BAB 1: EDO - LELAH

1224 Words
Hari ini, tepat dua bulan sejak pertengkaran gue dan Hana. Ayah mendorong kursi roda yang gue duduki. Sementara di sisi samping ada Hasan, sahabat gue yang berhasil mengikuti jejak orang tuanya menjadi seorang dokter, mendorong troli yang membawa koper kami bertiga. Begitu memasuki ruang tunggu keberangkatan, Kenzo dan Geya, suami istri yang keduanya juga tak lain tak bukan adalah salah dua dari keempat sahabat gue, melambaikan tangan di depan sana. Gue tersenyum haru melihat perut Geya yang sudah membesar. Hari ini, hari yang sama mereka akan kembali ke Indonesia. Begitu jarak kami terpapas, gue berdiri, langsung disambut pelukan Kenzo. Tangis gue pun pecah. Mungkin berkali-kalipun gue meneteskan air mata, rasanya tetap saja sesak ini tak jua hilang. Gue duduk di antara Kenzo dan Geya, sementara Ayah dan Hasan mengambil tempat yang berhadapan dengan kami. “Masih pusing banget, Do?” tanya Kenzo. Gue mengangguk, memaksakan senyum. “Ge...” lirih gue setelah menolehkan pandangan ke sahabat gue yang pipinya terlihat membulat itu. “Kenapa?” “Gue pengen pegang boleh?” Geya menggenggam tangan kanan gue, membawa ke perutnya. “Kenalin ya sayang... Ini Om Edo,” lirih Geya. Bayi mungil di dalam sana memberikan hentakan, entah ia menendang, menyikut, atau bahkan menari di dalam rahim sang Ibu. Air mata gue kembali menetes. Belakangan gue seringkali kewalahan dengan emosi gue sendiri. Sebelumnya gue jadi mudah marah, namun sekarang, gue justru mudah menangis. “Jadi, lo berapa lama di Bandung?” “Dokter masih ngasih keterangan butuh istirahat selama dua minggu. Abis itu gue udah harus di Singapura lagi karena harus kontrol.” “Edo...” “Jangan bilang Hana ya Ge kalau gue pulang dalam kondisi begini.” “Edo, lo harus nyelesaiin masalah lo dan Hana.” “Iya, gue juga bakalan nemuin Hana. Tapi tolong biarin gue aja yang langsung muncul di depan dia.” “Lo masih marah sama Hana?” “Ngga, Ge...” “Udah pernah kontak-kontakan sama Bang Dirga?” Gue mengangguk, lesu. Mata gue kembali memanas, mengingat keluarga yang begitu gue sayangi. Dan mungkin, gue ga akan pernah jadi bagian dari mereka. “Kata Bang Dirga, lo ga pernah ngangkat telpon, Do?” Kenzo membuka suara, membongkar kebohongan gue. “Gue kirim message kalau gue ga bisa jenguk Abang ke London.” “Do...” “Lo bilang gue sakit?” Kenzo mengangguk, air matanya turut menetes. “Harusnya lo jangan bilang, Ken.” “Bang Dirga tuh sayang sama lo, Do. Lo ga bisa dihubungi udah cukup buat dia nebak kalau lo kenapa-kenapa. Dan waktu gue jenguk ke London, gue ga bisa nutupin apapun dari Abang.” “Berarti Hana tau?” “Ngga. Abang bilang dia ga akan ngomong ke Hana sebelum lo sendiri yang ngijinin dia nyampein ke Hana. Lagipula kalian harus ngelurusin semua kesalah pahaman ini.” “Hana ga perlu tau!” ujar gue, geram. Kedua tangan gue mengepal erat, menahan gejolak emosi. Sementara Kenzo, Geya, Hasan dan Ayah mendengus lelah. Tangan kanan gue merogoh saku, mengambil plastik yang selalu gue bawa kemanapun. Lalu memuntahkan isi perut gue di sana. Selalu seperti ini. Setiap kali pikiran gue kalut, rasa mual yang tak tertahan langsung menyerang tanpa ampun. Hasan berdiri dari tempatnya duduk, bertukar tempat dengan Kenzo. Mengamati dan memastikan keadaan gue aman untuk perjalanan menuju tanah air. Panggilan dari maskapai yang akan membawa kami pun terdengar. Gue kembali duduk di atas kursi roda. Hasan membawa gue untuk melapor lebih dulu, menunjukkan surat ijin terbang milik gue dan keberadaannya sebagai Dokter yang mendampingi. Begitu surat ijin itu ditanda tangani pihak maskapai yang menjaga gate, kami berlima melangkah bersama ke dalam pesawat. Jantung gue berdegup kencang. Jemari kanan gue menusap sebuah cincin yang terpasang di kelingking kiri, cincin yang gue harap bisa gue pasangkan di jari manis Hana saat kepulangan gue kali ini. Gue mencintainya, sangat mencintainya. Entah apa yang akan gue lakukan kalau gue kehilangan dia. Dia semangat gue. Dia satu-satunya perempuan yang gue inginkan menjadi pendamping di masa depan gue. Bahkan dia yang selalu terbayang di ingatan saat kematian membayangi gue dua minggu lalu. ‘Hana... Edo pulang, sayang...’ Ayah menggenggam erat tangan gue, satu tangannya yang lain mengusap kedua pipi gue. Bahkan gue ga sadar kalau gue sudah menangis lagi. ‘Ya Allah, hamba lelah...’ “Kuat ya A,” lirih Ayah. Gue mengangguk, tersenyum kaku. “Mau muntah lagi teu?” “Henteu, Yah.” “Maafin Ayah ya A...” “Kenapa Ayah minta maaf?” “Karena Ayah, Aa’ jadi begini. Bersusah payah buat keluarga.” Gue ga menjawab. Mungkin karena memang gue sedang merasa begitu lelah. Gue hanya memberikan senyum pada Ayah, lalu membawa tangannya yang masih menggenggam tangan gue, meletakkannya di kening gue. Gue ga mengeluhkan karena gue harus jadi tulang punggung keluarga. Gue pun ga mengeluh dengan penyakit yang membuat gue harus mawas diri setidaknya selama satu tahun ke depan. Tapi kalau masih boleh gue meminta sesuatu, bisakah gue meminta Hana untuk gue? “Apa Anda membutuhkan bantuan Psikiater?” “Maksud Anda apa Dok?” “Sejak kita menyelesaikan terapi penyakit Anda, sudah sepuluh hari tekanan di kepala Anda masih tinggi. Padahal pemeriksaan lab terakhir hasilnya sudah negatif dari infeksi.” Gue menutup kedua mata gue. Berusaha melupakan asumsi yang dikemukanan Dokter Spesialis Saraf yang merawat gue selama di rumah sakit. Tak ada yang salah dari perkataannya. Bahkan saat Dokter menyatakan kondisi kritis gue sudah lewat, dan Kak Luna menceritakan kecelakaan yang menimpa Bang Dirga, ditambah gue sadar sepenuhnya jika Hana sudah meninggalkan gue, di saat itu sempat terbersit; kenapa Allah ga mengambil aja nyawa gue? Sekitar dua jam kemudian pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Udara Soekarno-Hatta. Hasan berdiri di samping kursi gue, memeriksa kondisi gue terlebih dulu. “Do? Naon atuh?” “Ayo,” lirih gue. “Mau muntah?” tanya Hasan lagi. “Ayo,” jawab gue lagi. Hasan sepertinya paham, bahkan gue ga sanggup untuk berpindah dari tempat gue duduk. Dia merendah di depan gue, melingkarkan kedua tangan gue di leher dia, lalu menyokong penuh, membantu gue berdiri dan pindah ke kursi roda. Setelahnya yang gue dengar hanya percakapan Ayah, Hasan, Kenzo, Geya dan beberapa orang team maskapai. Namun gue udah ga mampu berkonsentrasi tentang apa yang mereka bicarakan. Hasan gegas mendorong kursi, langkahnya terasa cepat. Lalu beberapa saat kemudian ia berhenti, berganti posisi dengan Ayah yang memeluk gue erat. “Kuat ya A... Kita pulang, Nak,” tangis Ayah. “Pusing, Yah...” lirih gue. Ayah mengusapkan lagi tangannya di wajah gue, mungkin tanpa gue sadari gue sudah menangis lagi. ‘Ya Allah... Sakit...’ “KEN! GENDONG WAE GEURA!” pekik Hasan. Kenzo mendekati kursi roda gue, meminta Ayah membantu meletakkan gue di punggungnya. “Kuat teu Ken?” tanya Ayah. “Kuat, Yah! Tenang wae!” Beberapa saat kemudian gue sudah berada di gendongan Kenzo. “Kemana nih gue?” tanya Kenzo lagi. “Terus aja. Papi udah nunggu habis imigrasi. Udah ada brankar.” Gue udah ga sanggup membuka mata gue, nyeri hebat di kepala seolah menenggelamkan gue hidup-hidup. “Edo... Edo, ini Papi, Nak.” Suara Ayah Hasan menyapa pendengaran gue begitu gue dibaringkan di atas brankar. “Pi...” “Bisa buka mata, Nak?” Gue menurut, membuka kedua mata gue perlahan. Namun... “Edo?” “Pi...” “Edo kenapa, Nak?” “Papi... Edo ga bisa lihat...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD