Masih tak terlupakan

1217 Words
Air hujan telah deras membasahi tubuh Adam dan Keysa. Mereka saling berdiri dan bertatapan. Walau tahu hujan telah membasahi namun tak membuat mereka berlari menuju tempat berteduh. “Pura-pura katamu?” tanya Keysa yang tak percaya pria yang ia cintai menuduhnya berbohong demi mengemis cinta. “Kamu menginginkan aku tetap bersamamu dengan cara ini kan? Kamu mengaku-ngaku hamil?!” Adam terlihat memandang rendah Keysa. Keysa menggelengkan kepalanya. Ia berjalan mendekat. Wajahnya yang basah karena air hujan menutupi air matanya yang terus mengalir. Kedua mata Keysa menatap lekat bola mata Adam yang kini terasa asing. Tak ada lagi kehangatan dan kedamaian di sana. Entah di mana Adam terdahulu. Waktu empat tahun yang telah mereka lalu bersama, kini hanya akan menjadi kenangan. “Jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan. Baiklah. Yakini hal itu!” ucap Keysa dan kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Adam. Adam memejamkan kedua matanya. Mengusap wajahnya yang basah karena air hujan yang semakin lebat membasahi tanah di permukaan bumi. Ia membalikan badan dan menatap punggung Keysa yang berjalan menjauhinya. Keysa berjalan tegap dan berusaha tegar. Kini tidak ada lagi harapan dan cinta yang ia simpan selama ini. Tidak ada lagi Adam. Keysa memegangi perutnya dan kemudian mengusap wajahnya lagi. “Kamu berbohong Keysa ... Berbohong demi mempertahankan kita,” ucap Adam lirih sambil kedua matanya masih menatap punggung Keysa yang semakin lama semakin manjauh. *** Empat tahun kemudian. Keysa mengusap peluh yang membasahi wajahnya. Hari ini tanggal 14 Febuari. Hari Valentine. Hari kasih sayang yang membuat toko Bunganya laku keras. Beberapa kali ojeg on line, berhenti di kiosnya dan membantu untuk mengantarkan pesanan buket bunga segar pada konsumennya. Keysa menghela nafas lega karena semua pesanan bunganya telah selesai di antarkan ke pemiliknya. Dan ini adalah bunga terakhir yang harus dirakit Keysa untuk menjadi sebuah buket bunga yang indah. “Untuk istriku Desi.” Keysa hendak menulis di sebuah kartu ucapan yang akan disematkan di buket bunga mawar merah yang telah ia rakit. Tangan Keysa yang akan menuliskan nama itu terhenti. Bahkan telapak tangan yang memegang pena itu bergetar. Tatapannya lurus, menerawang. Menatap kertas ucapan yang masih kosong tanpa tulisan. Sepasang mata indah Keysa menatap kembali ke layar laptopnya. Ia membaca kembali pesan chat yang ia sambungkan ke laptop. Keysa membaca nomer telpon si pemesan. Nomer telpon itu asing. “Dari sekian nama orang di muka bumi ini, kenapa aku selalu tertegun ketika membaca nama ini?” tanya Keysa pada dirinya sendiri dan kemudian tertawa. “Desi ...,” guman Keysa sambil tersenyum tipis. Bahkan wajahnya saja aku tidak tahu. Tapi namanya sudah membuat hatiku trauma, lanjut Keysa di dalam hatinya. Keysa menarik nafas panjang dan menghembuskannya cepat. “Bahkan hingga aku pergi meninggalkan Kota itu demi melupakan tiap keping kenangan dan membuang serpihan hati. Rasa perih ini tak akan pernah hilang ...,” gumannya lirih. “Tiiin!” Suara tlakson motor terdengar. Ojeg on line yang sudah dipesan untuk mengantarkan buket bunga yang telah dirangkai dan hias telah tiba. Keysa langsung menitipkan Bunganya pada ojeg on line itu. “Mas ... Titip ya. Jangan sampe rusak. Bawanya hati-hati!” “Siap mbak!” Keysa tersenyum dan kembali ke dalam kiosnya ketika Ojeg on line pengantar bunga dagangannya telah berlalu pergi. “Hufh ....” Keysa mengehela nafas panjang. Ia tersenyum simpul. Menyemangati dirinya sendiri yang hari ini telah lelah bekerja. Harusnya sejak jam empat sore tadi, toko bunganya tutup. Namun karena hari ini banyak pesanan bunga untuk merayakan hari valentine. Keysa sedikit mengulur waktu kerjanya. Keysa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya telah menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. “Haduh ... Pasti Wawa ngguin aku pulang ...,” guman Keysa dan bergegas menutup tokonya. Baru saja Keysa merapikan bunga-bunga di dalam toko dan mengambil tas selempangnya, derap kaki terdengar memasuki toko bunga miliknya. Langkah riang yang sangat di hafal Keysa. “Mama ...!” seru Hawa sambil berlarian ke arah Keysa. Keysa yang sedang mengganti air dari vas besar bunga sedap malam langsung menoleh pada putri semata wayangnya itu. “Wawa ... Bikin kaget mama aja ...,” ucap Keysa sambil memegangi dadanya. Pura-pura terkejut agar Hawa merasa senang. Hawa tertawa riang dan polosnya melihat Keysa yang terkejut dan menampilkan kedua mata membulat. “Mama lama amat dagangnya ...,” ujar putri kecilnya yang masih berusia empat tahun. Keysa tersenyum menatap Hawa. “Mumpung rame sayang ... Ini udah selesai,” katanya sambil mengulurkan tangan dan bergandengan tangan dengan Hawa. “Papa di mana?” tanya Keysa pada Hawa. “Di sana!” seru Hawa sambil menunjuk seorang pria bertubuh tinggi, berhidung mancung dan berkulit sedikit gelap sedang berdiri di depan bemper mobilnya. Ia melambaikan tangannya ke arah Keysa sambil sebelah tangan kirinya memegangi ponsel yang ia arahkan di depan telinganya. Keysa dan Hawa membalas lambaian tangan Hasan. Keysa menatap senyuman Hasan yang selalu nampak tulus padanya. Bahkan bagi Keysa, Hasan adalah orang paling tulus yang ada di muka bumi ini. Hawa melepaskan gandengan tangannya pada Keysa dan berlarian kembali ke arah Hasan, pria yang dipanggilnya Papa. Hasan mengulurkan tangannya pada Hawa dan menggenggam tangan gadis kecil itu. Tak lama Hawa mulai mengganggu Hasan yang sedang berbicara di ponselnya. Hawa merajuk ingin di gendong dan Hasan dengan sabarnya menuruti keinginan gadis kecil itu. Ia menggendong Hawa dengan penuh kasih sayang di tangan kanannya. Tapi fokusnya masih tetap pada ponselnya. “Oke oke ... Aku akan tunggu kedatanganmu besok. Tentu saja aku akan menerimamu di rumahku,” ujar Hasan di telpon. Keysa menunggu Hasan yang serius berbicara di ponselnya. “Baiklah ... Semua itu bisa kita bicarakan besok saat kamu sudah sampai di sini,” ujar Hasan lagi. Ia tersenyum tipis setelahnya dan kemudian tertawa ramah. “Ya sudah kalo begitu. Aku sedang di jalan bersama istri dan anakku, besok pasti kita akan bicarakan lebih rincinya.” “Siapa?” tanya Keysa setelah Hasan menutup panggilan telponnya. “Rekan bisnis. Ada donatur yang akan membeli tiga puluh persen saham di perusahaan kita. Tepat sekali saat aku membutuhkan modal lebih,” jawab Hasan memberitahu. Hasan adalah pengusaha muda di bidang furniture dan kerajinan kayu jati. Bisnisnya mulai berkembang dengan pesat semenjak Hawa lahir dan menjadi cahaya kedua di kehidupannya. Dan kini usahanya membutuhkan modal lebih untuk semakin berkembang. “Maksudmu investor?” tanya Keysa lagi. Hasan menganggukkan kepalanya. “Ya investor. Kenalan dari seorang tamanku. Investor dari kota Jakarta,” jawab Hasan sambil tersenyum. Mendengar kota Jakarta disebut membuat jantung di d**a Keysa berdenyut pilu. “Ayo masuk ke mobil. Nanti restorannya keburu tutup,” kata Hasan berkelakar. “Mana ada restoran tutup sore Papi ...,” sahut Hawa merengut. Hasan langsung tertawa melihat ekspresi putri kecilnya itu. “Hawa mah engga usah dibeliin ....” Keysa menatap menerawang. Ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam bagai raga tak bernyawa. Pikirannya meracau ke mana-mana. Nama kota yang disebut Hasan membuat masa lalu yang lama telah ia kubur jauh di dalam lubuk hatinya paling dalam terasa tergali kembali. “Keysa ....” Suara Hasan membuyarkan lamunannya. Keysa tergagap sambil menoleh. “Hm ...? A-apa?” tanya Keysa sambil mengangkat kedua alisnya ke atas. “Kamu kenapa? Sepertinya ada sesuatu yang kamu pikirkan?” tanya Hasan sambil menyalakan mesin mobil. Keysa menarik ujung bibirnya perlahan agar terlihat tersenyum. “Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya kelelahan. Toko hari ini sangat ramai,” dalihnya menutupi rasa lain di hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD