Pos Kamling

1785 Words
Sore harinya, menjelang malam gerhana, beberapa bulan yang lalu. “San, ceunah malam ini teh mau ada gerhana?” Dua orang lelaki sedang duduk di sebuah pos kamling. Satu memakai kaus oblong berwarna hitam. Tangannya berotot, berperawakan besar tinggi, wajahnya seperti keturunan orang seberang. Bahkan dari logat bicara pun, sudah terlihat jelas kalau ia bukan penduduk asli kampungn ini. Yang satunya lagi, kebalikannya. Tubuhnya kurus kecil. Memakai kaus warna merah maroon. Orang yang pertama bertanya tadi. Sambil memakan kacang tanah rebus yang ditemani secangkir kopi hitam. Makanan yang wajib ada sebagai teman mengobrol dan bersantai. “Bah, iyakah? Baru dengar aku! Tak tahu aku, Bang!” jawab yang bertubuh kekar begitu lawan bicaranya mengajukan pertanyaan padanya. Katanya, malam ini akan ada gerhana bulan. Waktu yang jarang terjadi. Mungkin hanya beberapa kali dalam jangka waktu yang panjang. “Istri kamu lagi hamil, lain?” tanya yang berbadan kurus lagi pada lelaki berotot itu. Ia ingat bahwa lawan bicaranya yang orang seberang ini, memiliki istri yang sedang hamil besar. Seperti yang dipercayai oleh semua orang di kampung tersebut, jika sedang ada gerhana, maka istri yang sedang hamil besar itu harus melakukan sesuatu. Tidak langsung menjawab pertanyaan lawan bicaranya itu, ia malah menyesap kopi hitam dalam gelas plastik polos. Rasanya tambah nikmat dengan kacang tanah rebus dari aki-aki yang keliling dengan gerobak dan lampu petromaks yang belum dinyalakan. Ditambah, angin yang sepoi sepoi seakan mengusap-usap wajah mereka berdua. Di kampung ini, memang udara masih terasa segar. Setelah selesai dengan kopi hitam dan menaruh kembali gelas plastiknya di dipan, barulah kalimat keluar dari bibirnya. “Betul. Si Suti memang sedang hamil besar. Ada apa kah, Bang?” Ia yang notabene bukan penduduk asli kampung ini merasa kebingungan. Ia tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya. Mengapa malam gerhana dikaitkan dengan istrinya yang sedang hamil tua. “Malam gerhana, San!” Namun sekali lagi, lawan bicaranya yang berbadan kurus kecil itu malah berkata demikian. “Bah, apa pulak hubungan malam gerhana dengan istriku itu, Bang. Suka aneh-aneh saja cakap kau itu.” Lelaki kurus kecil itu menggeleng-gelengkan kepala. Sebagai tanda kau si San inilah yang aneh-aneh saja menurutnya. “San, jangan samakan tempat ini sama kampung kamu, atuh. Emang di seberang enggak ada aturan kalau orang hamil dan malam gerhana itu bagaimana? Sudah, nurut saja sama adat sini, selama kamu masih tinggal di sini, San!” Ia memberi tahu tentang adat kampung tersebut mengenai malam gerhana. Dan menyarankan pada lelaki berotot itu untuk tetap mematuhi adat yang ada selama ia masih tinggal di kampung tersebut. Ibaratnya, jika kamu ingin selamat maka ikuti apa yang orang lain kerjakan. Seperti air yang mengikuti wadah. “Memang apa yang harus aku perbuat, Bang? Eh, bukan aku. Istriku. Bah, mantap kali ini kopi hitam. Cerah kali mataku dibuatnya. ” San, lelaki yang berotot itu malah membicarakan kopi hitam yang tadi ia minum. Katanya, kopi hitam itu sungguh luar biasa. Sementara itu, seperti San sebelumnya, kali ini lelaki dengan tubuh kecil itu yang menyeruput kopi hitamnya sebelum bicara. “Kamu teh punya ranjang tidak di rumah?” Itulah pertanyaan yang ia lontarkan pada San setelah menyeruput kopi hitamnya. “Bah, kalau tak ada ranjang macam mana aku sama si Suti itu tidur, Bang!” Mendengar jawaban dari San si lelaki berotot itu, lawan bicaranya merasa kalau ia salah tangkap. Atau mungkin memang ia yang salah bertanya. Ah, pokoknya begitu. Kemudian lelaki itu meluruskan maksud pertanyaannya pada San yang salah paham. “Bukan, San. Ranjang yang ada kolongnya itu. Tahukan? Yang dari besi. Bukan yang tertutup dipan semuanya, San. Yang seperti di rumah Akang. Tahu, kan? Anu bisa dipakekeun kelambu ning.” Meskipun San yang kental dengan logat nya yang khas itu memang bukan penduduk asli perkampungan ini, sedikit banyak ia sudah paham bahasa Sunda. Lagipula ia memang sudah lama bersama Suti. Dari sejak mereka pacaran, hingga kini mau memiliki anak. Ia sudah terbiasa dengan bahasa yang dipakai warga di kampung ini. Jadi, ia mengerti apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya itu. “Ah, yang dari besi itu kah? Ranjangku springbed, Bang. Biar tidak bunyi riuh kalau aku sedang ehem-ehem dengan si Suti itu.” Wajahnya memerah begitu mengucapkan kata ehem-ehem, yang setelahnya mendapatkan tepukan di tangan dari lawan bicaranya. Sempat-sempatnya ia malah mengatakan hal demikian di saat mereka sedang berbicara serius. “Alah-alah, San!” Keduanya tertawa mendengar perkataan San. Setelahnya, ia baru ingat kalau ada satu ranjang di kamar sebelah. Bekas mertuanya dahulu yang telah meninggal. Mertuanya, yakni ibunya Suti, pernah tinggal bersama mereka di kampung tersebut, beberapa saat sebelum perempuan tua itu menghembuskan napas terakhirnya. Jadi, memang pada dasarnya mereka semua bukan asli penduduk sini. Hanya, bapaknya Suti itulah yang dahulu merupakan keturunan dari salah satu warga di kampung itu. Maka, begitu ia meninggal di kampung yang berbeda, ia berkata pada Suti kalau ia memberikan sebuah rumah yang memang sejak dahulu tidak ia tempati. Peninggalan dari orang tuanya juga, yakni neneknya Suti. “Ah! Ingat aku, Bang!” Dengan tiba-tiba, ia berseru. Membuat lelaki berbadan kurus kecil itu melonjat kaget, padahal sedang enak-enaknya menyeruput kopi hitam. Untung saja kopi hitam itu tidak tumpah atau menyembur dari mulutnya. “Alah sia, San! Ngarereuwas wae! Untuk tidak masuk ke hidung ini teh kopinya.” Lelaki itu memprotes kelakuan San yang dinilainya tidak baik itu. “Bah, maaf, Bang. Tak sengaja aku. Lagi pula, kenapa kau harus minum kopi saat aku ingat aku ada ranjang.” Lelaki bertubuh kurus kecil itu lagi-lagi menggelengkan kepala. Memang ada ada saja si San ini. “Terus bagaimana, Bang? Apa pulak yang harus aku lakukan dengan ranjang reot itu?” San masih merasa bingung dengan ranjang. Apa yang harus ia lakukan dengan ranjang yang memiliki kolong tersebut. Sementara, Lelaki bertubuh kurus itu melambaikan tangannya. Memberi isyarat kalau San harus mendekat. Mengerti dengan kode yang diberi lelaki kurus yang ia panggil bang itu, ia memajukan posisi duduknya menjadi lebih dekat, demi mendengar instruksi darinya. Setelah selesai berbisik, San melempar tatapan heran. Seakan tidak percaya. “Bah, iya kah, Bang?” Sementara lelaki di depannya itu mengangguk dengan yakin. Mencoba meyakinkan juga si San yang masih menatapnya dengan tatapan keheranan. Ia baru saja menemukan sesuatu yang menurutnya sedikit konyol dan di luar logika. “Sebelum matahari terbenam, kah? Atau kapan?” Tapi, demi mengingat kata-kata lawan bicaranya tentang manut saja ketika di kampung orang, akhirnya ia mencoba menerima dan melakukan apa yang diperintahkan oleh lawan bicaranya itu. “Kamu teh lihat saja ke langit nanti, kalau sudah kelihatan eta si gerhana muncul, buruan lakuin apa yang tadi sudah aku suruh, San.” San mengangguk-anggukan kepala. Dengan maksud kalau ia mengerti apa yang diucapkan oleh lelaki bertubuh kurus itu padanya. Sementara itu, dari jauh terlihat seorang wanita tua yang menangis, mencoba untuk berlari dengan susah payah karena kondisi tubuhnya yang juga sudah menginjak usia senja. Semua rambutnya sudah memutih. Ia mencoba berteriak. Meminta pertolongan. Berharap ada seseorang yang kebetulan lewat atau ada orang di pos kamling yang memang paling dekat posisinya dengan rumah wanita itu. Ia berharap pertolongan akan segera datang. San dan lelaki kurus yang ternyata bernama Iwan itu rupanya melihat wanita yang berlari dari ujung jalan itu. Dengan susah payah, wanita berambut uban itu akhirnya sampai di pos kamling. “Wan, San, tulungan emak!” Demi melihat wanita itu berlinangan air mata, keduanya ikut panik. Baru saja datang, sudah menangis dan berkata demikian. Apalagi kalau bukan sesuatu yang mendesak, pikir keduanya. “Kunaon atuh, Mak? Aya naon!” Iwan lah yang pertama kali bertanya. Masih mencoba mencerna apa yang terjadi sampai sampai wanita tua itu menangis. Masih mengatur napas dan tangisannya, akhirnya dengan terbata-bata, wanita paruh baya itu berkata, “Anak emak! Si Maman! Hayu!” Tanpa penjelasan panjang lebar, mereka yang duduk di pos kamling yang memang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal wanita paruh baya itu turut berlari. Pos kamling ini sebenarnya memiliki dua fungsi, bukan hanya sebagai pos kamling, tapi juga pos perbatasan karena tak jauh dari pos kamling yang merupakan tanda batas desa, ada hutan penelitian. Jadi, pos ini sebagai tanda masuk ke kampung tersebut. Sementara itu, rumah wanita tua tersebut memang yang paling pertama ditemui begitu memasuki kampung tersebut. Rumahnya cukup terpisah jauh dengan rumah-rumah yang lain yang kebanyakan sudah berada di dalam perkampungan. “Hayu, Mak! Di mana?” tanya Iwan padanya, sambil bergegas. Ia turun dari pos, memakai sendal dan meninggalkan kopi hitamnya yang belum habis. “Di bumi emak, Jang. Hayu! Aduh, anak emak.” Wanita paruh baya itu masih saja menangis sepanjang jalan mereka pergi. Seperti memang sesuatu yang gawat tengah terjadi. Sementara San tanpa banyak bicara, ia berjalan dengan cepat menuju rumah wanita tua itu. Setelah beberapa menit berlalu, sampailah mereka di depan rumah wanita paruh baya tersebut. Pintu yang terbuka lebar menyambut mereka pertama kali. Mereka berdua kaget begitu melihat darah mengucur dari pergelangan tangan lelaki yang tergeletak di lantai. Rupanya, ia mencoba melukai dirinya sendiri dengan pecahan botol bekas kecap asin. Dengan cepat, San berlari ke perkampungan, mencari pertolongan dan meminjam motor milik tetangga untuk membawa Maman ke klinik. Hari itu, adalah hari percobaannya untuk mengakhiri hidup. Ia merasa sudah cukup lelah dengan dunia yang rasanya tidak berpihak pada lelaki itu. Entah masalah apa yang sedemikian berat hingga ia memutuskan untuk melakukan hal yang sangat dibenci oleh Tuhan itu. “Ya Allah, Man. Nyebut ai maneh teh nanaonan, Man! Karunya ka emak, Man!” Berkali-kali Iwan mengatakan demikian, sambil membopong tubuh Maman ke luar rumah. Ia berkata kalau Maman seharusnya beristigfar. Harusnya Maman mengingat orang tuanya yang sudah tua. Begitu Iwan membopong tubuh Maman keluar, untungnya, di ujung jalan terlihat dokter klinik yang baru saja pulang bertugas dari puskesmas desa sebelah. Ia melihat ada yang terluka, lantas berlari dengan kotak pertolongan pertama yang selalu ada di dalam tas kerjanya. Sementara itu, San yang meminjam motor Mang Rusli, kembali ke rumah Maman dengan maksud akan membawanya ke Klinik di ujung perkampungan. Jaraknya mungkin sekitar dua puluh menitan dari rumah Maman karena dari ujung ke ujung. Namun, begitu ia tiba di rumah Maman, ia tersenyum. Sang dokter klinik sudah ada di sana lebih dulu tanpa harus ia datangi. “Bah, syukurlah pak dokter sudah ada di sini. Baru mau kubawa itu si Maman ke tempat pak dokter.” Dokter tersebut sudah mengobati luka di pergelangan tangan Maman. Untungnya, luka yang dihasilkan tidak terlalu dalam. Tidak sampai melukai nadinya. Jadi, Maman baik-baik saja. Hanya sedikit syok. Apalagi wanita tua itu. Jangan ditanya, rasanya ia sudah hampir kehabisan napas. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia kini terduduk lemas. Setelahnya, Dokter berkata pada wanita paruh baya itu, bahwa besok, sebelum ia berangkat ke puskesmas, ia akan mampir untuk melihat luka di tangan Maman, dan kalau perlu, ia akan mengganti perbannya. Maka hari itu, San mengantar dokter tersebut pulang ke kliniknya di ujung perkampungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD