Kisah Cinta Nayyara dan Liam | 2

1794 Words
Nayyara menjatuhkan diri di kasur Shaleta yang sudah tertata rapi dengan kasar. Kemudian mengubah posisinya terlentang dan telungkup bergantian sampai dia menemukan posisi nyamannya. Helanaan napas panjang Nayyara ambil, mengamati dengan seksana langit-langit kamar Shaleta beberapa saat. "Sha, lo kok rajin banget bersih-bersih kamar? Perasaan debu aja sungkan mau mampir ke sini," celetuk Nayyara tanpa berpikir. Dia berkata sekenanya, mengungkapkan apa yang sedang terlintas di pikiran. Shaleta yang baru saja keluar dari kamar mandi--buang air kecil--nampak bingung. Gadis itu memiliki postur tubuh lebih tinggi sedikit dari Nayyara, dia tak kalah cantik dengan mata sipitnya. Shaleta memiliki tahi lalat di bagian pipi sebelah kanan, manis sekali kelihatannya dengan rona kemerahan yang sering mampir menghiasi kedua pipinya saat malu atau terkena panas. Mereka berdua seumuran, berteman sejak kecil dan tinggal dalam satu komplek yang sama. Nayyara dan Shaleta selalu satu sekolah sejak mereka masih duduk di bangku taman kanak-kanak hingga sekarang di bangku perkuliahan. Jika ditanya, apakah bosan berteman dengan Nayyara atau sebaliknya? Maka kedua gadis itu menjawab tidak dengan semangat. Nayyara dan Shaleta sering bertengkar, setiap hari bahkan ada saja yang didebatkan. Namun, semampu keduanya tetap mempertahankan hubungan persahabatan itu. Shaleta memiliki sifat lebih dewasa, dia yang selalu menasehati Nayyara setiap terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Tahu sendiri bukan jika Nayyara seperti cacing kepanasan? Tidak bisa diam, ada saja ulahnya. "Iyalah, gue rajin. Nggak kayak lo, pemalas minta ampun. Sampai nggak ketolong lagi!" Shaleta mendengkus. Dia tak segan atau berpikir dua kali berkata jujur demikian. Dan mungkin karena terbiasa, Nayyara tidak merasa tersinggung lagi. Dia biasa aja, seperti menjadi makanan rutin setiap hari. Vitaminlah ibaratkan. Nayyara mencebikkan bibir. Dia mengubah posisinya lagi menjadi telungkup. Menopang dagu dengan tangannya, menatap Shaleta yang sibuk di depan meja rias--menyisir rambut ranjang dan lurusnya. "Biar aja gue pemalas. Kata Ayah tugas gue emang perlu belajar aja, makan kalau lapar, tidur kalau ngantuk, main di waktu senggang, dan mengerjai lo di kala bosan. Iyakan?" Nayyara menaik turunkan alisnya. Senyum mengembang di bibirnya. "Tai lo ya emang. Teman nggak ada guna ya lo ini Nay." Shaleta rasanya ingin sekali menyekik Nayyara saking gemasnya. Namun apalah daya, dia juga menyayangi gadis itu seperti saudara sendiri. "Terus niat lo ke sini ngapain? Baring-baring dan berantakin kamar gue nggak jelas gini!" "Lo tau nggak, Sha--" "Nggak tau. Kan lo belum bilang." "Sabar dulu elah. Gimana mau tau kalau lo motong omongan gue sembarangan! Nggak ada akhlak bener dah!" Tanduk Nayyara seakan mau keluar, dia mendengkus kesal. "Ya sudah lanjut. Gue nyimak." "Gue ketemu orang ganteng kemarin sore." Shaleta menaikkan sebelah alisnya. "Siapa lagi? Kakak tingkat? Atau pegawai kafe? Atau tukang sapu jalanan? Semua juga lo sebut ganteng, heran sama manusia satu ini!" Dia berdecak. "Kemarin, tukang sedot WC juga lo kata ganteng meski udah punya istri dan anak. Keterlaluan!" Nayyara tertawa. Tapi percayalah, dia berkata jujur. Jika ganteng maka akan Nayyara akui, kalau jelek ya sebaiknya diam aja. Kesian. "Tapi kali ini beda. Dia kayak titisan Dewa, Tuhan sempurna banget nyiptain dia. Mungkin jika lelaki lain yang liat, mereka bakal iri dan bilang Tuhan nggak adil. Semua kesempurnaan diambil semua sama dia." "Halah. Berlebihan banget. Mata lo emang rada nggak bener, jangan-jangan dia suami orang lagi? Om-om kaya raya?" Nayyara menjentikkan jari, membenarkan. "Kalimat terakhir lo, benar! Dia kayaknya om-om kaya raya. Mobil dia aja mewah banget, mungkin mobil paling mahal keluaran terbaru itu lho. Pakaiannya juga rapih, setelan kantoran. Gue tebak sih dia CEO, terlahir dari keluarga sultan." Shaleta memutar bola matanya malas. "Sekarang lo mengakui jika ada orang yang lebih kaya dari lo?" tanyanya membungkam Nayyara. "Aish, emang minim akhlak mulut lo Sha!" Nayyara mengangkat tangan, mengancam ingin memukul gadis itu. "Pokoknya kalau gue sampai dapetin dia, makmur udah hidup gue sampai sepuluh turunan, sembilan belokan, sepuluh tanjakan juga nggak bakal sengsara." "Yakin bener lo dia nggak punya istri dan anak? Ya kali orang kayak dia sendirian hidupnya, lo pikir aja. Mungkin nih ya, istrinya sudah dua atau tiga. Lo mau jadi istri ke sekian?" "Boleh juga kalau sultan mah." Nayyara terbahak sampai memegangi perutnya. Dia tak merasa bersalah sedikit pun mengatakan kalimatnya tadi, kedengaran nyata ketololan Nayyara. Jangan heran, gadis bar-bar satu ini memang begitu. Dia benar-benar tidak tertolong! Tawa menggelar Nayyara terhenti ketika Shaleta melempari gadis itu dengan bantal, mengenai tepat di wajahnya. "Jangan banyak mimpi ketinggian. Mending saling suka yang seumuran, Nay. Lebih aman." Nayyara mengangkat bahu. "Gue lebih suka yang hot daddy. Kayak cowok kemarin tuh, aish sempurna banget pahatan tubuhnya. Nggak kebayang berada di bawah kungkungan dia." "Mau gue sepak dari sini, Nay? Omongan lo kayak orang yang udah pro aja dalam hal begituan. Di ajakin ena-ena juga panas dingin ketakutan lo!" Shaleta mendengkus. Dia memijat pelipisnya, sakit kepala dalam sekejap jika semua hal berurusan dengan yang namanya Nayyara. "Pokoknya kalau gue suka, harus dapet! Nggak ada dalam kamus gue, gue kalah dalam hal begini. Cemen banget gue kalau sampai kalah beneran." Nayyara mengubah posisinya menjadi duduk. Melipat kedua tangan di depan d**a. "Siapa pun dia, sesulit apa pun dapetin dia, jangan sebut nama gue kalau nggak bisa naklukin dia. Kita pasti berjodoh, fix!" Nayyara mengangkat dagu, angkuh. "Gue cantik, dia ganteng. Kalau bersatu nanti, kita berdua akan menghadirkan bibir ungkul yang sempurnanya bukan main." Shaleta mencibir tidak suka. "Tinggi-tinggi sana lo ngehayal, jatuh nanti langsung stroke!" Kemudian mencontohkan bagaimana keadaan sehabis kena serangan stroke. Bibir dimiringkan, tangan kaku, dan bahu sedikit terangkat. "Laknat! Mulut lo kayak orang nggak makan bangku sekolah. Sip, persis kayak gue. Pantas aja kita sahabatan." Nayyara mengacungkan jempol ke dahi Shaleta, mendorongnya kemudian sampai gadis itu hampir terjungkal. "Nggak usah kesal gitu mukanya. Sana gih ke dapur, masak! Gue lapar mau makan ya ampun, tadi ke sini buru-buru banget. Nggak sempat makan." "Lo kira gue babu?" "Ya emang iya. Kan lo babu gue!" Shaleta menyepak tulang kaki Nayyara sampai p****t sang empunya kembali terjerembap ke kasur. Sebelum Nayyara meneriakinya dengan sumpah serapah, Shaleta segera berlari meninggalkan kamar. "Shaletaa kurang ajarrrr!!!" Suara Nayyara menggelegar. Untung saja di rumah hanya ada Bibi Jiah dan Shaleta, sementara kedua orang tuanya sekarang memutuskan tinggal di Bandung bersama adik Shaleta yang memerlukan pengawasan lebih di umur yang baru menginjak tiga belas tahun, kebetulan Papanya Shaleta juga pindah kerja. Ngomong-ngomong, Shaleta adalah anak polisi. Hebat bukan? Lihat, meski menyebalkan Shaleta tetap melakukan permintaan Nayyara tadi. Di bantu Bibi Jiah, dia memasak makanan kesukaan mereka berdua. Tidak tertinggal sambal terasi super pedas. Jika kalian berpikir Nayyara akan ikut membantu, maka salah besar. Gadis cantik itu hanya duduk santai di kursi bar dapur, menggerakkan badannya ke kiri dan ke kanan sambil menopang dagu. Nayyara pemalas, dia tidak sama sekali berniat belajar memasak. Tidak mau dipusingkan oleh peralatan dapur yang banyak macamnya, apa pun alasannya. Selain malas, Nayyara takut terluka dengan pisau atau kecipratan minyak panas hingga membakar kulit putih dan mulusnya. Nayyara membayar mahal untuk perawatan seluruh tubuhnya, tidak mungkin rasanya jika harus rusak hanya karena minyak panas. Nayyara bahkan sangat takut hanya dengan membayangkannya. Jangan sampai, amit-amit! *** Sehabis makan bersama, Nayyara meminta Shaleta menemaninya ke tempat orang menjual berbagai macam tanaman hias. Nayyara senang dengan tanaman, halaman depan dan halaman belakang rumahnya penuh dengan tanaman yang semakin mempercantik ruang. Meski pemalas minta ampun, kalau soal urusan bertanam Nayyara jagonya. Shaleta malah sebaliknya, dia malas melakukan hal kotor seperti Nayyara. Lebih memilih menggeluti hobi memasaknya. Selain kuliah, Shaleta juga sering memasak di rumah makan yang dibangun oleh orang tuanya. Sekarang sudah memiliki empat cabang, dua di ibu kota Jakarta dan dua lagi di kota Bandung. Sejak kecil Shaleta disebut chef cilik. Dia senang memasak sejak usia lima tahun. "Serius lo mau beli tanaman ini lagi? Kan sudah tiga pot besar lo punya. Ini yang ke empat kalinya lo beli, Nay." Nayyara mengangguk membenarkan. "Gue mau ganjilin lagi jadi lima. Biar banyak, gue suka yang berlebihan," jawab gadis itu sekenanya saja. Jangan heran, Nayyara memang selalu unik keinginannya. Ketika orang lain lebih memilih membeli makanan ketimbang tanaman hias begini, dia berbeda. Nayyara sering mengabaikan jadwal makannya, Mbok Nar biasanya selalu direpotkan untuk selalu mengingatkan atau langsung membawakam makanannya. "Sekalian aja lo beli sekebun, Nay. Nanti tidur di atas daunnya." Nayyara tertawa. Shaleta pemarah, sedangkan dia keras kepala ... keduanya klop kalau urusan berdebat. Biasanya Nayyara paling anti mengalah, Shaleta-lah yang harus bersikap lebih dewasa, meredam emosinya sendiri meski sebenarnya sangat sulit baginya. "Maunya juga gue borong semua, tapi nanti dimarahin Ayah. Katanya tanaman gue sudah terlalu banyak." "Tapi lo tetap keras kepala buat beli?" "Betul. Gue kan emang selalu senang bertingkah semaunya sendiri. Lo kayak nggak kenal gue aja. Gue makin besar, makin menjadi juga kelakuannya." Shaleta memutar bola matanya jengah. Sudah tahu salah sebenarnya, tapi Nayyara tetap melakukannya. Ada saja manusia macam Nayyara, tidak tertolong lagi. "Suka-suka lo aja-lah, Nay. Cepat pilih, beberapa aja. Bagasi mobil nggak cukup kalau banyak-banyak. Penuh, yang ada nanti malah patah beberapa tangkainya." "Iya, iya. Ini gue cuman beli empat." Setelah yakin dengan pilihannya, Nayyara membayar semua harga tanaman yang terbilang tak murah itu. "Sekarang giliran gue yang minta temenin." Shaleta membuka suara ketika tanaman usai di masukkan ke dalam bagasi. "Ke mana? Jangan lama-lama lho ya, Sha, kita ada tugas proposal yang belum kelar dikerjain. Besok waktu pengumpulan." "Tumben mau ngerjain tugas, biasanya selalu nguruh gue." "Lo mau ngerjain punya gue?" Nayyara menunjukkan senyum setengah lingkaran. "Kagak!!!" Shaleta menolak mentah-mentah, menghapus senyum itu seketika tanpa dosa sedikit pun. "Ayo cepat naik, gue mau nyari sepatu." "Lo jangan lama ya kalau ke pusat perbelanjaan, Ayah nanti nyariin gue kalau pulang terlalu malam." Nayyara memperingati, pasalnya Shaleta senang sekali lupa waktu jika sudah ke pusat perbelanjaan. Ada banyak store yang dia kunjungi, kalau belanjaannya belum penuh, maka berkeliling lagi adalah sebuah kewajiban. Sebenarnya, Nayyara dan Shaleta sama mengesalkannya. Hanya saja persoalannya yang beda. Keduanya punya cara masing-masing untuk terlihat konyol. "Iya, iya. Sebentar doang. Ngomong-ngomong, lo jadi nginep di rumah gue?" tanya Shaleta sambil melajukan mobil ke tempat tujuan mereka yang jaraknya tak terlalu jauh. "Gue izin dulu sama Ayah. Kalau diiyain, jadi berarti." Meski tidak tertolong kelakuannya, Nayyara selalu melibatkan apa saja yang akan dia lakukan dengan Andara. Harus meminta izin terlebih dahulu, Nayyara menyayangi ayahnya hingga tak akan tega jika membuat pria itu mencemaskan keadaannya. Jika Andara tidak mengizinkan, Nayyara tidak akan melakukannya. Dia anak yang penurut. "Oke oke." **** Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karyaku. Semoga "Kisah Cinta Nayyara dan Liam" tak kalah seru dengan cerita lainnya. Akan aku usahakan membuat cerita sebagus mungkin, untuk memuaskan kalian semua. Love! Maaf jika terdapat kesalahan kata dalam setiap penulisanku. Jangan lupa tap love untuk menyimpan cerita ini di library dan tinggalkan komen untuk memberikan semangat. Hehehe .... Satu komen dan love dari kalian, berharga sekali. Terima kasih banyak. Muachhh! Salam manis, Novi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD