PROLOG: TAK LAGI SAMA

755 Words
Bandung, 2007. “Terserah! Terserah Hana mau menilai Edo seperti apa! Toh Edo jelasin kayak apapun Hana tetap aja ga akan percaya!” Sudah satu bulan belakangan, aku seolah menjalin hubungan dengan orang yang berbeda. Kekasihku yang kukenal adalah orang yang begitu penyabar. Empat tahun kami merajut cinta dan asa bersama, tak pernah sekalipun ia menghardikku dengan kegeramannya. Ia yang akan selalu mencari cara agar bicara denganku penuh kelembutan. Namun kali ini... Ia tak lagi sama. “Edo... Hana cuma nanya...” lirihku, pedih. “Nanya? Kayak gitu Hana bilang nanya? Sangkin seringnya Hana berasumsi Edo selingkuh di sini makanya Hana sampai ga bisa bedain mana yang nanya dan mana yang nuduh!” Cecarannya begitu menusuk hatiku. Ia bahkan nyaris memekik. ‘Tuhan, di mana Edoku yang dulu?’ “Terus Hana harus gimana? Diam aja saat kabar-kabar miring kayak begitu Hana baca atau Hana dengar? Bahkan nanya pun Hana ga boleh?” “Kan Edo udah bilang Na... Alana itu anak orang besar di sini. Dan sejak kolaborasi kami, orang jadi banyak yang ngenal kami berdua. Banyak yang penasaran sama Alana, dan Edo jadi ikut keseret. Edo harus jelasin kayak apa lagi sih Na? Kenapa tiap kita telponan ujung-ujungnya pasti Hana nanya; apa benar Edo ga ada rasa sama sekali ke Alana? Sekarang Edo yang balik nanya, kalau Edo yang nanya begitu ke Hana, Hana marah ga?” “Hana ga dekat sama cowok manapun!” ketusku, kesal. “Oh ya? Terus Ivan siapa? Setan? Jin? Demit? Iblis? Atau apa? Jawab!” “Edo!” “Hana minta Edo jaga jarak sama Alana, sementara Hana boleh dekat-dekat sama Ivan? Begitu maksud Hana? Hana nuduh Edo selingkuh sama Alana, terus Hana dan Ivan itu apa? Apa Hana ga ngerasa keterlaluan? Coba Hana pikir, apa pernah Edo nuduh Hana selingkuh sama Ivan? Apa pernah, Na?” Aku terdiam. Kelu. Malas rasanya terus menerus menjelaskan hal yang sama. “Apa bedanya situasi kita? Sama aja kan, Na?” “Edo boleh tanya semua orang di sini; apa Hana punya hubungan sama Bang Ivan? Ngga Do! Semuanya pasti akan jawab kalau Hana ga ada apa-apa sama dia! Kami hanya rekan kerja! Edo satu-satunya yang Hana cinta, yang Hana sayang!” “Jadi karena di sini ga ada yang bisa mata-matain Edo makanya Hana teruuus aja nuduh Edo selingkuh?” Rasanya sesak sekali. Dan belakangan pun air mata ini nyaris kerap menetes setiap hari. Apa yang menyebabkannya menjadi sepemarah ini? Kenapa kami berdua begitu mudah terpancing dan kehilangan kesabaran? “Edo di sini kerja, Na! Kerja! Dari matahari belum muncul sampai matahari menghilang lagi Edo masih kerja! Dan Hana nanya Edo ngapain sama Alana di foto itu? KERJA! Edo kerja, Na...” Tangis dan isaknya menyapa pendengaranku. Aku bungkam karena pekikannya tadi. Perih. Begitu sakit rasanya mempertahankan hubungan ini. Kami tak tahu di mana yang salah. Namun segalanya menjadi begitu kusut hingga untuk mencari pangkal permasalahanpun kami kehilangan akal. Aku mencintainya, sampai detik ini. Sayangnya aku kehilangan kepercayaan diri jika ia pun masih mencintaiku. “Edo kerja buat Hana... Buat Hana, Na... Edo pun capek, Na... Edo pengen sama Hana terus. Tapi Edo cuma akan buat Hana malu kalau Edo belum jadi siapa-siapa dan berani meminta Hana. Hana mungkin ga masalah dengan omongan keluarga Hana yang terus aja menghina Edo dan keluarga Edo, tapi Edo ga bisa ngebiarin orang-orang yang Edo cintai terhina. Termasuk Hana.” “Edo...” Selalu kembali ke titik ini. Kasta. Ia yang orang biasa, dan aku yang berasal dari keluarga terpandang. Ia sang seniman jalanan, dan aku sang Tuan Putri. Ia yang terus memaksa mensejajarkan diri, dan aku yang hanya perlu menunggu. Di luar semua omongan keji yang tertuju pada kami berdua, bukankah itu berarti, keberadaanku hanya menjadi beban untuknya? “Hana please...” “Edo... Kita...” “Hana... Jangan sayang, Edo mohon...” “Kita harus mikirin lagi hubungan ini, Do...” Edo terdiam di sana. Hanya isaknya yang masih kudengar jelas. “Hana ga kuat, Do...” Pecah sudah tangisku. Aku sungguh kelelahan. Hubungan ini kian menyiksa untuk kami berdua. “Kita... Pi-sah dulu... Sampai Edo pulang, kalau kita masih sama-sama sayang, ayo kita bicarain lagi...” ‘PRANG!’ Suara dentuman barang pecah belah yang menghantam benda keras terdengar jelas. Bahkan serpihan kaca yang beradu dengan permukaan lantai masih tajam menyapa telingaku. ‘brugh!’ “Hana...” Suara rintihan itu terdengar begitu jauh. Namun setelahnya, hanya hening... Sambungan kami terputus begitu saja. Dan hari itu, adalah hari di mana terakhir kali aku mendengar suaranya untuk waktu yang cukup lama. “Edo...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD