Kisah Cinta Nayyara dan Liam | 3

1934 Words
Saat menjelang sore, Nayyara berada di sebuah taman komplek sebelah, taman itu lebih luas dan banyak tempat bermain serta bersantai daripada taman di komplek Nayyara sendiri. Ada banyak orang di sana sedang bermain layang-layang, bola, hanya bersantai, banyak juga yang lari sore, bahkan di ujung kanan sana ada sebuh lapangan basket. "Cepat, Sha! Lambat amat lari lo kayak siput." Nayyara berteriak, Shaleta berada jauh di belakangnya. Gadis itu tidak berlari, melainkan hanya jalan santai. Menyebalkan! Shaleta memberengut. "Lo terlalu lincah, gue nggak bisa nyeimbangin. Ke sana ke mari lo loncat, gue udah pegel padahal cuman liat doang." Dia mengusap keringat yang membasahi pelipis. Nayyara tertawa tanpa dosa. Menurutnya lari memang seperti ini, biar mengeluarkan keringat lebih banyak dan sehat. Shaleta pemalas kalau soal urusan olahraga, kerjaannya cuman beberes rumah bisanya. "Cepat sini susulin gue!" Setelah itu dia kembali berlari mengelilingi taman. Tidak lelah dan tetap semangat empat lima. Shaleta angkat tangan, dia duduk di salah satu kursi panjang, menyandarkan tubuhnya di sana sambil menghirup oksigen banyak-banyak. Di hadapan Shaleta sekarang ada kolam dengan air mancur yang terlihat indah dan menyegarkan. Kalau saja dia berada di rumah, Shaleta akan berenang kayaknya lebih menyenangkan. "Woi, kok udahan? Baru juga dua kali putaran lo, gue coba udah empat kali. Cemen ah!" sindirnya keterlaluan. "Terserah lo mau lanjut atau udahan, gue nggak mau lagi lari. Capek, bisa mati kehabisan napas gue. Lo pikir taman ini sempit mau lima kali putaran? Gila aja lo!" Shaleta membalas tak kalah kesal. "Lo emang senang liat temen menderita, apalagi sampai liat gue pingsan. Auto ketawa kan lo?!" Nayyara menutup mulutnya menahan tawa. "Nggak gitu juga, begini-begimi tingkat kepedulian gue tinggi." "Cih! Sok paling iya, udah sana kalau lo mau keliling lagi. Gue mau duduk di sini saja, mau nikmatin angin dengan pemandangan langit sore." Nayyara diam sebentar, memikirkan akan melakukan apa setelah ini jika dia menyudahi acara larinya. Sebuah layangan putus talinya berterbangan tanpa arah ingin mendarah di posisi Nayyara sekarang. "Astagaaaa. Layangannya putus, gue mau ngejar dulu! Lo diam di sini, Sha." Sebelum Shaleta berhasil melarang, Nayyara sudah menghilang dari kediamannya. Secepat kilat dan dalam sekejap mata. Shaleta hanya bisa mengelus d**a, usia Nayyara sudah sembilan belas tahun tapi rasanya masih seperti bocah usia sembilan tahun. "Kalau gue yang dapat, jadi milik gue layangannya!" teriak Nayyara pada anak-anak lain yang juga sedang mengejar layangan putus itu. Anak-anak itu menganga, dia tak mau kalah dari Nayyara yang mereka pikir hanya seorang perempuan, mana bisa mengalahkan ketangkasan laki-laki. Karena terlalu lincah mengejar layang-layang itu, Nayyara sampai tak sadar jika sekarang kakinya salah berpijak dan dalam hitungan detik tubuhnya terhempas ke dalam kolar air mancur. Semua anak menganga tidak menyangka, begitu pun dengan Shaleta yang langsung berlari menyusul. "Kak, kok malah nyebur? Bukannya tadi mau dapetin layangannya?" tanya satu anak yang nampak bingung dengan konsisi Nayyara sekarang. Bukannya melangkah pada tepian kolam dan naik ke atas, Nayyara malah tidak mau bergerak. Kakinya sangat sakit karena terkilir, membuatnya terisak dalam air itu. "Nay, naik sini. Astagaa anak satu ini, ada aja kalakuan lo kan yang bikin gue darajmh tinggi." Shaleta berdecak kesal. Bagaimana dia menolong Nayyara sementara Shaleta sendiri tidak bisa bercebur, dia baru mengingat jika baru saja tadi dia halangan. Bahaya jika dia ikut bercebur, airnya akan kotor olehnya. Nayyara masih dalam posisinya, malu dan tidak tahu harus melakukan apa. Ada saja kesialannya hari ini yang beruntun, tidak habis pikir. "Astaga, Liam!" pekik seseorang yang kebetulan juga melewati taman itu. Dia sedang bersama anak kecil serusia sekitar tiga tahun, jalan santai bersama sambil mengajak anak itu bermain bola. "Tolongin dia, Liam!" serunya lagi menyuruh Liam menolong Nayyara. Liam yang memang sejatinya tak tegaan pada orang lain, cepat dia ikut bercebur ke dalam kolam, menolong Nayyara. Sebenarnya kolam itu hanya sebatas pinggang Liam, jadi pria itu tak perlu menyeburkan dirinya seutuhnya. Ketika sampai di pinggiran, Shaleta segera menghampiri Nayyara. "Nay, kamu nggak apa?" Nayyara yang masih syok, menggeleng pelan. Dia mengangkat kepala, berusaha menatap orang yang menolongnya untuk berterima kasih. Namun, setelah tatapan mereka bertemu Nayyara langsung terkejut bukan main. Dia, pria yang Nayyara temui seminggu yang lalu saat hujan turun begitu deras. Di depan kafe, yang memberikan Nayyara payung juga. Pria tampan yang tiba-tiba menarik perhatian Nayyara belakangan ini, oh God! "K-kamu?" Nayyara langsung membuang muka. Dua kali bertemu, Nayyara dalam keadaan basah kuyup. Pasti sekarang rambutnya lepek, wajahnya juga jelek. Aish! Sialan. Liam tidak memberikan respon lebih, hanya anggukan kecil. "Syukurlah jika Anda baik-baik saja. Kalau begitu saya permisi." Nayyara tidak lagi menyahut, mengurungkan niat untuk mengucapkan rasa terima kasihnya. Melihat Liam pergi dengan seorang wanita beserta seorang anak, mematahkan hati Nayyara dalam sekejap. Apa benar kata Shaleta jika pria itu sudah memiliki istri dan anak? "Kenapa orang ganteng semua sold out sih?" gumam Nayyara pelan. Meski begitu, Shaleta masih bisa mendengarnya cukup jelas. Shaleta memukul kepala Nayyara hingga gadis itu tersadar dan mengaduh sakit. "Gila! Dalam keadaan kayak gini masih bisa memikirkan pria tadi? Mata keranjang banget lo!" Nayyara cemberut. "Lo tahu? Dia pria waktu itu yang gue ceritain, pria ganteng yang pengen gue pepet." Nayyara berdecak, dia menunduk sedih. "Apa?! Nggak, nggak boleh. Lo nggak liat dia jalan-jalan sama istri dan anaknya? Buta mata lo?" Shaleta terpaksa mengomeli Nayyara, tidak peduli dengan kondisinya sekarang yang sedang kesakitan. Nayyara menunjukkan wajah seakan ingin menangis. Bibirnya bergetar. "Gimana dong, gue sudah terlanjur suka dia. Gue mau dia, pokoknya harus dia!" Shaleta mendorong kepala Nayyara pelan. "Sadar, suami orang. Kayak nggak ada cowok lain aja. Dia nggak seumuran lo, beda jauh keluhatannya. Jangan sama dia, udah om-om dan suami orang," desisnya tajam. "Sekarang bukan waktu yang tepat memikirkan kegalauan lo, liat kaki lo! Astaga langsung membiru begini, Nay. Ayo pulang sekarang, kita obati bareng Mbok Nar. Ini harus diurut segera, nanti kalau lambat tulang lo nggak sesempurna awal lagi." Nayyara akhirnya mengangguk saja. Dia dibantu oleh Shaleta menuju rumahnya, melangkah pelan-pelan meski rasanya kaki kirinya itu akan patah. Sungguh sakit, ngilu juga. Apa sebegitu keras dia terbenturnya sampai memar hebat begini? *** "Mbok Nar ...," panggil Shaleta tertatih-tatih membantu Nayyara. Mbok Nar langsung menghampiri dengan segera, dia terlonjak kaget melihat kondisi Nayyara. "Ya Tuhan, Neng Naya!" pekik wanita itu yang kemudian cepat-cepat mengambilkan kursi lipat untuk di duduki oleh Nayyara. Sangat tidak mungkin gadis itu duduk di sofa sementara dirinya basah kuyup dan kotor. "Neng Naya kenapa lagi? Baru juga sembuh luka di lutut minggu lalu, sekarang bikin luka baru lagi, Neng?" "Beginilah, Mbok, kalau anaknya kayak gasing. Nggak bisa diam, ada aja yang dia lakuin. Iya aja kalo bener, ini akhirnya nyakitin diri sendiri juga!" Shaleta ikut menimpal dengan omelan. Yang diomeli hanya bisa mengaduh sakit dan memanyunkan bibirnya. "Iya, iya, salah lagi." Nayyara mengaku pasrah. Dia memang terlalu aktif hingga ceroboh selangit. "Mbok, kyaknya aku bersih-bersih dulu baru diberi obat luka." "Nanti gue telepon tukang urut. Ini nggak bisa cuman pakai obat medis, harus diurut biar tulang dan urat kaki lo kembali benar kayak semula." Mata Nayyara membola. Dia menganga. "Lo bercanda? Gue nggak mau diurut. Bisa mati kesakitan gue!" Mulai, gadis itu hiperbola. Nayyara paling anti dengan urut, tapi sangat sering terjatuh hingga mengakibatkan tulangnya demikian. Sial! "Kenapa teriak-teriak, Sayang?" Andara dari arah belakang menghampiri Nayyara yang sedang di khawatirkan oleh Shaleta dan Mbok Nar. Pria dengan setelan kerja mewah itu melipat kaki di hadapan putrinya, sesaat sebelumnya menaruh jas dan tas kerjanya di sofa. "Jatuh lagi?" tanyanya kemudian. Nyali Nayyara langsung menciut jika berhadapan dengan sang Ayah. "Anu ... Ayah, itu ... iya, Nayyara jatuh." Akhirnya mau tak mau Nayyara mengaku. "Aku jalan-jalan ke taman komplek sebelah, terus mau ngejar layangan eh malah nyemplung ke kolam. Kakinya sakit, memar dan bengkak juga. Maaf ya, Yah." Andara menggelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. "Kenapa masih berniat mengejar layangan? Kamu sudah berapa usianya?" Shaleta yang berada di belakang Andara menahan tawa, dia tahu betul bagaimana takutnya Nayyara jika Andara sudah angkat bicara. Meski Andara tak mengomel dan membentak, cukup dengan kata-kata halus Nayyara menurut sekali. Nayyara memberengut tidak sengaja melihat Shaleta yang akan menertawakan kesialannya ditambah sekarang Andara pulang lebih cepat, dia jadi tidak bisa bersembunyi beberapa waktu sampai lukanya benar-benar sembuh. "Anu, sembilan belas tahun, Yah. T-tapi ... aku niatnya mau bantuin anak-anak ambil layangannya." Andara mengangguk saja. Tidak berniat semakin memojokkan sang putri, dia tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk mendebatkan hal ini. Andara beralih tatap ke arah pergelangan kaki Nayyara. "Kita urut habis ini." Nayyara membelalakkan matanya. "T-tapi, Yah ... diurut akan menambah rasa sakit. Aku nggak mau. Ini bakal sembuh kok kalau dikompres pakai air es." "Nayya ...." Andara menegur. "Ini bukan lagi soal luka biasa. Ini sudah mengenai tulang dan urat kamu. Kalau tidak diurut kamu bisa saja tidak bisa berjalan secara normal lagi. Sakitnya akan terus datang berulang dan kapan saja waktunya." "Aaa ... gimana dong, Yah? Hem, carikan dokter paling hebat mengenai tulang. Dia pasti akan menyembuhkan kaki Nayya tanpa harus diurut." "Sayang, mana bisa begitu." Andara menolak lagi. Pandangannya beralih pada Shaleta. "Sha, kamu masih punya nomor telepon tukang urut yang mengurus soal tulang kemarin waktu Papa kamu keseleo?" Shaleta mengangguk cepat. "Masih ada, Om. Sha telepon sekarang biar nanti malam tukang urutnya datang." "Boleh. Terima kasih, Nak." Shaleta mengulum senyum penuh kemenangan pada Nayyara, kemudian berlalu untuk menelpon tukang urut andalan yang terkenal hebat soal memperbaiki tulang yang keseleo seperti ini. "Ayah ... kalau makin sakit gimana? Aku nggak bisa kuliah dong. Nggak bisa main sama Sha, nggak bisa jalan-jalan sore juga." Andara mengusap pipi Nayyara. "Akan segera sembuh. Nanti sembari diurut, kamu sambil minum obat juga. Biar keduanya bereaksi dengan baik." "Diurutnya sekali aja kan, Yah?" "Tergantung tukang urutnya, Sayang. Kalau kaki kamu mengalami penyembuhan cepat, bisa hanya dua kali atau satu kali urut saja." "Satu kali aja, Yah. Bisa mati aku kalau dua kali. Nggak mau." "Makanya, sembuh dengan baik. Jangan banyak bergerak dulu untuk sementara waktu selama masa penyembuhan, Ayah akan mengurus izin kuliah kamu dalam minggu ini." "Ya sudah deh." Nayyara tertunduk lemas dan pasrah. "Aku mau bersih-bersih dulu, biar nanti diurut sudah wangi. Ayah bisa gendong aku sampai ke kamar? Kaki aku sakit banget buat jalan, Yah." Andara mengangguk, tentu saja dia mau. Apa sih yang tidak untuk putri kesayangannya? Andara berusaha untuk selalu melindungi Nayyara, dialah satu-satunya hal yang paling berharga dalam hidupnya. Mbok Nar mengikuti di belakang, kemudian dia mengambil alih menyiapkan air untuk Nayyara. "Hati-hati ya, Sayang, mandinya. Kalau ada apa-apa bilang aja, nanti Ayah, Shaleta atau Mbok Nar yang membantu kamu." Nayyara mengangguk. "Terima kasih, Ayah. Maaf selalu merepotkan dan bikin khawatir." Andara mengusap pipi Nayyara gemas. "Iya, tidak masalah, Sayang. Sudah, kamu mandi dulu sana. Bau anak Ayah." "Ish, Ayah resek!" Nayyara terkekeh pelan, begitu pun dengan Andara. "Ayah ke kamar dulu, Sayang, mau bersih-bersih juga hari ini keringetan banget. Ayah habis ngontrol pekerjaan di lapangan." "Oke. Ayah jangan lupa istirahat yang banyak, jangan kerja terus. Nanti Nayyara khawatir." "Siap, Sayang." Setelah itu Andara berlalu meninggalkan Nayyara yang masih tersenyum begitu manis. Dia merasa sangat beruntung memiliki seorang ayah yang luar biasa hebat. "Nayya sayang banget sama Ayah." *** Yeay! Bertemu di lapak ini. Up setiap jam 10 WIB ya. Tunggu aja! Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karyaku. Semoga "Kisah Cinta Nayyara dan Liam" tak kalah seru dengan cerita lainnya. Akan aku usahakan membuat cerita sebagus mungkin, untuk memuaskan kalian semua. Love! Maaf jika terdapat kesalahan kata dalam setiap penulisanku. Jangan lupa tap love untuk menyimpan cerita ini di library dan tinggalkan komen untuk memberikan semangat. Hehehe .... Satu komen dan love dari kalian, berharga sekali. Terima kasih banyak. Muachhh! Salam manis, Novi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD