Edgar Morris

1185 Words
Eduardo membimbing Lynelle melewati lorong panjang ke ruang dalam. Dinding-dinding di sekelilingnya di penuhi banyak lukisan abstrak dengan media lukis yang bermacam-macam. Ada juga hiasan dinding seperti kain khas dari banyak negara yang dipamerkan dengan sangat artistik. Lynelle yakin selera Edgar membutuhkan banyak uang untuk diterapkan. Rumah adalah cerminan dari pemiliknya. Begitu pun sebaliknya. Ada sebuah tangga utama dengan pegangan melengkung berwarna emas menuju lantai dua. Eduardo membimbing Lynelle melewatinya dengan langkah-langkah cepat. Di atas, ada lorong serupa dengan dua cabang. Kanan dan kiri. Lampu-lampu lorong dari bohlam berwarna orange diletakkan di sepanjang dinding. Penataan mansion ini benar-benar sempurna. Ada sebuah ruang khusus seperti ruang pribadi yang bersambung dengan kamar utama. Eduardo mengangguk di depan pintu ruang khusus ini dan mengangguk dalam, membiarkan Lynelle memasukinya seorang diri. "Silakan, Miss! Saya tidak berhak untuk masuk lebih dalam lagi." "Baik." Lynele mengangguk kecil. Tampak keangkuhan sejati dari matanya yang berwarna campuran. Eduardo tahu dalam sekali lihat, wanita ini bukanlah wanita biasa. Dia mengeluarkan aura khusus yang tidak dimiliki oleh sembarangan wanita lainnya. "Saya ingin mengingatkan bahwa apa pun yang anda dapatkan menyangkut kondisi Tuan Edgar, lebih baik anda tutup mulut dan bersikaplah bijak dengan tidak mengumbarnya ke luar. Rahasia adalah nama lain dari kehidupan majikan saya. Demi keamanan anda sendiri, saya sarankan anda mendengarkan nasihat saya!" Eduardo membuka pintu ruangan, membiarkan Lynelle mencerna kata-katanya. Eduardo telah menyampaikan sebuah nasihat penting. Nasihat yang telah ia berikan kepada ratusan wanita, tetapi sayangnya banyak dari mereka tak mengerti dan memilih tak mendengarkannya. Bukan salah Eduardo jika akhirnya mereka mengalami akhir yang tragis. Lynelle sepertinya wanita yang cukup cerdas. Jika dia bijaksana, dia pasti akan melakukan saran Eduardo. Lynelle memasuki sebuah ruang khusus seorang diri. Ruangan ini didesain dengan sangat apik. Atapnya tinggi melengkung dengan kandelir berwarna emas. Ada sebuah sofa lembut berwarna merah maroon dengan meja kaca di tengah. Buffet khusus yang berisi puluhan anggur ternama. Lynelle bisa mengenali salah satunya karena Marta juga penggemar minuman keras. Seorang lelaki dengan setelan kasual tampak membelakangi Lynelle, menghadap jendela yang dibiarkan terbuka. Angin musim semi perlahan masuk, menciptakan kesejukan baru. Tirai di jendela menari-nari dengan indah. Edgar Morris. Tak salah lagi lelaki itu adalah Edgar Morris. Lelaki yang menjadi targetnya. Lelaki yang diinginkan Marta. Lynelle berjalan ke depan, mendekat ke arah Edgar. Semakin ia mendekat, semakin ia merasakan aura kegelapan yang kuat. Aura d******i dari seseorang yang tidak sembarangan. Kening Lynelle berkerut, mencoba mengantisipasi. Hawa ruangan ini terasa sangat berat. Lynelle seperti wanita yang dijebak dalam situasi asing yang penuh bahaya. Udara berubah menegangkan. Tengkuk dan tulang punggung Lynelle terasa kaku. "Kau wanita yang akan melayaniku malam ini?" tanya Edgar. Suaranya sangat dalam, sedikit serak, dan mengandung kekuatan. Jenis suara yang diciptakan untuk memerintah orang lain secara alami. Dalam sekali dengar, Lynelle tahu Edgar adalah lelaki yang sangat istimewa. Lelaki langka dan memiliki ketangguhan alami. Akan sulit bagi Lynelle untuk menjalankan misinya nanti. "Ya. Apa yang kau harapkan dariku, Sir?" Lynelle melangkah mendekat, mengabaikan aura kelam yang kian terasa. "Melayaniku dengan sempurna. Jika kau berbuat sesuatu yang tak menyenangkanku, aku akan megirim mayatmu keluar dari mansion ini secepat mungkin!" Suara Egdar mengandung keseriusan, tetapi sayangnya hal itu tak membuat Lynelle berlari ketakutan. Lynelle sudah sering menghadapi macam-macam bentuk tekanan. Dia bukan lagi wanita polos. Kehidupan malam telah menempanya dengan sangat luar biasa. Menciptakan sisi lain dari diri Lynelle. "Terimakasih atas peringatanmu, Sir!" Suara Lynelle mantap dan stabil. Nadanya terdengar lembut, mengalun layaknya nada alam di senja hari. Marta bilang suara Lynelle sangat khas. Ada sisi menggoda, angkuh, dan lembut berpadu secara bersamaan. "Kau wanita pertama yang tidak tertekan dengan ancamanku!" Edgar berkata pelan. Nada suaranya mengandung kesinisan. Seolah-olah dunia telah lama tidak bersahabat dengannya. Seolah-olah dunia sudah lama memusuhinya. Bulu mata lentik Lynelle mengerjap pelan, menangkap semua amarah terpendam yang Edgar miliki pada kehidupan. Lelaki ini bukan lelaki biasa. Dia sangat kompleks. Semua rencana yang Lynelle miliki, seperti terbang dengan cepat. Dia butuh rencana yang lebih matang dan kuat untuk menghadapi Edgar. Terutama jika Lynelle ingin melumpuhkannya dalam waktu yang singkat. Sepertinya Marta telah memberinya job yang sangat berat. Pantas dia menawarkan rumah di Kensington Palace sebagai imbalan. Misinya sendiri sesulit ini. "Aku wanita yang sudah banyak menghadapi situasi sulit. Aku bukan perawan lugu yang mudah ditekan melalui kata-kata!" Lynelle menanggapi. Gaunnya yang sewarna darah tampak anggun, membalut tubuh sempurnanya. Lynelle memakai liontin berwarna biru gelap yang menghiasi leher jenjangnya. Rambutnya yang sewarna bata tampak berkibar lembut setiap kali ia menggerakkan kepala. Sekilas, sosok Lynelle bagaikan dewi penggoda yang sengaja diturunkan oleh Dewa dari khayangan. Mempesona dan memukau. "Menarik juga. Apakah kau akan tetap seberani itu andai tahu banyak dari wanita-wanita sebelummu berakhir tragis?" Edgar masih tak berbalik. Mereka berdua saling berbicara tanpa bertatap muka. Semakin ke sini, Lynele jadi semakin penasaran dengan wajah lelaki ini. Mungkinkah Edgar jenis lelaki yang suka memunggungi orang lain? Itu merupakan kebiasaan buruk, mengingat siapa pun bisa menyerangnya dengan mudah. Punggungmu adalah kelemahanmu. Jangan pernah memberikan punggungmu pada orang asing yang bisa tiba-tiba menusukmu tanpa alasan. "Aku tak terlalu peduli dengan nasib orang lain, selama aku tak memiliki nasib serupa. Berakhir dengan tragis jelas bukan tujuanku. Jadi, Mister yang terhormat, bisakah kau memberitahuku apa saja yang bisa memancing emosimu sehingga aku tak melakukan tindakan itu?" tanya Lynelle terdengar ringan. Terlalu sering menghadapi kelicikan membuat Lynele tak lagi terkejut dengan yang namanya pembunuhan. Darah, meskipun bukan ranah Lynele untuk mengeksekusi seseorang, tetapi sudah sering menjadi obrolannya setiap hari. Bisnis Marta bukanlah bisnis yang bersih. Terlalu banyak kebobrokan yang Marta sembunyikan daru dunia. Kebobrokan yang sayangnya diketahui oleh Lynele dengan baik. "Siapa namamu? Aku perlu mengetahui namamu lebih dulu!" Edgar membelokkan arah pembicaraan mereka. Lynele dengan sopan mengangguk dalam dan menyebutkan namanya. "Lynele Morrison!" "Morrison?" tanya Edgar. Ada nada ketertarikan yang mampu Lynele tangkap. Lynele ingin tertawa saat ini. Sungguh suatu lelucon hebat. Marta mengirim Lynele pada seseorang yang kebetulan nama belakangnya mirip. Edgar Morris. Lynele Morrison. Pasti banyak orang menganggap Lynele merubah nama belakang palsu secara kilat hanya demi melakukan misi pendektan dengan Edgar. "Ya. Kau bisa menuduhku membual. Tetapi itulah nama belakangku sesungguhnya." Lynele menanggapi dengan sinis. Dia tak lagi terlalu peduli apa pendapat Edgar mengenai semua ini. Yang terpenting, Lynelle tidak menyalahi Edgar secara sengaja. Dia terlalu cerdas untuk membuat masalah secara tiba-tiba. "Aku tak terlalu peduli dengan nama belakangmu. Yang kupedulikan adalah sikapmu terhadapku. Selama ini, banyak wanita yang tak bisa menjaga sikap. Untuk apa wanita seperti itu dibiarkan hidup? Sekarang, mari kita lihat apakah kau akan bisa menjaga sikap atau tidak!" Edgar tertawa sinis. Perlahan, dia menoleh ke belakang, menghadap Lynele yang hanya berjarak dua meter. Lampu ruangan terasa lebih redup. Cahaya keemasannya yang lembut menyorot sosok Edgar yang sempurna. Rahang lelaki ini keras dan sempurna. Tulang pipinya tinggi, seperti ikon bangsawan zaman dahulu. Kulitnya sewarna tembaga, tampak menggoda. Seolah-olah Edgar bersahabat dengan matahari sepanjang hari. Lynelle menarik bibirnya membentuk senyum puas. Edgar dianugerahi fisik sesempurna malaikat. Rambutnya berwarna cokelat gelap, mengundang untuk disentuh tangan siapa pun. Tanpa sadar, Lynele melangkah maju. Dia mendongak, mengunci mata Edgar yang berwarna kuning keemasan, laksana harimau. Lynele kemudian membeku di tempat. Dia menyadari ada yang ganjil. Mata Edgar dipenuhi kekosongan, tak ada binar apa pun di maniknya. Tak ada cahaya kehidupan di sana. Kelopak Lynelle mengerjap pelan. Dia berhasil mengambil sebuah informasi. Informasi yang sangat sensitif tentunya. Edgar Morrison buta. Dia cacat. ..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD