BAB03

1144 Words
—Jangan hanya melihat seseorang dari perawakannya, biasanya yang kelihatannya baik, belum tentu baik. Yang kelihatan buruk,  belum tentu buruk.—Anastasia Halim. Mungkin ada yang bertanya-tanya bagaimana hidupku selama ini , bersama orang-orang yang  bermuka dua di depanku dan papaku. Bagaimana Aku bisa menjalani hari-hariku, sejak kejadian sebulan lalu, di mana pernikahan ku gagal, hanya tersisa satu bulan dari tanggal yang sudah di tentukan, tepatnya di hari ini. Berat? tentu saja. Menyesal? Mungkin iya, tapi lagi-lagi Aku kembali berpikir, betapa hebat sang pencipta mengatur jalan hidupku, tanpa ragu, dia membelokkan rencana yang tak harusnya aku jalani dalam hidupku, karena Gerald tidak sepadan bersanding dengan diriku dalam ikatan pernikahan. Oh ya, satu lagi yang membuatku bersyukur, adalah Papa. Aku bisa bertahan untuk tetap tegar, melewati hari-hari ku yang  pelik , saat berada di rumah yang tidak berasa rumah untukku. Hanya karena Papa masih tinggal di sini, Aku pun menjadi kuat. Kuat menghadapi segalanya. "Pa." panggilku dari balik pintu luar dan mengetuk pintu serta mengabaikan suara Mama Windy. Tak lama, daun pintu bercat putih itu perlahan terbuka, tampak wajah Papa di balik pintu. "Anas." tampak keterkejutan menyelemuti wajahnya. "Pa, Anas berangkat dulu ya." Aku memberikan senyuman dan menarik punggung tangan Papaku dan menempelkannya di keningku. "Hati-hati Nak. Jangan pulang larut malam, Papa tunggu Anas pulang baru tidur." Pesannya dengan tersenyum ke arahku. Masih ku genggam erat tangannya. "Paaa.. Tidurlah. Jangan menunggu Anas ya. karena Anas tidak akan lama.  Besok kan, Anas akan bekerja." mungkin di mata papa, aku ini masih seorang putri kecil untuknya. Pria kesayanganku ini pun tersenyum, tangannya terangkat menyentuh puncak kepalaku. "Baiklah putri papa, hati-hati dan bersenang-senanglah bersama sahabatmu." Tentu Papa mengizinkan, karena keluarga Denada dan Mark, sudah sangat di kenal oleh papa. "Terima kasih Pa." ucapku sebelum benar-benar berlalu meninggalkan papa. Aku membawa kakiku menuruni anak tangga perlahan tapi pasti. Satu yang membuatku malas saat menapaki anak tangga yang membawa kaki ku untuk menjejakkan bekas langkahanku di atas lantai. Ada Savira di sudut ruangan yang tidak jauh dari tangga, dia sedang asik menggenggam benda pipihnya, sambil berselonjor di atas sofa ruangan tamu. Aku pun cuek, seakan tidak melihatnya. Di rasa Aku sudah memang terbebas untuk melangkah dengan pasti keluar rumah, itu salah. Dia sadar akan keberadaanku, dan mulai bersuara dengan sombongnya. "Jangan lupa, gaet pria yang baik-baik! jangan mengulang kesalahan yang sama. Memalukan sekali!" gumamnya dari ujung sana. Aku seakan tidak mendengar umpatannya terhadapku, tidak ingin menambah beban yang terus menerus mereka tancapkan di tubuhku. Begtiu pula, Aku sungguh tidak berniat untuk menjawab, ada baiknya seperti kata-kata bijak diam adalah emas. Sesampainya di luar rumah, Aku merasakan udara dari surga. Terasa sangat bebas, terbebas dari rasa yang mencekat di rongga pernafasanku. "Apa anda baik-baik saja Nona?" aku tidak menyadari, kalau Kak Marco sedang duduk di samping di mana aku berdiri. Tepatnya di ruangan kecil yang di sediakan papa untuknya. Aku monoleh ke arahnya dan menganggukan kepalaku dan tersenyum kecil. "Hemmm, Aku baik-baik saja. Maaf, Aku berangkat dulu. Kasihan Denada menunggu." balas ku dengan berjalan menuju ke arah gerbang rumahku. "Hati-hati di jalan Nona." sautnya dari arah belakang. Aku hanya mengangkat tanganku dan melambaikannya ke atas tanpa menoleh kebelakang. Kak Marco dan papa adalah dua orang yang bisa aku percaya di rumah itu. Setidaknya, masih ada yang berpihak ke padaku, meskipun mereka tidak pernah tau, apa yang sedang di alami hatiku. "Lama amat sih lo, Nas. Gue karatan ini nunggui lo. Syukur gue jomlo," ucap Denada, saat aku membuka pintu mobil jok depan dan segera mendudukkan tubuhku. "Apa hubungannya karatan dengan jomlo?" tanyaku sambil menarik sabuk pengaman dan memasangnya pada tubuhku. Denada sibuk, melajukan mobilnya dan berkata  : "Hubungannya antara karatan dan jomlo sama-sama sendiri! Gue dari tadi sendiri nunggui lo di sini. Pengen turun, jumpai abang ganteng yang sibuk dengan dunianya, tapi gue malassss. Entar ada penjaga rumah lo tuh, galak. Gue kan takut, takut keriput gue." Aku tertawa kecil, ya benar saja di sini maksud denada keriput itu adalah,  karena Denada itu bakalan menjawab apapun yang di ucapkan Mama dan adik tiruku. Terus, Denada bukan takut. Hanya malas, membuang-buang waktunya, meladeni orang-orang yang kurang bahagia kata si Mark dan Denada. Aku terkadang ikut berpikir, kurang bahagia apa sih mereka? Papa memperlakukan mereka, sama seperti memperlakukan Aku. Papa adalah sosok pria yang adil menurutku. Papa tidak pernah pilih kasih terhadap ketiga wanitanya. Entahlah, itu kan menurutku. Tidak tau kalau menurut mereka. "Lo uda bawa kado?" tanya Denada ke Aku. "Gak sempat beli! Gue kasi amplop aja nada." balasku. "Oh iya, gue lupa kalau hari ini adalah hari yang menyakitkan buat lo ya Nas. Jangan sedih, gue selalu ada buat lo sama Mark. Jadi, anggap aja semuanya ujian dan cobaan hidup Lo, Nas." "Iya Kak Denada. Adik lo ngerti, uda agh gak usah di bahas juga." balasku dengan malas. Denada mengerti maksudku, dia hanya fokus ke jalanan. Melajukan mobilnya membelah keramaian kota Jakarta sore itu, yang hampir berganti menjemput malam. Beberapa menit kemudian, mobil itu terhenti. Tepatnya di depan rumah, yang lumayan besar. "Ayo turun." "Yah." balasku dengan melepas seatbeltku. Kami berdua berjalan menuju pintu gerbang. Sudah ramai, halaman itu sudah di penuhi kendaraan beroda empat. Banyak tamu dari keluarga kakak si Mark. Biasalah ya, ini adalah momen di mana keponakan Mark satu-satunya genap berumur 1 Tahun. Mereka mengadakan pesta besar-besaran di rumah yang bisa memuat 100 orang kali ya. Aku tidak bisa memastikan itu, yang aku lihat dari pengederan pandanganku sekarang, rumah itu sudah di penuhi para tamu undangan. "Bruggggg..." Tiba-tiba saja, tubuhku terbentur pohon. "Kalau jalan lihat-lihat dong!." katanya datar, sekilas Aku melihatnya, kedua ekor matanya tampak sangat dingin dan dia langsung membuang pandangannya serta berlalu. Astaga! Bukan pohon ternyata. Ini seorang pria, pria yang tidak jelas wajahnya dalam ingatanku. Ku sentuh pundakku, bekas tabrakannya yang meninggalkan jejak. Hanya saja, aku sedikit mengingat, tatapan matanya yang dingin, bibir tipisnya yang merah ranum, hidung sih ada, tapi gak tau mancung kedepan atau mancung kedalam. Aku tidak ingat, yang aku ingat dia tampan. "Lo ke mana aja sih? Ayo buruan masuk, Mark sudah menunggu kita." Denada menarik lenganku dan bersama-sama kami melewati tamu. Saat di dalam, ku dapati Mark dan keluarganya sedang di ruangan tamu. Acara sudah berlangsung sejak tadi, Aku dan Denada memang memilih datang di jam makan malam. Sebelum beranjak mengikuti Mark, Aku dan Denada memberikan salim ke pada Mama dan Papa Mark, ke Kakak Mark bernama Miranda serta ke abang ipar Mark bernama Luis. Seluruh keluarga ini sangat baik. Seperti keluarga sendiri jika berada di dekat mereka. "Ayo sini, lo berdua langsung makan aja." ajak Mark dengan bahagianya. "Iyaaaa... sebentar." balas Denada ke Mark. Setelah usai memberikan salim, Aku dan Denada berpindah menuju meja makan yang ada di dekat ruangan tamu. "Ini khusus tamu VVIP." kata Mark ke arahku dan Denada dengan bangga. "Sungguh merasa terhormat." balasku pada si Mark sambil mengambil piring. "Tamu Agung ini ceritanya." balas Tante Anjani, mamanya si Mark. "Iya nih Tan." Denada membalas sungkan ,juga dengan mengambil piring dan bersiap mengambil nasi. "Ayo-ayo di makan, jangan malu-malu ya." balas Tante Anjani lagi. "Baiklah Tante, kita gak malu kok. Cuma malu-maluin." celetuk Denada, seketika itu terjadi gelak tawa di antara kami. "Dasar gak tau malu lo!" sambung Mark. "Tante," suara seseorang terdengar memanggil Tante Anjani dari arah belakangnya, membuat keheningan di antara kami. Bersambung. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD