Awal mula(Prolog)

1139 Words
Aaaarrghh “Astaga … ngapain sih jerit-jerit kaya’ gitu? Berisik tahu, dah malem ini. Entar dikira tetangga kita lagi ngapa-ngapain,” protes Leon pada Amanda, gadis yang baru seminggu lalu ia nikahi. “Cepetan merem!” Miranda menggertak Leon, sambil memegang erat handuk yang melilit tubuhnya. "Idih, GR! Siapa juga sih yang tertarik sama tubuh kamu? Dikasih gratis juga ogah!” “Siapa juga yang mau ngasih? Dasar Aki-Aki m***m!” Amanda secepat kilat mengambil sepasang piyama dari lemari, lalu memakainya dengan terburu-buru. "Udah apa belum, sih?” "Dah!” “Lagian ngapain sih, jam 11 malam pakai mandi segala. Kayak habis ngapain aja lho. Masuk angin baru tahu rasa kamu,” omel Leon, sambil membuka kancing bajunya. “Gerah, Mas. AC kamar rusak ‘kan, belum dibenerin? Lagian, kenapa Mas Leon ganti baju di sini sih, bukannya di kamar sebelah?” ‘Astaga, itu orang benar-benar gak tahu etika. Ganti baju bukannya di kamar mandi atau di kamar sebelah, main buka baju aja di depan anak gadis. Aku kan jadi deg-degan’, batin Amanda. “Wei, jangan ngintip!” Teriakan Leon menghempaskan khayalan Amanda. “Kamar sebelah lampunya mati, Non! Kamar mandi lagi kamu pakai. Makanya aku ganti baju di sini. Paham?” Amanda mencebikkan bibirnya. "Dasar, sok kegantengan!” “Memang ganteng, kan? Buktinya kamu mau aku nikahi!” “Idih! Amanda terpaksa tahu nikah sama situ! Kalau bukan karena mamamu sakit, gak bakalan Amanda mau nikah sama Aki-Aki kaya' Mas Leon, tahu!” “Ini bocah ngeledek ya, manggil Aki-Aki melulu! Aku baru 37 tahun, dasar bocah ingusan!” “Amanda bukan bocah, Mas! Amanda dah gede, bentar lagi 21 tahun. Dah jadi wanita dewasa. Enak aja dikatain masih bocah!” protes Amanda, sambil menarik selimut tipisnya, bersiap untuk tidur. “Gantian dong, kamu yang tidur di sofa sana!” ujar Leon, sambil mendorong pelan tubuh Amanda yang tengah terbaring. Lelaki itu kini memakai kaos pendek dan celana boxer dengan warna senada. "Enak aja nyuruh-nyuruh! Kan perjanjian awalnya Amanda yang tidur di kamar, sementara Mas Leon tidur di sofa!” Amanda mendelikkan matanya. “Tapi, kan, badanku pegal tidur di sofa melulu. Please deh, malam ini aja kita tukar posisi.” Amanda pun jatuh kasihan. “Kalau mau tidur di sebelah Amanda aja deh. Tapi awas kalau berani ngapa-ngapain. Ingat ya, Mas, Amanda jago taekwondo!” ancam Amanda. Ia menggeser tubuhnya ke sebelah kanan, memberi ruang untuk Leon. Leon menggaruk kepalanya. Tidak ada pilihan baginya. Karena kamar yang bisa ditempati baru kamar ini saja. Kamar satunya lagi belum sempat diberesi, penuh barang tak terpakai. Daripada tidur di sofa, badan pegal semua. "Iya, deh. Awas juga kalau kamu entar berani curi-curi kesempatan!” Amanda pura-pura tak mendengar. Kantuk sudah menderanya sedari tadi. Sekejap kemudian, ia sudah terseret ke alam mimpi. Jam dinding sudah menunjukkan hampir tengah malam, tapi Leon belum mampu memejamkan matanya. Padahal hari ini ia lelah sekali. Leon membalikkan badannya perlahan-lahan. Dilihatnya Amanda sudah tertidur pulas, terlihat dari gerakan bahunya yang naik turun. Amanda … gadis berusia 20 tahun yang seminggu lalu ia nikahi itu belum pernah disentuhnya. Gimana mau ‘anu-anu’ kalau kenal aja baru sebentar? Lagipula, ada Raisa yang masih setia bersemayam di hatinya. * Empat minggu yang lalu, ia mengantarkan orang tuanya ke rumah Pak Rahmat, teman SMA ayahnya dulu. Rumahnya di sebuah dusun di daerah Muntilan. “Kok gak bilang-bilang sih, Mas, kalau punya anak secantik ini?” ujar Pak Hendra, ayahnya Leon, sambil memperhatikan Amanda yang tengah menghidangkan teh dan camilan. Amanda yang mendengar hal itu, jadi tersipu malu. Ia yakin pipinya memerah. “Silahkan diminum, Om, Tante!” Amanda menawari tamunya dengan sopan. “Nduk, duduk sini dulu to. Ikut ngobrol bersama kami.” Ayah Leon menghentikan langkah Amanda yang tengah berjalan meninggalkan ruang tamu. Amanda tidak menjawab. Ia merasa kikuk. Apalagi setelah matanya menangkap sosok pria berwajah ganteng yang duduk di sebelah papanya. Ia mendadak salah tingkah. “Siapa namamu, Nduk?” tanya Ibunya Leon. “Amanda, Tante." Ibunya Leon melempar lirikan pada suaminya, seolah memberi kode. “Umur berapa, Nduk? Kuliah di mana?” Belum sempat Amanda menjawab, sang ayah sudah mendahuluinya. “Hampir 21 tahun, Mas. Dia ini lahir 17 tahun setelah kakaknya, si Vito. Kebobolan kami ceritanya, Mas. Amanda ini sudah semester lima, dan kebetulan dia ini jomlo lho, Mas ….” Amanda menghentakkan kakinya, kesal. Bisa-bisanya sang ayah meledeknya seperti itu di depan tamu-tamunya. Di depan pria ganteng nan dingin itu pula. Diliriknya lelaki itu. Wajahnya datar saja. Boro-boro tertawa, tersenyum saja tidak. “Sama dong, kaya’ Leon, dia juga jomlo. Dah 10 tahun malah,” timpal mamanya Leon sambil cekikikan. “Jangan-jangan jodoh tuh …,” sambar ayahnya Amanda. Ruangan itu mendadak riuh dengan tawa. Amanda menggigit bibirnya, lalu mencuri pandang ke arah lelaki bernama Leon itu. Ia ingin melihat reaksinya. Tiba-tiba Leon juga memandang ke arah Amanda. Mata mereka bersirobok. Amanda sontak melengos, mengalihkan pandangan matanya. Dadanya berdegup kencang. Pipinya merona. Sikap Leon yang acuh tak acuh telah membuatnya salah tingkah. Amanda tak tahan lagi. Ia segera berpamitan pada tamu orang tuanya. “Maaf, ya, Om, Tante, saya mau masuk kamar dulu, mau membuat tugas kuliah.” “Dikerjakan besok kan bisa to, Nduk? Wong ini hari Sabtu kok,” tukas sang ibu. Amanda merasa geram pada ibunya. “Besok Amanda mau pergi sama Amel, Bu!” Amanda menyahuti ibunya sambil berjalan menuju kamarnya. Amanda berjingkat dari kamar. Ia membuka pintu kamarnya sedikit, agar bisa mendengarkan pembicaraan mereka. “Saya iri lho sama Sampeyan, Mas. Sampeyan sudah punya cucu dua. Lha saya? Leon malah betah menjomlo …,” ujar Pak Hendra sambil melirik Leon. Leon merasa jengah. Ia pamit meninggalkan ruang tamu. Ia duduk-duduk di teras rumah, sembari menyulut rokoknya. Leon merasa sebal, jika kedua orang tuanya sudah mulai membahas kehidupan pribadinya, kejomloannya. Baginya, itu sama saja dengan membuka luka lamanya. Luka yang telah menahun, luka yang tak pernah tersembuhkan. Sementara itu di ruang tamu, para orang tua itu tengah riuh memperbincangkan sesuatu. Namun anehnya, beberapa saat kemudian, Amanda tidak lagi bisa mendengar suara mereka.Karena suara mereka kini terdengar sangat pelan, seolah takut terdengar orang lain. Entah hal penting apa yang tengah mereka bicarakan. Amanda sangat penasaran. Ia tempelkan telinganya, rapat ke daun pintu kamarnya. Namun tiba-tiba …. “Amanda!” Sang ibu membuka pintu kamarnya. Alhasil, kepala Amanda kejedot pintu kamarnya sendiri. Ia bersungut-sungut sambil mengelus kepalanya yang benjol. Namun sang ibu malah menertawakan. “Kamu lagi nguping, ya?” Amanda hanya cengar-cengir mendengar tuduhan ibunya. “Ayo, cepetan keluar, itu tamunya sudah mau pulang.” Bu Rahmat memerintah anak gadisnya. Amanda menurut. Bersama ibunya, ia berjalan sambil menundukkan kepala. Setelah tamu pergi, Bu Rahmat mengajak Amanda berbincang-bincang. "Menurut kamu, Leon gimana, Nduk?” “J-u-t-e-k, jutek!” Amanda menjawab dengan lantang. “Itu namanya bukan jutek, tapi berwibawa. Gak pecicilan kaya’ kamu!” sangkal Bu Rahmat, membela Leon. Amanda mencebikkan bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD