Edgar Morris 2

1257 Words
Lynelle mengatupkan bibirnya. Kenyataan bahwa Edgar buta merupakan sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Dia memandang mata emas Edgar lebih seksama, dan mendapati ternyata kornea matanya terlihat lebih buram. Mungkin, secara sekilas mata Edgar tampak sehat. Tetapi kedua mata itu tak berfungsi dengan baik. Tak ada fokus. Tak ada binar dan cahaya sama sekali. Lynelle memilih diam. Kebutaan yang Edgar alami ini tak mengurangi sedikit pun nilai kemaskulinannya. Dia tetap berdiri jangkung, angkuh, dan tampak ahli memanipulasi. Kebutaan dirinya justru memperkuat aura dingin dan berjarak. Seolah secara otomatis menahan seseorang untuk tidak mendekat, menciptakan portal secara alami. Bagaimana bisa sebuah kekurangan justru terasa menjadi pelengkap? Aura Edgar yang dingin, berjarak, dan sinis jadi menyempurnakan dirinya. Ada sesuatu yang menarik seseorang untuk medekat, seperti ingin merasakan buah terkarang tetapi mendapat pengusiran secara halus. Edgar Morris bukan orang yang sembarangan. Dia lelaki penuh perhitungan dan licik. Sepertinya Lynelle menghadapi lawan yang sangat sulit. "Kau tak terkejut dengan apa yang kau lihat?" tanya Edgar sinis, dengan tatapan kosong. Lynelle tertawa kecil. Sungguh suatu keajaiban lelaki maskulin di hadapannya ini memiliki kekurangan, tetapi tak terasa seperti kekurangan. Tubuhnya yang jangkung, sikapnya, dan cara bicaranya, semua itu di atas standar laki-laki pada umumnya "Aku tak peduli pada kebutaanmu!" Lynelle berkata apa adanya. Dia menatap d**a bidang lelaki ini yang berbalut kaos dan menebak d**a itu pasti sangat keras dan dipenuhi otot. Bukti bahwa Edgar memiliki disiplin tinggi. Lynelle pernah mendengar seseorang berteori. Jika ada orang yang memiliki ketidakmampuan dan dia sadar dengan itu, biasanya di banyak kasus, orang itu akan bekerja keras mati-matian melakukan banyak hal demi menutup kekurangannya. Banyak orang-orang dengan ketidaksumpurnaan justru berjuang luar biasa dan berhasrat membuktikan pada dunia bahwa mereka patut dilirik meski memiliki kekurangan. Edgar mungkin salah seorang dari golongan itu. Dia berjuang melebihi batas normal, membuktikan pada dunia dengan caranya sendiri jika ia mampu. Sebuah tekad yang hanya dimiliki segelintir kaum saja. "Kau wanita pertama yang tidak peduli dengan kebutaanku. Meskipun aku tak tahu itu sebuah kebohongan atau tidak!" Edgar maju satu langkah, mendekat ke arah Lynelle. Parfum wanita ini begitu lembut dan wangi. Membuat indera penciuman Edgar berteriak histeris, seperti menemukan surga. "Aku tak tertarik mengupas kekurangan orang lain!" Lynelle masih berdiri tegak, menyadari jika Edgar maju selangkah lagi, mereka pasti bersinggungan secara langsung. Detak jantung Lynelle mulai berdegup tak karuan. Seolah-olah siap menyambut sesuatu yang amat terlarang. "Berapa jarak kita saat ini?" tanya Edgar kemudian. "Dua setengah meter!" Lynelle menahan nafas. "Kau bohong!" Lynell terdiam. Dia menatap lantai yang menunjukkan kaki mereka hanya dipisahkan oleh satu kotak keramik. Itu artinya sekitar empat puluh centi meter. "Kau berjarak satu rengkuhan dariku," ujar Edgar dalam, mengangkat tangan dan hebatnya, tepat menyentuh pipi Lynelle. Lynelle memejamkan mata sejenak, menyadari betapa lelaki ini memiliki tebakan yang teramat akurat. Bagaimana bisa? Tangan Edgar tak bisa dibilang kasar, tetapi juga tak bisa dikatakan halus. Telapak tangannya menunjukkan ia adalah lelaki yang suka bekerja keras dan menggunakan tenaganya untuk sesuatu. Tetapi meski begitu, ada kelembutan asing yang mulai dirasakan oleh Lynelle. Sebuah kelembutan yang tak bisa Lynelle definisikan. "Bagaimana kau tahu?" Mati-matian Lynelle mencoba agar suaranya tak gemetar, meskipun itu sepertinya tak terlalu berhasil. "Aku terbiasa menggunakan inderaku yang lain. Sumber suara dan insting! Suaramu menunjukkan kau tak jauh dariku. Tubuhmu juga menguarkan kalor dan aroma melati samar. Aku tahu posisimu. Bahkan jika aku ingin menembakmu saat ini, kupastikan aku mampu mengenai jantungmu. Persis di jantungmu!" Edgar tersenyum kecil, mengusap sisi wajah Lynelle yang lembut, terus turun ke area lehernya yang sangat sensitif. Lynelle bertekad tak akan menghindar, meskipun ia saat ini teramat tegang. Mau bagaimana lagi? Dia toh sudah dipilih untuk melayani Edgar malam ini. Selain itu, dia harus menuntaskan misi Marta secara penuh. Lynelle tak ingin pulang diceramahi oleh Marta hanya karena tak menyelesaikan pekerjaan. "Terimakasih untuk tidak menembakku, Sir!" Lynelle menunduk dalam, merasa jenuh dengan ancaman yang ia dengar. Untuk seukuran wanita seperti Lynelle, ancaman bukanlah hal yang asing. Dia terbiasa menghadapi situasi-situasi sulit. "Ceritakan padaku apa warna rambutmu!" pinta Edgar tiba-tiba, mengelus rambut Celline yang selembut sutra. Dia mengurai penjepit rambut Celline yang berwarna emas, menjatuhkannya begitu saja di atas lantai. Lynelle melihat benda mengenaskan itu dan hanya bisa diam. Orang kaya selalu berhak melakukan segalanya dan tidak ada hukum yang menjerat mereka. Sekalipun ada, itu hanya formalitas saja. "Pirang!" Lynelle berkata asal, menatap rambut merahnya yang bergelombang dengan tatapan sendu. Lynelle tak terlalu suka warna merah. Terkesan menggoda dan murahan. Tetapi setiap kali ia ingin merubah warna, Marta selalu menahannya. Katanya, rambut Lynelle bisa menjadi daya tarik sendiri. Mau bagaimana lagi. Lynelle hanya mengikuti. Lama-lama, Lynelle tak lagi mengeluh. Rambut ini membawa keberuntungan. Buktinya, banyak pelanggan yang datang lagi padanya dan menyebut Lynelle sebagai "Red Rose". "Kau bohong lagi!" Edgar tertawa sinis. Jari-jemarinya masih sibuk mengurai rambut Lynelle yang lebat. Rambut ini terasa sangat pas di tangan Edgar. "Kau penebak yang jitu. Rambutku sebenarnya berwarna merah. Dari mana kau tahu aku berbohong?" Lynelle merasa penasaran. Dia mendongak ke arah lelaki ini, terbawa suasana oleh belaian Edgar pada rambutnya. "Aku sudah lama buta, Sweet Heart. Pendengaranku lebih sensitif dari pada orang lain. Aku mampu membedakan mana jawaban yang jujur dan mana jawaban yang tidak! Aku mesin pendeteksi omongan!"Edgar menjelaskan. Semenjak Edgar buta, dia mengembangkan indera-indera lainnya dengan lebih besar. Pendengaran, perasaan, sentuhan, dan banyak hal lainnya. Memang Edgar tidak seratus persen menjamin bisa membedakan suara dan reaksi seseorang, tetapi sebagian besar jika ia menebak, ia jarang salah. Lynelle terdiam lama. Semuanya semakin tak mudah. Jika Edgar sesensitif itu dengan semua hal yang terjadi, maka Lynelle harus waspada mati-matian. Misinya untuk membunuh Edgar jadi terasa kian mustahil. Jangan-jangan nanti dalam prosesnya, niat Lynelle bisa terdeteksi. Siapa tahu? "Kau lelaki yang cukup hebat!" "Kau juga wanita yang unik!" Edgar balas memuji. Dia maju selangkah, menghilangkan jarak di antara mereka. "Unik?" tanya Lynelle tak mengerti. "Ya. Kau wanita yang bisa bercakap-cakap padaku selama ini tanpa aku berhasrat membunuh!" Edgar berkata ringan, menyentuh bibir penuh Lynelle yang lembut. "Jadi, hasratmu pada wanita adalah hasrat membunuh?" Lagi-lagi Lynelle ingin memastikan. "Ya. Setelah aku menidurinya, aku muak melihat mereka tetap bernafas!" "Oh, ya? Hobi yang cukup ekstrim. Kau membayar wanita untuk ditiduri dan … dibunuh?" "Tidak semuanya. Tapi sebagian besar. Kau tak takut?" "Merasa takut pun sudah terlanjur, bukan? Untuk apa merasa takut. Toh jika nanti kau memang ingin membunuhku, kemungkinan melarikan diri juga pasti tipis. Reaksi dan emosiku tak terlalu berguna saat ini!" Lynelle tersenyum kecut. Meskipun Lynelle dibekali bela diri yang cukup, dia tak terlalu yakin sanggup melawan Edgar secara langsung Satu-satunya kesempatan untuknya menang adalah menyerang Edgar dengan cara-cara licik. Dengan begitu, kesempatan berhasil menjadi lebih besar. "Wanita cerdas!" Edgar meraba dress Lynelle di bagian belakang, berhasil menemukan resletingnya, dan menurunkan benda ini dengan cepat. Suara dress yang jatuh ke lantai membuat Lynelle terkesiap kecil. Dia menatap lama kain lembut yang kini teronggok di sekitar kakinya. "Jadi, Edgar, bisa aku memanggilmu itu?" "Silakan. Aku suka mendengar mulutmu menyebut namaku!" "Beri tahu aku apa saja yang dilakukan wanita itu sehingga hasrat membunuhmu pada mereka sangat tinggi!" Lynelle merinding, merasa tak terlindungi tanpa dress yang ia kenakan. "Ada tiga jenis. Satu, mereka yang jijik dengan kecacatanku dan aku tak suka. Dua, mereka yang sok kasihan padaku dan aku benci dikasihani." "Yang ketiga?" "Mereka yang memiliki niat untuk membunuhku dan aku tak terima. Kau tahu kelompok ketiga ini dipelopori oleh siapa?" tanya Edgar, suaranya sangat lembut, tetapi entah kenapa terasa kejam dan dingin di telinga Lynelle. "Siapa?" tanya Lynelle lirih, merasa kacau. "Wanita bernama Marta Orion!" …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD