapur. Memang sejak pertama datang, pintu itu sepertinya sengaja dibuat mati. Seakan tidak boleh dibuka lagi, makanya dihalangi oleh dipan yang cukup besar ukurannya ini. Nia hanya menoleh ke arah pintu yang kutunjuk. Tidak menjawab, hanya sebentar menatap ke arah sana lalu kembali menarik timba air dari sumur untuk memenuhi bak kosong di sebelahku satu buah lagi. Jadi ada dua gak berwarna hitam dan keduanya sudah Nia penuhi. Setelah ia memenuhi bak itu, barulah ia berjongkok di depanku, sembari menaruh piring-piring yang sudah kubilas ke dalam baskom besar yang selanjutnya akan ia bawa ke rak piring di belakang, dekat pintu leter L, yang tak jauh dari ranjang milik Nyai. Berhadap-hadapan dengan lemari tua dari jati, tempat penyimpanan baju kami. “Itu emang udah gak dipake,” kata anak perempuan itu setelah cukup lama aku bertanya. Bukan Agis namanya kalau belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Dan barusan itu, kurasa jawaban dari Nia sangat-sangat tidak memuaskan. Jadilah, aku kembali bertanya padanya. Setidaknya sampai rasa penasaran ku terjawab sudah. “Kenapa?” Lagi-lagi, Nia menganggap pertanyaanku ini adalah hal yang sepele. Padahal, rasa penasaran yang selalu muncul di kepalaku bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele. Setidaknya, bagiku. Kalau saja ada orang lain yang bisa kutanyai tentang pintu itu, sudah pasti aku berhenti mengganggu Nia dengan pertanyaan-pertanyaan ini. “Ya karena tidak dipakai.” Baiklah. Sepertinya memang aku yang salah bertanya. Aku pun sudah menebak kalau Nia pasti akan menjawab demikian. Itu artinya, aku harus mengganti pertanyaannya demi mengorek-korek informasi. Setidaknya, aku harus memiliki semangat pantang menyerah seperti Nia ketika ia sedang mengorek informasi seputar gosip di kampung. “Pintu itu mengarah ke mana sih?” Semoga saja kali ini Nia tidak menjawabnya dengan singkat seperti sebelumnya. Dengan bibir yang sedikit tersenyum licik, aku berharap ini akan berhasil. “Belakang.” Salah besar. Rupanya Nia benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama kali ini. Ayo Agis, mari berpikir! “Di belakang ada apa?” Nia yang sedang menaruh piring ke baskom tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arahku yang masih duduk di kursi kecil yang Nia sebut jojodog. Meskipun semua piring sudah selesai kucuci, aku belum mau bangkit. Sambil menunggu Nia menyelesaikan pekerjaanya, bukankah lebih baik agak santai sedikit? “Gak ada apa-apa. Makannya ditutup.” Nia terlihat bergegas memasukkan piring-piring itu, kemudian berlalu ke dalam rumah untuk menaruh piring bersih ke dalam rak. Meninggalkan aku seorang diri di dapur. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Aku bangkit dan menyusulnya ke dalam rumah. “Nia, ih kan aku teh belum selesai.” Aku merengek begitu melihat Nia yang baru saja beres menaruh piring-piring itu. Tapi, rengekanku tidak digubris sama sekali. Ada apa sih dengan anak itu? “Nia!” Sekali lagi kupanggil namanya. Kali ini, Nia memang menoleh. Tapi, kalimat yang keluar dari mulutnya, bukanlah jawaban yang aku inginkan. “Udah, gak ada apa-apa di sana. Ga perlu tertarik. Mending ngandangin anak ayam, hayuh!” Kulirik jam di dinding. Sudah pukul lima sore. Memang sudah waktunya untuk anak-anak ayam itu masuk ke dalam rumah mereka. Jangan sampai, biawak nakal itu lebih dulu menangkap mereka dibanding aku dan Nia. Kami akhirnya berjalan ke kebun belakang. Melewati rumah Wak Jaman yang katanya sedang sakit payah itu. Beberapa orang memang terlihat ada di sana. Sengaja aku berjalan pelan, untuk memastikan apakah Rendi masih ada di sana atau tidak. Kan, tadi siang saat kami berkumpul, Rendi bilang akan mengantar bapaknya ke rumah Wak Jaman, sebagai perwakilan untuk mengecek kondisi terkini dari Wak Jaman tersebut. Sepertinya, lelaki itu sudah pulang. Aku tidak melihatnya di beranda rumah Wak Jaman. “Nyari siapa, Gis?” Tiba-tiba, Nia yang tadinya berjalan lebih dulu, tahu-tahu ada di sebelahku. “Enggak, Nia. Pengen lihat aja, itu banyak orang di rumah Wak Jaman. Pantes aja nenek-nenek judes itu gak pernah kelihatan lagi.” Tanpa sadar, bibirku yang asal ceplos ini mengatakan hal yang kurang baik. “Hus!” Benar saja, pukulan kecil mendarat di lenganku. “Jangan ngomong gitu, ah.” Aku hanya cengengesan, sementara Nia hanya geleng-geleng kepala melihat sikapku yang demikian. Semua anak ayam berhasil kami tangkap. Karena sudah berlalu selama dua bulan lamanya, aku sudah lihai dan terbiasa. Tapi, hari itu ada anak ayam yang loncat dari kandang begitu aku membuka pintunya untuk memasukkan anak ayam yang lain. Dengan cepat dan sedikit panik, aku berlari, mengejar-ngejar anak ayam takut-takut anak ayam itu berlari lagi ke girang bambu seperti dua bulan lalu. Jangan sampai kejadian itu terulang kembali. Kan kasihan anak ayam malang itu. “Hap!” Aku menangkap angin. Anak ayam itu berlari ke arah lain. Dasar anak ayam, mau kuselamatkan, eh malah macam-macam. Aku masih berlari mengejarnya. Karena terlalu fokus, akhirnya aku menabrak seseorang yang awalnya kupikir adalah Nia. Tapi, rupanya ia memakai sepatu. Sepatu berwarna hitam. *** “Jadi, kamu abis dari situ tadi?” Nia langsung bertanya, begitu tahu kalau Rendi ada di dekatku. Ialah yang membantuku untuk menangkap anak ayam terakhir yang sempat kabur beberapa waktu lalu. Lelaki itu jugalah yang aku tabrak secara tak sengaja. Rendi melihatku yang berjalan ke belakang rumah Wak Jaman. Rupanya, tadi saat aku menengok ke rumah itu, Rendi masih ada di sana. Duduk di dalam, katanya. Ia melihatku dari jendela. Maka, setelah berpamitan pada Bapaknya, ia meminta izin untuk melihat aku dan Nia yang sedang mengampihkan para anak ayam di belakang. “Ternyata sakitnya memang parah. Saya aja kaget sih, ngelihatnya.” Memang ya, manusia itu tidak lepas dari yang namanya bersosialisasi, bertukar informasi, dan berdiskusi. Ingat, bukan gibah. Hanya melakukan kebutuhan kami sebagai mahluk hidup di bumi yang harus berbicara satu sama lain. Pinter banget ya, Agis ini kalau ngeles. “Sakit apa ceunah, Ren?” Aku masih menyimak percakapan mereka berdua. Ala-ala detektif yang sedang melakukan observasi dari lapangan yang menyamar sebagai rakyat biasa. “Susah saya menjelaskannya juga, Nia.” Kan, sampai bingung Rendi menjelaskan kepada kami, tentang sakit yang diderita Wak Jaman. “Katanya parah, tapi gak tahu sakit apa. Gimana sih, ai kamu teh, Ren!” Rendi menggaruk-garuk kepalanya. “Pokoknya, Wak Jaman sudah tidak bisa ke mana-mana, gitu. Tiduran saja di kasur.” “Stroke?” Kali ini, aku yang bertanya. Kalau dengar dari ciri-ciri yang disebutkan Rendi, bukankah itu seperti terkena serangan Stroke? Tapi, Rendi menggelengkan kepala. “Apa dong?” “Itu dia. Makannya saya bingung jelasinnya juga. Nyai belum ke rumah Wak Jaman, Nia?” Rendi bertanya pada Nia. Memang benar, kelihatannya Nyai belum ke sana. Aku maupun Nia tidak diajak Nyai. Entah atau mungkin Abah yang sudah ke sana. Masa tetangga dekat tidak menengok sama sekali? “Yang bikin saya bingung itu-“ Belum selesai Rendi berbicara, Bapak RT sudah berdiri di depan. Melambaikan tangannya, memberi tanda pada Rendi karena mereka harus pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD