BAB 3: HANNAH - PENGHAKIMAN

1533 Words
'prang!’ “HANA!” pekik Mama. Mug yang kugenggam terlepas begitu saja. Tanganku sendiri naik ke d**a, mencengkram blouse yang kugunakan. Sudah dua bulan terakhir, rasa nyeri kerap kali kurasa. Papa dan Mama sampai membawaaku ke Dokter Spesialis Jantung, namun semua hasil pemeriksaan normal, nihil gangguan. Kakak iparku sendiri yang berprofesi sebagai seorang psikiater sempat mengatakan pada Mama dan Papa jika yang aku alami adalah gangguan psikologis. Namun sejauh apa gangguan itu menggerogoti pikiranku, harus aku sendiri yang membukanya. Kak April bilang, walaupun ia seorang dokter yang menangani gangguan kejiwaan, ia tak akan bisa membantuku jika aku sendiri tak mau membuka diri. “Kenapa Ma?” tanya Papa panik. Aku masih di pelukan Mama. Pecahan keramik ada di sekitar kami. Posisiku belum berubah sedari tadi. Aku... merindukannya. ‘Edo...’ “Hana, maaf sayang. Bukan Papa tidak menghormati privasimu. Tapi keadaan seperti ini jika dibiarkan bisa membuatmu sakit, Nak,” lirih beliau. Aku masih diam saja, bukan karena aku tak ingin bercerita, aku tak tahu harus memulai dari mana. Aku yang mengakhiri hubungan kami, namun aku pula yang menyesalinya. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi. Edo bukan seseorang yang akan menghardikku di setiap waktu kebersamaan kami. Aku yakin ia punya alasannya sendiri. Namun kini, bahkan sekedar keberanian untuk menyapanya pun aku tak punya, terlebih bertanya. Papa membawaku. Bang Ivan dan beberapa teman dekatku yang datang hari ini hanya terdiam saat aku muncul di ruang keluarga kami. Bahkan Geya yang kehadirannya selalu mengingatkanku pada Edo hanya menatapku nanar. Aku hancur, dan tak tahu bagaimana harus memperbaiki kekacauan yang sudah kubuat. “Bang Ivan, Hana ikut Papa sebentar ya? Nanti Hana balik lagi. Ga lama kok.” “Iya, Na.” “Geya, Kenzo kapan jemput lo?” “Abis ashar katanya, Na.” “Lo ke kamar gue aja ya kalau capek, jangan pulang ya Ge? Gue ga lama-lama kok.” “Iya, Na. Tenang aja.” “Diani, Manda, lo juga!” Kedua sahabatku itu hanya mengangguk. “Nanti kalau Nindya datang suruh tunggu juga.” “Iya, Na. Kita nungguin lo balik kok,” ujar Manda. Sejak perasaan aneh yang kerap muncul ini hadir, aku selalu berusaha ada di sekitar orang-orang terdekatku. Setidaknya saat bersama mereka, aku tak akan tenggelam dalam lamunan liarku sendiri. Aku hanya pergi berdua dengan Papa. Sepanjang jalan Papa menggenggam tanganku. Sesak. Sudah dua bulan, dan bukannya membaik, justru rasanya kian memburuk. “Pa...” “Kenapa sayang?” “Bang Dirga ga apa-apa kan?” “Iya, Abang udah better kok. Banyak yang ngawasin Abang di London.” Aku menganggukkan kepala, tersenyum kaku pada Ayahku. “Adek ga mau cerita sama Papa?” Aku memalingkan pandanganku, menatap lurus ke depan. Papa, Mama dan saudara-saudaraku tahu betul jika aku bukanlah seseorang yang terbuka. Aku cenderung menyimpan masalahku sendiri. “Apa ini soal Edo, Nak?” tanya Papa lagi, nada suaranya terdengar begitu lembut. Pertanyaan itu tak kuasa kujawab. Aku justru meneteskan air mataku. Mencengkram blouse di dadaku kembali. Sesak. Sakit rasanya setiap kali aku kembali teringat perpisahan kami. “Hana... Sayang...” “Hana... Hana mutusin Edo, Pa...” Hening. Tak ada suara sama sekali. Papa memilih diam. Entah apa yang ada di pikirannya. Sementara aku memalingkan wajah, menatap jalanan yang kini basah diterpa hujan, orang-orang berlari dan para pengendara motor berhenti di tepi jalan guna mencari atap untuk berteduh. Edo sangat menyukai hujan, dan aku tertular olehnya. Kami berdua tak seperti orang-orang itu. Jika hujan turun, kami justru dengan senang hati bermain di bawah rintiknya. “Ada yang bisa Papa bantu, Nak?” tanya Papa kemudian. Aku menggelengkan kepalaku. Menjawab sunyi. “Sejak kapan Hana?” “Dua bulan lalu, Pa. Seminggu sebelum kecelakaan Abang.” “Jadi karena itu Edo ga menghubungi kita sama sekali? Ayah dan Bundanya masih menghubungi Papa dan Mama. Bahkan Nu Kaseps dan Geya. Tapi Edo tidak sama sekali. Itu karena kalian berpisah?” Air mataku kembali menggenang. “Hana ga tau, Pa,” jawabku, tercekat. “Apa karena pelukis yang berkolaborasi dengan dia? Edo memilih dia dan meninggalkan putri Papa? Bahkan saat Abangmu bertaruh nyawa ia sampai tak sempat menghubungi Papa sekedar untuk bertanya? Sejak kapan dia jadi sebajingan itu?” Lagi, aku menggeleng. Mungkin inilah titip puncaknya. Waktu di mana bahkan keluargakupun mulai menyangsikannya. “Hana!” “Bukan Pa! Hana yakin bukan itu!” “Nak, Papa berusaha untuk tidak mendengarkan ocehan orang lain. Termasuk keluarga besar kita. Papa paham perasaanmu pada Edo. Dan sejauh ini Papa pun menyayanginya. Tapi kalau sampai dia menyianyiakanmu demi perempuan lain, Papa tidak terima Hana!” “Papa...” “Papa tau kita tidak boleh mengungkit yang sudah terjadi. Tapi kita sekeluarga sudah menyokongnya selama ini. Ari membuat lukisannya banyak di kenal orang, Nisa membantu Edo mendapatkan pekerjaanya sekarang, Dirga dan Irgi tak henti memberi support baik itu semangat ataupun dana untuk keluarganya. Papa paham Edo ga pernah meminta, Nak. But we did it! Karena kami menyanginya, dan kami paham perasaanmu pada Edo. Dan sekarang dia menyia-nyiakan putri Papa? Jangan berusaha melindunginya, Hana! Papa bunuh dia sekarang juga jika dia mengkhianatimu!” *** Papa baru saja selesai memarkir MPV kami, dan aku baru saja terbangun. Usai dengan sesi konsultasi bersama seorang psikiater tadi, kami langsung bergerak pulang karena Mama mengabari jika ada beberapa keluarga yang berkunjung. Ingin rasanya aku tak ikut pulang, tapi melihat diamnya Papa sejak aku menceritakan usainya hubunganku dengan Edo, aku benar-benar tak berani berucap sepatah katapun lagi. “Masih sama Edo kamu, Na?” tanya Tante Adira, salah seorang sepupu Papa. Seorang perempuan di barisan orang tua yang sangat kuhindari. Bukan karena aku tak menghormatinya, tetapi kalimat-kalimatnya yang seringkali menusuk dan manipulatif bisa membuat orang yang mendengar kehilangan akal sehat dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Namun di tengah kunjungan keluarga besar seperti ini, apa mungkin aku menghindar? Abang keduaku mengalami kecelakaan di London. Nyawanya nyaris tak tertolong. Karena kondisinya, juga serangkaian pemeriksaan lanjutan dan terapi yang masih harus dilakukan pasca kecelakaan, Bang Dirga tidak bisa kami bawa pulang ke Indonesia. Mungkin sama seperti keluarga besar lainnya, saat satu keluarga mengalami musibah, kerabat dan keluarga yang lain akan datang berkunjung, menunjukkan empati dan simpati mereka. Hal ini pula yang dilakukan keluarga Tante Adira dan sepupu Papa lainnya yang datang hari ini. Aku diam saja, enggan menjawab pertanyaan beliau. “Heran! Betah banget punya cowok yang ga jelas bibit, bobot, dan bebetnya begitu,” nyinyirnya lagi. “Na, dengar! Kamu itu lahir di keluarga terhormat! Papamu Dokter ternama, begitupun Irgi, Nisa bahkan iparmu April dan Ari. Belum lagi Dirga yang namanya sekarang sering muncul sebagai salah satu arsitek, negosiator bisnis dan pengusaha muda terbaik. Apa ga bikin malu mereka kalau kamu terus aja ngotot pertahanin hubunganmu dengan pengamen ga jelas itu?” Tante Adira bicara dengan lemah lembut, namun setiap penekanan di kata-katanya membuat siapapun yang mendengar akan mengasumsikan betapa durhakanya aku sebagai seorang putri keluarga Pranata. Seolah aku tak memikirkan posisi keluargaku jika aku mempertahankan hubunganku dengan Edo. Yah, walaupun ujung-ujungnya tali kasih kami pupus jua. Keempat sahabatku dan Bang Ivan yang masih berada di sini, terdiam, kelu. “Coba kamu pikir, satu hari nanti, ada kolega Papamu yang nanya apa pekerjaan besannya? Apa ga malu beliau, Na?” Aku masih memilih diam. Tak ingin menjawab semua tuduhan-tuduhan tanpa alasan itu. Nyeri sekali rasanya hati ini. “Kamu itu cantik, pintar. Dan perlu digaris bawahi, berasal dari keluarga ternama dan terhormat. Levelmu dan si Edo itu kayak langit dan bumi. Mikir, Na. Papa dan Mamamu mungkin ga ngomong sama kamu karena khawatir putri kesayangannya sedih berlarut-larut, makanya Tante aja yang ngomong biar pikiranmu kebuka. Cari cowok tuh yang model Ari, keluarganya terpandang, mapan, sejajar dengan Pranata. Jangan bikin malu keluarga apalagi orang tua, Na!” “Tante...” “Udah! Jangan ngebantah! Begini nih kalau punya hubungan sama orang susah dan ga selevel. Keras kepala! Lagian kamu pikir si Edo itu setia sama kamu? Tante aja bisa lihat kok, dia model b******n begitu! Siapa tuh pelukis yang pernah kolab sama dia? Oh, Alana. Kamu yakin ga ada apa-apa dengan mereka? Ga lihat kamu gimana kompaknya mereka? Jangan mau dibodohi, Na! Cinta boleh, bodoh jangan!” “Tante...” “Kamu itu susah banget sih Na dinasehatin? Emang apa untungnya kamu punya cowok model si Edo begitu? Jangan cuma mikir enak-enaknya aja Na. Yang enak itu pas pacaran doang, lihat nanti kalau sudah nikah, mana tahan kamu hidup susah!” sambung Tante Delia, adik Tante Adira. “Perempuan itu lebih baik dicintai, Na. Jangan kebalik. Laki dikasih paha ngangkang juga langsung pasang badan! Emang kamu punya jaminan dia ga ngapa-ngapain di sana?” sinis Tante Adira kembali. Sementara anak-anak mereka yang seumur denganku bergunjing tak jelas seraya melirik tak habis pikir padaku. “Lihat tuh Ivan! Yang kayak gitu kek dipepet, dikejar. Bukan manusia ga jelas asal usulnya kayak si Edo. Orang tuanya aja cuma lulusan SMP. Mana cacat lagi! Iiih! Jijik!” “TANTE!” Kedua manik mata Tante Adira membelalak, menatap kesal padaku. Sementara dadaku bergerak naik turun dengan cepat. Menahan sesak. Aku berdiri dari tempatku duduk, beranjak menjauh dari mereka yang kini mencibir dan menghakimiku tanpa henti. Langkah kupercepat, berlari kecil ke kamarku karena genangan air mata sudah mulai menerobos deras. ‘Edo...’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD