Percakapan Sore Hari

1874 Words
Sudah terhitung empat jam, sejak kabar tentang seorang lelaki yang tewas ditemukan di hutan penelitian itu terdengar di telinga kami. Dari kabar yang kudapatkan saat berkumpul dengan para tetangga, tidak bukan aku sih. Lebih tepatnya si lambe turah Nia yang berkumpul dengan tetangga di depan rumah karena aku yang masih baru di sini dan belum mengenal siapa pun, sementara Nia sudah dapat informasi terkait jenazah yang tadi pagi ditemukan oleh salah satu warga yang hendak mengambil kayu bakar di hutan penelitian sana. Jika dilihat-lihat, sebenarnya, Kebon Tembang bukanlah hutan seram mematikan dan menyesatkan seperti hutan Aokigahara yang memang benar-benar sebagai hutan mematikan di Jepang sana. Di mana, setiap tahun sekitar seratus tubuh ditemukan di dalam hutan tersebut. Dari mulai yang tergantung di dahan dahan pohon, sampai yang tergeletak begitu saja dengan tas yang ia gendong karena sebuah peluru, ataupun yang terkapar dengan mulut berbusa. Belum lagi, banyaknya larangan tentang bunuh diri, dan katanya ada arwah-arwah orang-orang mati yang terus membisikan siapa pun di sana, agar tergiur untuk melakukan bunuh diri. Hutan penelitian tidak cukup luas untuk menyesatkan seseorang seperti hutan Jepang itu. Bahkan jika mobil membelah jalan aspal yang ada di tengah-tengah hutan penelitian itu, mungkin hanya butuh waktu sekitar lima sampai sepuluh menit untuk sampai di ujung lainnya. Hanya sepanjang itu. Jadi, terbayang kan kalau hutan penelitian ini tidak terlalu luas. Hanya saja, karena kurangnya penerangan, tidak adanya lampu-lampu jalan yang dipasang pada pinggir-pinggir jalan aspal itu, membuat hutan ini terlihat begitu gelap. Jadi, gelap lah yang membuat hutan ini terlihat seperti hutan yang berbahaya. Hutan penelitian ini, lima kali lebih kecil dibanding dengan Aokigahara, mungkin. Meskipun aku belum memastikannya dengan betul karena aku belum pernah ke sana dan berkeliling dari ujung hutan ke ujung yang lain, tapi dari jalan besar yang kulalui, rasanya hutan itu tidak begitu besar. Entah kalau luas ke dalam nya. Kalau panjang hutan yang diukur dengan jalan aspal itu, sudah pasti tidak terlalu luas. Lelaki yang tadi pagi diketemukan rupanya adalah salah satu warga di perkampungan ini. Ia seorang tukang service televisi yang tinggal memang tak jauh dari lokasi kejadian. Agak jauh dari tempat Nyai, tapi memang sudah masuk ke dalam wilayah yang sama dengan kami. Ia memang memiliki rumah terpisah, tak jauh dari kebun bambu yang memang terhubung dengan Kebon Tembang tersebut. Satu-satunya rumah setelah pos kamling yang merupakan tanda perbatasan memasuki wilayah kampung. Entah kenapa juga mereka memilih rumah di sana. Mencil hanya seorang diri. Tidak bergabung di dalam perkampungan yang lebih banyak rumah-rumah. Aku, yang tinggal di rumah Nyai yang katanya adalah pemukiman paling banyak rumah dan penduduknya saja sudah merasa kesepian dan entah harus berbuat apa. Tak terbayang kan kalau rumah yang mereka miliki itu adalah rumah Nyai, bisa mati bosan aku tinggal di sana. “Iya, apal. Yang suka ngebenerin TV. Padahal kemarin juga keliatannya lewat. Abis nganterin TVnya Mang Dadang. Pas sore-sore,wayah kieu lah.” Aku yang juga duduk di pekarangan rumah, cukup menyimak. Mereka duduk di bawah pohon mangga, tak jauh dari pekarangan. Jadi aku masih bisa mendengarkan percakapan mereka. Biarkan mereka yang berbicara dan aku mendapatkan inti ceritanya. Siang ini, ada Nia dan beberapa anak tetangga yang usianya sepertinya tidak begitu jauh dengan kami. Sepertinya mereka sepantar kecuali satu perempuan, dia terlihat lebih dewasa di antara mereka. Di sana ada satu orang lelaki dan dua orang perempuan. Ini kali pertama aku melihat mereka setelah beberapa hari tinggal di sini. Entah karena aku yang memang tidak pernah keluar rumah sejak aku datang, atau memang mereka yang jarang main keluar dan berkumpul seperti sekarang ini. Aku bahkan tidak tahu kalau di kampung ini, khususnya di dekat rumah Nyai ini, Nia memiliki tetangga yang seumuran dengan kami. Sesekali, kutangkap mata anak lelaki itu melirik ke arahku. Seperti curi-curi pandang, atau mungkin merasa kalau ada yang baru. Aku hanya menunduk, begitu mata kami berpapasan. Tidak berani menatap matanya balik. Sementara, ketika ia sedang meleng memandang ke arah lain, aku kembali menatap wajahnya. Jadilah curi curi pandang di antara kami berlangsung selama mereka mengobrol di depan rumah Nyai itu. Namun, jika di lihat-lihat, wajah lelaki itu seperti tidak asing. Rasanya aku pernah melihat wajah lelaki ini, tapi aku lupa di mana. Dengan senyumannya yang khas, hidungnya yang mancung, dan kulit sawo matang. Tidak tampan memang, tapi manis. Aku seakan sudah mengenalnya sejak lama. Sementara, satu perempuan lainnya, berambut sebahu. Memakai kaos berwarna merah muda dengan poni di depan rata. Menggemaskan. Sepertinya usia anak itu di bawah Nia, terlihat dari caranya memanggil Nia Teteh, yang artinya kakak perempuan. Dari wajahnya, terpancar aura positif yang turut membawa keceriaan pada orang-orang di sekitarnya. Sementara satu lagi, ini rasanya lebih dewasa. Rambutnya diikat buntut kuda. Kulitnya kuning langsat, memakai rok panjang. Duduk dengan anggun dan paling feminim di antara mereka bertiga. “Ari yang di belakang kamu teh, siapa, Nia?” Akhirnya, salah satu dari mereka mulai menanyakan aku. Pertanyaan itu keluar dari mulut perempuan cantik berambut buntut kuda. Ia melirik aku yang duduk di pekarangan, tidak berkumpul dengan mereka di dipan bambu di bawah pohon mangga itu. Tak lama, Nia melambaikan tangannya. Ia memanggilku untuk ikut bergabung dengan mereka yang sedang berkumpul di bawah pohon mangga itu. Ragu-ragu, aku bangkit dan menghampiri mereka. “Iya, hampir lupa atuh Nia teh mau kenalin ke kalian. Ini teh namanya Agis. Sepupu Nia dari kota. Sekarang teh tinggal di sini,” ujar Nia memperkenalkanku. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Menyambut satu demi satu uluran tangan mereka. Takut kalau mereka tidak bisa menerimaku sebagai teman baik mereka. Rupanya aku salah, mereka menyambut uluran tanganku dengan hangat. “Kinar,” ujar perempuan yang menurutku paling tua. Ia mengulurkan tangannya dan tersenyum dengan ramah. Aku membalas uluran tangannya. Meskipun tinggal di desa yang notabene harus banyak melakukan pekerjaan rumah, seperti Nia, tangan perempuan ini sangat halus. Sepertinya ia rajin merawat diri. Dilihat dari wajahnya yang juga ayu, sudah pastilah perempuan ini tipikal orang yang menjaga tubuhnya dengan baik. “Aku Dita!” Serobot yang paling kecil dengan poni macam Dora. Anak yang kubilang memancarkan aura positif tadi. Ia tertawa dengan riang. Dari wajahnya terpancar kebahagiaan, hidupnya begitu ceria. Sepertinya, siapa pun yang dekat dengannya akan selalu terbawa senang. Aku membalas uluran tangannya dengan hangat. Tidak buruk. Tidak seburuk yang aku bayangkan kalau semua penduduk di desa ini adalah orang-orang yang dingin seperti Abah dan Nyai. “Rendi.” Lelaki itu mengulurkan tangannya dan tersenyum. Ragu-ragu, kuulurkan tangan dan balas memperkenalkan diri. “Agis.” Begitulah sesi perkenalan kami dimulai. Perkenalan singkat yang akhirnya membuatku menjadi bagian dari mereka untuk kedepannya. Setelahnya, mereka kembali membicarakan tentang kematian seorang lelaki pagi tadi, berita yang sedang hangat untuk di bahas memang. Katanya, Rendi sudah pergi ke tempat kejadian perkara. Ia ikut dengan sang Ayah yang ternyata adalah Pak RT yang sejak tadi dicari-cari oleh Akang-akang yang aku juga tak tahu siapa namanya. “Tadi teh kamu ikut ke sana, Ren?” Teh Kinar, perempuan cantik itu bertanya pada Rendi sambil mengambil kacang kapri rebus yang ada di tengah-tengah dipan. Kalau kata Nia, di sini namanya ‘Buntiris'. Aku baru kali pertama mendengar istilah tersebut. Kami memang sedang ngemil sambil berkumpul menunggu adzan ashar berkumandang. Menunggu untuk menunaikan sholat dan kembali melakukan aktivitas sebelum magrib tiba. “Iya, saya yang antar bapak ke tempat kejadian. Sudah ramai sekali orang. Makannya saya tahu, siapa yang tewas itu. Sayangnya, lagi-lagi TKP sepertinya rusak karena sudah banyak orang tadi.” Dita masih asyik mengupas kacang kapri, mengumpulkannya di tangan, baru ia masukkan ke dalam mulut. Sementara Nia, sedang menuangkan teh dari teko ke dalam gelas. Di sana, ada 3 gelas plastik yang mereka gunakan untuk minum. “Jadi, dia bunuh diri? Ngegantung diri di pohon gitu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya setelah sekian lama hanya menyimak perbincangan mereka. Aku tidak ingin terus menerus menjadi seorang penyimak dalam obrolan ini. Biar mereka enggak canggung juga kan, jadinya. Karena ngerasa aku bisa bersosialisasi dan berbaur juga dengan mereka. Demi mendengar satu kalimat panjang yang keluar dari bibirku itu, mereka semua menoleh. Seolah baru menemukan hal langka yang tidak boleh dilewatkan. Aku membalas tatap mereka bergantian, bingung. Namun, semua kembali mencair begitu Rendi menjawab pertanyaanku. “Iya. Sementara, dugaan dari pihak polisi demikian. Karena ada surat wasiat juga di kantong celana korban.” Dita yang mendengar penjelasan Rendi memajukan posisi duduknya menjadi lebih dekat. Rasa-rasanya, cerita tentang tempat kejadian perkara lebih menarik ketimbang kacang kapri yang sejak tadi sudah menyita perhatiannya. Aku baru pertama kali menemukan kejadian seperti ini secara langsung, karena biasanya aku hanya menontonnya lewat televisi. “Apa isi tulisannya?” Kemudian, Dita yang merasa penasaran itu bertanya. Sebenarnya bukan hanya Dita, aku pun turut penasaran. Mungkin Nia juga Teh Kinar merasakan hal yang sama. Selain Rendi, tidak ada lagi di antara kami yang pergi ke tempat kejadian perkara. Jadi, Rendilah yang paling paham tentang apa yang terjadi pada mayat tersebut. Tidak langsung menjawab, Rendi malah mengambil kacang kapri yang separuh sudah tinggal cangkangnya itu. Ia mengupas dan memasukkannya ke dalam mulut. Tidak peduli jika Dita sudah memasang bibir yang condong ke depan, menunggu dengan rasa penasaran. “Emang kenging ningali, Ren? Langsung diamankan pihak polisi, meureun?” Teh Kinar yang lebih tua, sepertinya lebih paham. Bisa jadi, apa yang ditemukan di sana merupakan barang bukti. Biasanya, tidak sembarang orang boleh memegang barang bukti. Katanya, itu akan merusak barang bukti untuk penyelidikan polisi. Makannya, mengapa polisi memasang police line di tempat kejadian perkara untuk menghindari hal tersebut. Ya meskipun sudah banyak orang yang datang tadi kan, kata Rendi. Namanya juga di perkampungan. Ditambah ada kejadian seperti itu. Yang di kota saja sudah pasti berkerumun karena ingin tahu. “Ini kan bukan pertama kalinya.” Tiba-tiba Nia nyeletuk. Ia seperti tahu sesuatu. Entah itu tentang kematiannya atau tentang orang yang mati itu. “Gimana maksudnya, Nia?” Aku membalas perkataan Nia. Mencoba menegaskan maksud dari ucapan Nia pada kami. “Iya, waktu itu juga sempat percobaan bunuh diri. Kalau gak salah, beberapa bulan yang lalu asaan teh. Waktu gagal panen, ning. Kan beberapa hari sebelumnya teh hujan lebat pisan. Berturut-turut,” kata Nia lagi. “Anu malam gerhana lain, sih?” Teh Kinar menimpali. Ia sepertinya mulai mengingat kejadian itu. Aku hanya diam, karena sudah jelas, aku belum ada di kampung tersebut. Jadi, aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. “Saya ada di sini gak ya?” Rendi yang selalu berbicara menggunakan bahasa Indonesia itu bisa dibilang bukan penduduk asli kampung. Bapaknya memang asli kampung ini, tapi ibunya orang seberang. Sejak kecil, keluarga mereka pindah ke kota. Tapi, beberapa tahun lalu, ketika Rendi menginjak bangku SMP barulah mereka kembali ke kampung tersebut. Belakangan, orang tua dari Ibunya sakit. Jadi Rendi ikut ke seberang untuk menemani ibunya merawat neneknya yang sakit itu. “Iya, kamu lagi pulang ke kampung ibumu, Ren.” Teh Kinar menegaskan. Waktu itu, Rendi memang tidak tahu kejadiannya. Ia pulang ke seberang karena neneknya wafat. Jadilah, kejadian itu Rendi lewatkan. Berati, di sini tidak hanya aku yang merasa paling tidak tahu apa-apa. Syukurlah. Ada teman bengong. “Bener, Teh Kinar! Kejadiannya pas malam gerhana. Nia inget, bareng sama kejadiannya Teh Suti! Tau kan? Istrinya Bang San yang tinggal di dekat rumah Mang Oleh!” Suti? Siapa lagi Suti? Bang Sna juga. Kenapa banyak sekali nama-nama asing yang baru kudengar? Kejadian apa lagi yang terjadi di kampung ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD