"Tidak baik meninggalkan istrimu di malam pertama. Kamu baru pulang 'kan dari semalam?"
_________
Bukan Istri Idaman
Bisma Ardhana
Aku keluar kamar dengan perasaan tidak nyaman. Bagaimana tidak, aku melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri tubuh tanpa sehelai benang seorang wanita. Meskipun dia telah resmi menjadi istriku tapi bagiku dia adalah wanita asing, kami memang kita belum pernah saling kenal.
Wanita kampung itu, mana mungkin aku akan menyukainya. Sedikitpun tidak masuk dalam kriteriaku. Sungguh sial nasibku, seandainya yang mengantar ayah ke kampung itu Kevin pasti dia yang menikah dengan wanita kampungan itu. Dan aku? tinggal selangkah lagi aku bisa mendapatkan Risa, malah sekarang aku sudah menjadi suami orang yang tidak aku kenal.
"Argh!"
“Kenapa, Kak? Pengantin baru harusnya sekarang senang-senang kenapa malah disini.” Suara Kevin mengagetkanku, dia berkata sambil berlalu melewatiku.
"Seharusnya kamu yang menikah dengan wanita itu, bukan aku," keluhku.
"Seharusnya kakak bersyukur, nggak usah repot-repot cari istri sudah dapat," ujarnya sambil terus saja berjalan dan aku mengikutinya.
"Hei, mau kemana?" tanyaku.
"Biasa, Kak. Nongkrong," jawabnya sambil menyambar kunci mobil di atas nakas.
"Aku ikut!" seruku sambil berjalan mensejajarkan langkahku.
"Bukannya ini malam pertama Kakak?"
"Sudahlah, aku nggak minat sama perempuan itu," pungkasku. Akhirnya kami keluar bersama, bersenang-senang menikmati malam seperti malam-malam sebelumnya.
Ya, kami berdua memang kompak kalau kelayapan waktu malam. Hanya nongkrong bersama teman-teman sesama pecinta kopi, ngobrol ngalor ngidul hingga tengah malam. Itulah hal yang paling menyenangkan buat kami. Tak terasa kami menghabiskan waktu hingga pukul tiga dini hari dan akhirnya kami pulang, untungnya ayah dan ibu tidak mengetahui kalau aku ikut Kevin keluar.
"Kakak nggak sayang nih sudah ada perempuan yang sudah halal malah di anggurin," kelakar Kevin.
"Sudah kubilang kalau aku nggak tertarik sama perempuan seperti itu," jawabku kesal.
"Memangnya dia seperti apa sih dia, Kak?" tanyanya. " Kakak tahu tidak, gadis dari kampung itu pasti masih ori nggak seperti Risa sudah jadi barang bekas," ungkapnya dengan tawa mengejek. Kevin tahu bagaimana aku mati-matian mengejar Risa selama ini.
“Apaan sih, sok tahu kamu.” Aku pun meninggalkan Kevin agar tidak bertanya lebih jauh lagi, malas sekali membicarakan gadis kampungan itu.
Kubuka pintu kamar, rasanya lelah sekali setelah seharian di perjalanan dan sampai sekarang aku belum memejamkan mataku barang sekejap.
Kulihat wanita itu tidur di sofa, kasihan juga dia meringkuk seperti itu, tapi biarlah,a ku memilih tidak peduli. Siapa suruh mau-mau saja menikah denganku.
Sebenarnya dia tidak jelek, bahkan terlalu cantik untuk ukuran orang kampung. Kulitnya yang mulus, bibirnya merah alami, tubuhnya yang … argh, kenapa bayangan tubuhnya masih terekam jelas di mataku. Aku harus segera tidur, jangan sampai aku khilaf. Satu kamar bersama wanita itu sangat berat, aku tidak yakin bisa mengendalikan diri.
Segera ku rebahkan tubuhku di atas ranjang, entah kenapa mataku tidak bisa berpaling dari tubuh wanita itu. Menyebalkan.
Tubuhku terasa panas, entah karena apa. Segera aku masuk kamar mandi untuk mendinginkan tubuhku. Kuguyur air di tubuhku, setelah itu aku segera berwudhu. Itu yang selalu aku lakukan saat aku resah, saat ini aku resah menahan nafsu. Sial!
Segera kutunaikan shalat untuk mengalihkan perasaan tidak nyaman ini. Kata ustaz, dengan melaksanakan shalat bisa meredam hawa nafsu. Aku menunaikan shalat malam setelah sekian lama tidak melakukannya.
Kutumpahkan segala keresahanku, aku masih bingung dengan keadaanku. Aku tidak mencintai wanita itu, tapi aku tidak punya alasan menolaknya. Wanita itu benar-benar bukan kriteriaku. Kenapa sial sekali nasibku.
Setelah menyelesaikan shalat malamku, mataku langsung tertuju pada wanita itu. Dan lagi-lagi aku melihatnya, selimutnya tersingkap hingga terlihat kulit mulusnya.
Segera kupakaikan selimut untuk menutupi tubuhnya. Benar-benar malam ini sangat menyiksaku. Kalau aku masih di kamar ini, aku tak bisa menjamin bisa mengandalikan diriku.
Akhirnya aku putuskan untuk keluar kamar, untuk tidur di ruang televisi. Di sana lebih aman buat aku.
Saat hampir saja terlelap, tiba-tiba terdengar suara ayah dan aku pun kembali bangun.
"Kenapa tidur disini?" tanya ayah.
"Di kamar panas, Yah," jawabku gugup.
"Apa AC-nya rusak?"
“Tidak,” jawabku "Perempuan itu tidak bisa tidur kalau AC-nya hidup," jawabku asal.
"Perempuan? Aulia? Dia 'kan istrimu, kenapa bilang perempuan itu?"
Argh, sial. Aku lupa siapa nama wanita itu.
"Iya, Aulia." Aku beringsut memberi tempat pada ayah untuk duduk.
"Tidak baik meninggalkan istrimu di malam pertamanya. Kamu baru pulang 'kan dari semalam?" tanya ayah. Entah dari mana ayah tahu.
"Maaf, Yah. Bisma belum siap," jawabku akhirnya.
"Iya, tidak apa-apa. Ayah tahu kalian belum saling kenal, tapi apakah tidak sebaiknya kalian saling mengenal dulu, saling bicara," ujar ayah.
"Iya, Yah. Nanti Bisma coba," pungkasku.
"Segera masuk kamarmu, kasihan istrimu pasti sedih kamu tinggal semalaman." Ayah akhirnya meninggalkanku setelah memberi titah.
Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Menikahi Aulia adalah bentuk balas budi ayah pada sahabatnya. Karena pemberian ginjalnya pada ayah, akhirnya ayah bisa hidup sehat sampai sekarang. Kami tahu Allah yang menakdirkan semua ini, tapi lewat bantuan Pak Baskoro dengan merelakan ginjalnya untuk ayah, akhirnya ayah bisa hidup sehat hingga sekarang.
Dan sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, orang yang berjasa bagi kehidupan ayah telah tiada dengan meninggalkan putri satu-satunya itu. Dan aku harus membalas budi dengan menikahi Aulia.
Karena takut ayah marah, akhirnya dengan berat hati aku masuk kamar. Aku tidak mau melihat Aulia, segera aku merebahkan tubuhku di ranjang.
Argh! Kenapa mata ini tidak bisa di pejamkan, sungguh Aulia sangat menggangguku. Kenapa dia ceroboh sekali, keluar kamar tidak pakai apa-apa. Kenapa tidak mikir untuk bawa baju ke kamar mandi, memangnya dikira rumah sendiri apa, seenaknya saja. Kalau begini 'kan aku jadi tersiksa, dasar perempuan kampung.
Pikiran kotorku masih terus saja membayang, selama hidupku aku tidak pernah melihat hal tabu itu meskipun aku ini bukanlah orang baik.
Bahkan sering kali Niken sengaja menggodaku dengan memperlihatkan hal yang seharusnya dia tutupi. Bukannya senang tapi aku makin jijik dengan pembantu sialan itu.
Tiba-tiba Aulia membuka matanya dan segera kupalingkan pandanganku, jangan sampai dia tahu kalau aku sedang memperhatikannya sedari tadi.