BAB04

1014 Words
Awal sebuah ceritaku, di mulai dari pertemuan pertama.- Anastasia Halim. "Tante." suara seseorang terdengar memanggil Tante Anjani dari arah belakangnya, seketika itu juga membuat keheningan di antara kami. Kedua manik mata kami tampak mengagumi ke pria yang bertubuh atletis, tinggi dan sangat menawan di lihat mata. "Pemandangan yang sangat indah." gumam Denada, jelas ku dengar. "Iya Jaxton?" Tante Anjani menoleh ke arah belakang, memutar tubuhnya tepat di depan pria tampan itu. "B aja woi!" bisik Mark ke Aku dan Denada. "Tan, apa acaranya masih lama?" tanya pria tampan nan rupawan itu dengan sangat lembut. "Sebentar lagi kok Kak." Mark menyaut, membuat kedua manik mata si tampan itu ikut menatapku dan Denada, yang berdiri di samping si Mark. "Wah Mark... kamu di sini ternyata, kakak cariin loh dari tadi." dia berjalan mendekat. "Kenapa dengan kamu? Apa kamu mau pulang?" tanya Tante Anjani. "Iya nih Tan, gak enak lama-lama meninggalkan Papa sendirian." balas si pria tampan itu sangat santun ke Tante Anjani. "Kak! Sini dulu, kenali ini." tunjuk Mark ke aku dan Denada. Refleks si Denada meletakkan piring yang di genggamannya ke atas meja. Dan buru-buru, merapikan rambutnya. Aku? Biasa aja, meskipun tampan banget, tapi aku masih trauma untuk menyukai seorang pria. Pria tampan itu datang mendekati kami. Mark, dia langsung merangkul pundak pria tampan itu dan menggiringnya ke hadapan kami berdua. "Kenalkan Kak, ini Denada." raut wajahnya langsung berubah, dari sebelumnya. Sebelumnya aja, saat berhadapan dengan Tante Anjani, pria di sampingku ini, sangatlah ramah. Sekarang? Jangankan ramah, senyum pun dia tidak mau. "Kenalkan, saya Denada. Status saya masih perawan." Denada bersemangat sekali dia, wajar sih, kan Denada jomlo. "Husssst! Jomlo!" ketus Mark. "Egh itu maksud gue, Mark." bisik Denada. Dengan malas dia mengulurkan tangannya dan membalas jabatan tangan Denada. "Jaxton." balasnya dan dengan cepat melepas tangannya. Tanpa di sadari Denada, pria yang berada di hadapannya itu, memasang wajah tidak menyukainya. Denada masih bisa ku lihat, dia terus tersenyum dan menggaumi pria di depannya yang kini menatapku tanpa ku sadari. "Nah kak, yang ini namanya Anastasia. Nama lengkapnya, Anastasia Halim. Kita bertiga satu kerjaan dan satu ruangan."suara Mark menyebutkan namaku, membuat kedua mataku berpindah ke pria yang sekarang menatapku dalam diam. Tatapannya seperti menelusuri setiap area wajahku. Tiba-tiba, tangannya terulur sendiri ke arahku. Dia sendiri, bukan seperti ke Denada. "Kenalkan, namaku Jaxton." katanya dengan dingin. "Agh, Aku Anastasia." balasku dengan cepat, membalas jabatan tangannya. Sangat hangat, lembut, telapak tangannya yang menyatu dengan telapak tanganku itu terkesan membuatku bisa menilai dirinya. Kedua manik matanya, masih terus menatapku. Membuat aku sedikit bingung, begitu pula dengan Mark dan Denada. "Senang berkenalan denganmu." Aku dengan cepat menarik tangan yang masih di genggam pria nano-nano ini. "Cantikkan Kak?" bisik Mark ke Jaxton. Jaxton tiba-tiba tersadar, dan merasa gugup, saat mendengar ucapan si Mark. "Masih jomlo juga! Batal nikah dia." bisik Mark. Aku tidak mendengar bisikan Mark ke pria ini. Tiba-tiba dia terkaget dan kembali menatap Aku. Aku langsung saja, kembali merubah posisiku dan mengambil beberapa makanan untuk aku santap. Lebih tepatnya, aku memunggunginya sekarang. "Jaxton, ini Miranda. Pulanglah, kalau kamu mau pulang Nak." Tante Anjani memanggil kembali pria yang sedang bersama Mark. "Oh iya Tante." balas Jaxton sopan. "Mark! Kakak pulang dulu, lain kali kita ketemuan." ucapnya dengan memeluk si Mark. Seusai memeluk tubuh Mark, dia berjalan menghampiri Mba Miranda. "Mba Randa, Jax pulang dulu. Kasihan papa di tinggal lama-lama." itu suara yang ku dengar, hingga ku putuskan kembali menatap dirinya dari posisi tempatku duduk. 'Bukankah dia itu, seperti pria yang menabrak aku tadi?' Terlihat, dia sedang berpamitan dengan  Mba Miranda, Om Susanto dan Tante Anjani. Lalu, tubuh tegapnya menggendong keponakan si Mark, bernama Keenan sambil menghujaninya dengan ciuman. Setelah selesai, dia sempat melirikku sekilas yang sedang duduk di bangku di depan meja makan. Entah kenapa, kedua mata kami saling bertemu. Aku dengan cepat memutuskan kontak mataku dengannya. "Kelewatan ini namanya tampannya." Denada tiba-tiba bersuara saat Mark kembali ke meja makan, sehabis dia ikut mengantarkan pria dingin itu. "Masih kalah jauh dari gue lah. Gue lebih tampan dari Kak Jaxton." ujar Mark kepedean. "Bibir lo masih perawan kan? Punya malu gak?" sindir Denada dengan mengunyah makanannya. "Heleh... kebangetan!" Mark duduk di sampingku. "Siapa sih tadi Mark? Gila! Tampan banget, kek ada bulenya? Kek Om Susanto, ada keturunan." "Bilang aja kek gue kenapa? Sulit amat mengakui ketampanan sahabat lo sendiri." "Serah lo! Yang penting lo senang. Siapa tadi?" Denada mengubah pandangannya ke Mark, penuh selidik. "Sepupu gue!" "Waw... bisa ini." sambung Denada. "Bisa apa dulu?" gumam Mark sambil mengambil buah salak di depannya. "Bisa daftar dong. Btw, lo masih ingat kan cara ngupas kulit salak?" "Ingatlah! Buah kesukaan gue juga. Masa gini aja gue bisa kelupaan!" Marka mencebikkan bibirnya. "Siapa tau kan, lo lupa ingatan. Gimana? Belum lo jawab, bisa daftar gak?" Denada kembali mengulang pertanyaannya. "Entah! Gue juga gak tau, selama ini gue suka liat dia sendirian. Ke mana-mana itu, kalau gak sama Papanya sebelum sakit, ya sama Kakaknya." balas si Mark. "Ehh... jadi dia normal gak?" tanya Denada memastikan. "Cerewat amat sih lo anda! Cepat makannya, gue gak bisa pulang lama-lama. Kasihan papa, nanti tidurnya gak tenang." kata ku mencelah pembicaraan konyol si Denada. "Nah, ini sama dengan Jaxton. Papanya sekarang sedang sakit, hanya bisa terbaring di atas ranjang aja. Gak bisa ke mana-mana, sudah hampir enam bulan lamanya, terus terbaring gak ada perubahan. Tapi syukurnya, Kak Jaxton memanggil team medis ke rumah mereka, dan memantau kesehatan Papanya. Tapi, dia pria yang baik sih menurutku. Masa mudanya lebih memilih merawat papanya, dianya itu. Gue salut loh sama dia. Kakaknya berada di Australia, mengurusi aset keluarga mereka. Sedangkan kak Jaxton, melepas perusahaan mereka yang ada di Bali, dan kembali ke Jakarta untuk menemani Papanya.  Papa gue dan papa Kak Jaxton itu Kakak beradik, mereka cuma berdua." jelas Mark membuat kami membisu. "Kok gue jadi makin suka sama sosok cowok kek sepupu lo itu!" Denada kedua manik matanya berbinar, mengenang pertemuan tadi dengan Jaxton. Aku sendiri berpikir, bagaimana jika aku di hadapkan seperti cerita Jaxton. Aku tidak berani membayangkan, bila saja Papa mengalami yang di alami oleh Jaxton. Rasa ketakutan, pun bisa ku rasakan di dalam diriku. Takut akan kehilangan, sosok seorang pria yang teramat penting dalam hidupku. "Oi! Lo ngelamun?" Mark menepuk pelan pundakku. "Agh, tidak. Hanya terbuai dengan ucapan lo Mark." balasku. "Eleh, segitunya. Ya sudah, makan yang banyak. Gue mau ganti baju dulu." kata Mark beranjak berdiri dari duduknya dan dia berlalu meninggalkan kami. 'Tatapannya, tangannya, matanya, caranya menatapku, seperti aku sedang mengulang sesuatu di dalam hidupku.' Bersambung. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD