BAB 5: EDO - MENGALAH DENGAN KETERBATASAN

2439 Words
Bandung, dua tahun sebelumnya. Gue mendaratkan b****g gue di kursi pertama persis di samping pintu kelas, posisi kursi andalan gue sejak masuk di SMA ini. Kaki gue yang lumayan panjang ini gue selonjorin seenaknya sampai melewati batas kaki meja. Lalu jidat gue, gue rebahin di atas meja, sementara jemari di kedua tangan gue interlock tepat di atas kepala. Puyeng! Sumpah gue puyeng! 'tok-tok' 'tok-tok' Ada yang ngetok meja gue. Maleslah! Gue males ngedongak. "Do..." Oh si Kenzo ternyata. "Do, lo molor?" tanya dia lagi. "Henteu. Manehna baru duduk," ujar Ical yang duduk di belakang gue. "WOY! BANGUN!" pekik Kenzo di kuping kiri gue. "Naon?" ketus gue malas-malasan. "Heh! Emang lo ga masukin PMDK sama sekali?" cecar Kenzo tanpa basa basi. Otomatis si Ical dan Hasan yang duduk di belakang gue langsung ikutan nguping. "Ho oh. Gue kira tanggal lima bulan depan, ga taunya tanggal lima kemaren," jawab gue santai sambil nyengir. "Idih! Blegug!" maki Hasan seraya menoyor kepala gue. "Maneh naksir cewe, naha bodo kitu?" Ical ikut-ikutan maki gue. "Lo berdua, bodo!" sulut gue. Asem emang sobat-sobat gue ini. "Sini lo!" ujar Kenzo seraya nyeret gue keluar dari arena tarung. Gue di dorong-dorong sama dia sampe nyudut di kursi di depan ruang OSIS. Syukurnya, itu ruangan lagi kosong. "Lo kenapa sih?" tanya Kenzo lagi. "Kenapa apaan sih? Ga kenapa-napa, sehat!" "Do..." "Hmm?" "Sebentar lagi lo bakal dapet pertanyaan yang sama dari banyak orang. Lo pikir seorang Edo masuk ruang BK ga bakal jadi bahan gosip?" "Bodo amatlah! Pikirin amat!" "Kenapa? Lo ribut sama bokap lo lagi?" "Lagi? Kapan emang gue ribut sama Ayah?" "Justru sesekali lo harus ribut sama bokap lo, Do." "Ah, sesat lo!" "Ya lo ga mau adu bacot sama bokap lo, akhirnya lo yang sesat kan?" sulut Kenzo lagi. "Udahlah Ken. Males gue bahasnya." "Jadi benar, karena Bokap?" Ginilah kalau punya sobat yang hobinya nyecar. Gue korbannya! Buset kalau udah penasaran, bisa-bisa gue digeret ke rumahnya, disekap di kamar dia sampe gue ngaku ada masalah apa. Lebih-lebih dari emak gue kelakuannya. "Hmm..." "And?" "Gue ga boleh milih seni rupa," lirih gue. "Nyokap lo ga bilang apa-apa?" "Ya Bunda kan dari dulu juga gitu. Ga pernah ngelawan Ayah." "Terus?" "Ya udah, ga ada terus-terusan. Males aja gue masukin berkas ke kampus lain." "Tapi lo tetep ikut UMPTN kan?" "Ikutlah." "Mau milih apa lo?" "Yang murah aja." "Do... Serius ini gue." "Gue juga serius, Ken. Kapan sih gue ga serius kalau urusan uang? Lo ngutang gopek aja gue tagih mulu kan?" "Iya sih." Dan lalu Kenzo ngeliatin gue dengan tatapan iba. Udah biasa. Sobat gue yang satu ini udah tau gue luar dalem. Kami bersahabat berempat, dan dari ketiga sobat gue, bisa dibilang Kenzolah yang paling dekat dengan gue. "Mami nyuruh gue buang-buangin sepatu, kebanyakan katanya. Entar pulang sekolah mampir dulu ke rumah gue, lo milih dulu ya? Sebelum gue lungsurin kemana-mana," ujar Kenzo lagi. Gue tau dari tadi dia ngelirik ke sepatu gue yang bentuknya udah naas ini. Warna hitamnya udah bladus, kulit-kulit luarnya udah para ngeletek, solnya jangan ditanya - sangkin tipisnya gue bisa ngerasain kerikil-kerikil kalau gue lagi ngabisin waktu di taman sekolah ini - ya mirip-mirip sendal refleksi deh. Bunda udah berkali-kali nyuruh gue beli sepatu baru, males lah gue, lagian nanggung juga beberapa bulan lagi inshaaAllah gue lulus kok. "Susah amat sih lo jawab!" nah kan si Kenzo ngomel lagi, apa gue kata, lebih-lebihin emak gue! "Iya!" "Edo..." Gue dan Kenzo sama-sama nengok ke arah suara, natap cewek cantik bersurai sebahu yang dia gerai begitu aja. My crush, kalau minjem istilahnya Kenzo. Ya, cuma karena doi salah satu anak pejabat kota ini, gue memilih nyimpen perasaan gue. Walaupun dia mau sama gue, ngebayangin bakalan ngadepin konflik sama keluarganya udah bikin gue ciut duluan. Kata Kenzo, gue cuma kagum dan terbiasa sama cewe ini, bukan cinta. Karena kalau cinta, mau jungkir balik sekalipun bakalan gue jabanin. Gitu emang ya? Tau deh, hidup gue udah terlalu ribet untuk ngurusin cinta-cintaan. "Hai Ge..." sapa gue ramah. "Gue molor dulu ya!" ujar Kenzo seraya berdiri lalu melangkah ninggalin gue berdua Geya. "Awas digigit lo, Ge!" nah kan, s***p emang tuh bocah. "Edo udah makan?" tanya Geya. "Udah." padahal belum. Ilang selera makan gue begitu sebelum istirahat siang ini toanya sekolah nyala dan nyuruh gue datang ke ruang BK. Di salam sana, Pak Syaipul bolak balik ngaduh-ngaduh karena nyayangin gue yang ga masukin berkas PMDK. "Padahal untuk masuk FKUI aja tuh nilai kamu cukup, Do! Kumaha sih kamu! Jadi cuek!" gitu dia bilang. Sayang aja gue ga bawa piring cantik, kalau bawa pasti udah gue kasih secara dia ngucapin kalimat itu udah lebih dari tiga kali. Gue diem aja tadi, ya mau jawab apa juga. FKUI? Hah, yang bener aja Pak, duit dari mana saya kuliah kedokteran, sementara kalau sakit aja Bunda dan Ayah cuma bisa bawa kami ke bidan. Apapun sakitnya, bidan sebelah rumahlah penolongnya. Masih syukur itu ga dibawa ke dukun beranak. "Ini, Geya bawa bola-bola nasi keju. Geya nyoba bikin kemarin di rumah, ternyata ngeunah pisan! Cobain atuh, Do..." Gue senyum. Senyum yang paling manis. Lalu ngambil tissue basah yang juga disodorin Geya, ngelap bersih tangan gue sebelum nyomot bola-bola gemas yang udah nangkring di atas paha gue. "Geya ga makan?" "Iya, makan." Lalu kita makan berdua sampai itu bola-bola abis. Persis banget dah kaya dua sejoli yang baru jadian. Yang lagi sayang-sayangnya gitu. 'Hadeeeh Geya, akang musti gimana atuh?' "Edo..." "Ya?" "Geya mau ngomong sesuatu." "Oh, ngomong aja Ge! Aku makannya banyak ya?" Geya malah tertawa geli. "Bukan." "Apa dong?" "Janji dulu..." "Janji?" Geya ngangguk. Imut banget. Pengen banget dah gue dekap ini cewe. "Edo jangan berubah sama Geya ya setelah dengar apa yang mau Geya bilang." "Kok gitu?" "Janji dulu..." Gue mandangin dia. Kok perasaan gue ga enak ya. Tapi ngeliat syahdunya tatapan dia, gue milih ngangguk aja, iyain apapun yang dia minta. "Edo..." dia mulai ngelirihin nama gue. "Geya... Sayang Edo..." 'Allahu akbar!' Beku gue. 'Ini gue salah dengar ga sih?' "Edo..." Gue ga sanggup buat ngomong apapun saat ini. Perut gue ngilu. Jantung gue deg-degan parah. "Edo..." lirih Geya lagi seraya mengguncang-guncang tangan gue. "Ge..." "Edo marah ya?" "Ge... Kamu sakit?" Geya nunduk. 'Dasar mulut sialan! Si b**o!' omel gue sama diri sendiri. "Maaf Ge... Apa aku yang sakit ya? Kamu salah ngomong, Ge?" 'Tuh kan, biadab banget emang mulut gue!' "Geya serius Edo..." "Sebagai sahabat kan?" Geya geleng-geleng. 'Nah lo!' "Terus?" "I have a crush on you." "Ya Allah..." lirih gue. "Maaf Edo..." Gue ngatur nafas gue beberapa saat. Gue beneran bingung banget kenapa justru gue panik saat gue dengar kalimat yang begitu gue tunggu selama ini. "Geya..." "Ya?" "Maaf, Edo ga bisa..." Geya diam sesaat, cuma mandangin gue. Kedua manik mata cantiknya mulai berkabut. "Maaf Geya..." lirih gue lagi. "Kenapa?" tanyanya. Air mata mulai turun ke wajah cantik dia. Gue paham, apapun alasannya cuma akan terdengar sebagai alasan pembenaran buat gue menolak dia. Jadi, lebih baik gue jawab dengan aman, lebih baik gue ga ngasih dia harapan apa-apa. Gue ga mau dia malu jadi cewe gue. "Edo juga sayang Geya. Tapi sebagai sahabat aja," jawab gue lembut tapi tegas. Geya menghapus air matanya. Maksain senyumnya ke gue. "Itu aja Edo?" "Iya. Itu aja." "Bukan karena hal lain?" Gue tau dia mau mancing gue apa gue ga mau jadian sama dia karena gue minder. "Ga ada. Cuma itu." Geya ngangguk-ngangguk. Dan di saat yang sama bel tanda usai istirahat pun berbunyi. "Ya udah, Geya balik ke kelas ya..." "Ge..." "Apa?" "Ga apa-apa kalau Geya mau marah sama Edo." "Ngga. Geya ga marah. Itu hak Edo untuk punya perasaan sama Geya atau ngga. Sama seperti Geya, Geya berhak untuk sayang sama Edo." Gue diam. Ga ada yang salah dari omongan Geya, yang ada cuma gue yang ngerasa tiba-tiba ada luka di hati gue, perih, setiap ucapan manis Geya seolah perasan jeruk nipis yang disiram ke atas luka gue. "Bye, Edo..." ujarnya lembut dengan senyum semanis madu. "Hmm... Bye, Ge. Makasih makan siangnya." Geya ngangguk, lalu berbalik dan ninggalin gue yang sibuk nahan sesak. *** "Assalammu'alaikum..." ucap gue begitu buka pintu rumah gue. Hari ini gue sampai rumah habis isya. Tadi pas sampai di rumah Kenzo, ternyata rumahnya kosong, cuma ada Bi Atik yang lagi asik nonton telenovela. Berhubung gue cape banget, gue baca-baca deh tuh catetan bimbelnya si Kenzo sambil gegoleran di atas kasurnya yang katanya kualitasnya sama dengan kasur-kasur di hotel bintang lima. Ya mana gue tau, boro-boro bintang lima, hotel melati aja belum pernah gue rasain gimana rasa kasurnya. Ngaco emang tuh bocah! Nah, karena asiknya gegoleran, gue pules kan tuh sampe adzan magrib berkumandang. Setelah shalat magrib, nyokap dan bokapnya Kenzo pulang, ga mungkin kan gue langsung cabut. Jadilah tepat jam tujuh lewat empat puluh lima menit gue baru jejakkin kaki di rumah gue lagi. Gue lihat Ayah lagi asik duduk di depan televisi tabung yang sering banget kita gebukin pas dia ga mau ngeluarin gambar. Herannya, Ayah bengong doang, ga jawab salam gue. Gue ga berani tuh ganggu kalau Ayah lagi pias begitu. Gue lanjut aja ngelangkah masuk ke dapur, nyari Bunda yang udah pasti banget di sana. Begitu sosok perempuan tercantik di dunia ini gue lihat, gue langsung peluk dari belakang. "Ih jorok! Mandi dulu sana A!" "Ga ada yang jawab salam Aa'," rengek gue. "Ya Allah... Wa'alaikumsalam kasep..." "Ayah kenapa Bunda?" "Kita makan dulu, habis itu kita ngobrol sama Ayah ya?" Perasaan gue langsung ga enak. Gue tau, pasti ada yang ga beres. "Gih, mandi dulu." "Iya Bunda." Gue beranjak pergi ke kamar, ngambil baju ganti dan handuk lalu balik lagi ke bagian belakang rumah untuk membersihkan diri. Pikiran gue kacau. Kacau karena pernyataan cintanya Geya siang tadi, ditambah kekhawatiran tentang apapun yang dialami Ayah. Gue memang ga seakrab itu sama Ayah. Tapi gue tau, beliau bangga dan sayang luar biasa sama gue. Beliau pengen hidup gue ga sesuram beliau. Kata Ayah, bisa hidup tanpa hutang aja udah syukur banget. Dan itu salah satu hal yang gue kagumin dari Ayah. Pernah satu ketika Ayas sakit, usus buntunya harus dibuang. Ayah yang waktu itu ga pegang uang lebih, langsung bawa motor satu-satunya ke rumah pak lurah, bukannya dijadiin jaminan - melainkan untuk dia jual. Semuanya demi keluarga, dan demi ga punya hutang. Beliau segitu takutnya tiba-tiba mati dan anak isterinya kewalahan bayarin hutang gara-gara dia. Jadi, kalau Ayah minta gue untuk ngorbanin impian gue, itu ga seberapa dibandingkan banyaknya impian Ayah yang kandas karena keterbatasan. "Alhamdulillah," ucap syukur Bunda saat bobor bayam liar dan perkedel tahu di atas meja makan yang udah reot ini habis. "Enak banget Bunda," puji gue seraya tersenyum. "Bisa aja si Aa'!" ujar emak gue malu-malu kucing. Kucing aja ga pernah malu. "Ayas, Ayu dan Alin masuk kamar ya. Belajar," titah Ayah. Ga pakai banyak cincong, ketiga adik gue itu langsung ngeluyur pergi ke kamar masing-masing setelah selesai nyuci piring bekas makan. "A..." lirih Ayah lagi. "Kenapa Yah?" "Gimana PMDK-mu?" "Belum pengumuman, Yah." Ga bohong kan gue? Walaupun ga jujur juga. "PMDK apa yang kamu ambil, nak?" "UI." Kali ini gue bohong. "Apa nanti di sana Aa' bisa dapat beasiswa juga seperti di sekolah Aa' sekarang?" tanya Ayah lagi. Gue udah bisa nebak kemana alurnya. "Ada apa Yah?" "Ayah dipecat," lirihnya pilu. Gue terdiam. Kaget. Gue pikir Ayah mau bilang kalau biaya kuliah gue nanti mahal, Ayah mungkin ga bisa nanggung full, jadi gue harus siap-siap cari beasiswa atau kerja sampingan. Ternyata, justru lebih buruk dari dugaan gue. "Oh. Terus gimana, Yah?" Beda sama Bunda yang pasti nanya kenapa ini kenapa itu, kalau gue dan Ayah ngobrol pasti langsung nyari solusi. Gimana dan langkah apa yang harus ditempuh. "Tadi Ayah ngobrol sama Pak Lurah, katanya pabrik coklat yang baru buka itu lagi mau nambah buruh. Ayah mau coba lamar ke sana. Tapi, gajinya pasti ga sebesar gaji Ayah sebelumnya." Gue maksain senyum gue. Kasian sama Ayah kalau gue ikutan panik. Kebayang banget sama gue, untuk menuhin kebutuhan kami sekeluarga aja gaji Ayah sebagai supir pribadi ga cukup, makanya Bunda buka warung makan kecil di depan rumah. Gimana sekarang begitu Ayah dipecat dan harus nyari kerja lagi. Kerjaan di depan mata yang diharapkanpun hanya menawarkan gaji setengah dari gaji Ayah sebelumnya. Mentok-mentoknya paling sembilan ratus kata Ayah. Ga sampe sejuta acan. Kenapa ya hidup keluarga gue gini banget? "A?" panggil Ayah lagi. Ketauan pasti gue tadi ngelamun. "Iya Yah?" "Rencana kamu gimana?" "Kayanya Aa' bakalan ikut UMPTN aja Yah. Ngarepin PMDK kayanya susah, terlalu banyak saingannya." "Rencana kamu dimana?" Gue menjawab sesuai penelitian gue tentang kampus-kampus negeri di negara ini. "IPB mungkin, Yah." "ITB?" "IPB, Yah. Pakai P." "Di mana itu, A?" "Bogor, Yah." "Kenapa ga di ITB?" "Takut ga sanggup otak Aa'." "Oh..." Kayanya Bokap gue lagi malas ngedebat. "Ya nanti kan pas UMPTN ada dua pilihan, mungkin Aa ngambil ITB juga di pilihan pertama." Bokap gue senyum. Bukan karena nama ITB-nya. Tapi karena kalau gue ambil ITB artinya gue ga kemana-mana. Sesimple itu sih. Kalau bisa yang dekat-dekat ngapain jauh-jauh. Pasti kan itu isi hati terdalam orang tua ke anak-anaknya? "Tapi, kalau ga lolos di ITB, Ayah jangan kecewa ya?" "Ngga A. Ayah tau Aa' udah berusaha maksimal." Sekarang giliran gue yang senyum. "Di IPB biaya kuliahnya mahal A?" "Kemarin pas ada pameran kampus di sekolah, Aa' tanya ke Kang Abdi, kakak kelas Aa', ga semahal kampus yang lain sih Yah. Angkatan Kang Abdi masih 400 ribuan per semester." "Oh... Beda berapa tahun sama Aa'?" "Dua tahun di atas Aa', Yah." "Sekarang pun ga sampe sejuta per semester kali ya A?" "Mudah-mudahan ngga, Yah." Ya Allah, ngilu banget hati gue. Segitu cemasnya bokap gue mikirin biaya kuliah gue. "Ayah, udah tenang aja. Di IPB banyak beasiswa. Banyak banget. Nanti kalau masuk sana Aa' pasti ngajuin beasiswa. Aa' juga bisa nyari-nyari kerjaan sampingan buat makan sehari-hari. Ayah ga usah khawatir. Aa' ini anak laki." "Mana bisa Ayah ga khawatir?" lirih Ayah lagi. "Ayah tenang aja. Percaya sama Aa'. Inshaa Allah, Aa' mampu, Aa' bisa ngangkat derajat Ayah dan Bunda." Bokap gue diam. Kedua netranya kelihatan tergenang air mata. Ia lalu narik napas panjang, mungkin berusaha menguasai emosinya. Ya emang gitu kan harusnya? Yang gue bilang ga salah kan? Kita ga bisa milih lahir di keluarga yang seperti apa. Tapi impian kita, kita sendiri yang harus berusaha meraihnya. Dan impian gue saat ini, bisa ngangkat derajat kedua orang tua gue. Itu aja. Akhirnya Bokap gue mengulurkan tangannya. Menggenggam kedua tangan gue yang sedari tadi terulur di atas meja. Ayah ga bilang apa-apa, cuma natap kedua tangan gue yang digenggamnya. Habis itu, beliau menepuk pelan tangan gue seraya berdiri dari kursinya. Berbalik dan melangkah menjauh meninggalkan gue dan Bunda yang sama-sama sunyi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD