"Ibu akan buat kamu pantas menjadi menantu Santoso dan ibu akan buat Bisma mencintaimu."
________
Bukan Istri Idaman
Aulia Azzahra
Badanku sakit semua karena tidur meringkuk, sungguh lelaki tidak berperasaan seharusnya dia yang tidur disini atau dia tidur di luar. Ish menyebalkan.
Bisma, lelaki yang kemarin sah menjadi suamiku bahkan kami belum saling kenalan. Tapi kejadian semalam sangat memalukan, aku tidak berani memperlihatkan wajahku dihadapannya. Dia sudah melihat semua yang aku miliki. Memalukan.
Saat Bisma sudah keluar kamar, aku segera membersihkan tubuhku. Aku masih ingat yang Bisma ajarkan untuk menggunakan kamar mandi ini. Ah, kenapa ribet sekali, sih, jadi orang kaya.
Selesai membersihkan tubuhku, segera kutunaikan sholat. Mukenaku yang sudah entah apa warnanya setiap hari menemaniku saat aku menunaikan kewajiban. Kami memang orang miskin, mukena saja entah sejak kapan beli. Semua pakaianku juga dari dikasih tetangga, makanya seluruh pakaianku tidak sesuai ukuran. Sejak aku lulus SMA beberapa bulan yang lalu, sebenarnya aku ingin bekerja. tapi bapak selalu melarangku.
Karena bapak hanya bekerja sebagai buruh tani, uang bapak hanya cukup buat makan kami sehari-hari.
Aku termasuk gadis paling cantik di desaku, setidaknya itu yang orang-orang katakan. Beberapa pemuda di desaku ingin melamarku tapi bapak selalu menolak. Bahkan orang paling kaya di desaku juga melamarku beberapa hari yang lalu, dan bapak selalu bilang kalau aku sudah punya jodoh. Ya, jodoh laki-laki menyebalkan itu.
Selesai shalat, aku masih duduk di sofa yang aku tiduri. Kututup tubuhku dengan selimut karena aku tidak memakai dalaman.
"Mbak Aulia, boleh Mbok masuk?" tanya asisten rumah tangga di sini, namanya Mbok Sumi, semalam ibu mengenalkannya padaku.
"Iya, Mbok."
Mbok Sumi masuk kedalam kamar mandi mengambil pakaian kotor, termasuk pakaianku. Aku merasa tidak enak kalau pakaianku ada yang mencucikan.
"Mbok, biar saya cuci sendiri pakaianku," ucapku tak enak.
"Jangan, Mbak, ini tugas saya. Nanti Ibu marah kalau Mbak Aulia nyuci sendiri."
"Mbok, boleh minta tolong nggak?" tanyaku ragu.
"Ada apa, Mbak?"
"Aku lupa tidak membawa celana dalam, boleh minta tolong belikan celana dalam. Ini uangnya," kuberikan uang seratus ribu pada Mbok Sumi. Aku biasa membeli celana dalam seharga sepuluh ribuan, seratus ribu sudah cukup.
Uangku hanya dua ratus ribu, itu uang pemberian Bu Minah orang yang beberapa waktu lalu melamarku untuk anaknya. Aku sebenarnya juga menyukai Mas Adri tapi karena bapak tidak menerima lamarannya akhirnya dengan berat hati cinta kami harus berakhir, tapi Bu Minah masih sangat baik terhadapku.
"Oalah, nggak usah Mbak, biar aku mintakan sama Ibu," ucap Mbok Sumi sembari tersenyum.
"Tapi, Mbok. Aku malu."
"Sudah nggak apa-apa, Ibu orangnya baik kok. Sebentar ya, Mbak."
Mbok Sumi keluar dari kamarku, perasaanku jadi tidak enak. Aku disini bersama orang-orang yang tidak aku kenal, aku harus bagaimana.
Ibu dan Mbok Sumi masuk ke kamar kami dengan menenteng tas besar. Ibu menyerahkan tas yang berisi pakaian itu padaku.
"Ini baju kamu, mudah-mudahan semua pas," ucap ibu sambil tersenyum.
"Tapi ini banyak sekali, Bu."
"Kamu menantu dirumah ini, kamu berhak mendapatkan yang terbaik disini," ucap ibu tegas.
"Mbok, bawa semua pakaian Aulia ke gudang. Kamu harus merubah penampilanmu, jangan bikin malu keluarga kami," tegas ibu lagi.
Aku menunduk, apapun yang Ibu katakan pasti itu untuk kebaikanku. Ya, mungkin memang ibu malu kalau aku memakai pakaian lusuhku.
Ibu memilihkan pakaian untuk aku pakai dan menyuruhku mengganti pakaianku.
Baru kali ini aku punya baju sebagus ini, dres warna hitam selutut, kainnya lembut sangat nyaman dipakai. Bahkan celana dalam yang ibu berikan sangat bagus, entah berapa harganya.
Aku mengganti pakaianku di dalam kamar ganti, karena di kamar ini ada khusus kamar ganti. Setelah mengganti pakaian, aku keluar dari kamar ganti dan ternyata Ibu masih menungguku.
Ibu membawa satu set bedak, entah untuk apa saja. Selama ini aku hanya memakai bedak yang biasa dibeli orang kampung seperti kami. Bedak yang dalam kemasan plastik, harganya pun seharga jajan anak Sd.
"Aulia, sini duduk."
Ibu menyuruhku duduk di depan meja rias. Ibu menyisir rambut panjangku lalu mengikatnya keatas.
"Besok ikut Ibu ke salon, rambutmu harus dirapikan."
Ibu memakaikan aku bedak lalu mengoleskan lipstik dibibirku.
"Ibu akan buat kamu pantas menjadi menantu keluarga Santoso dan Ibu akan buat Bisma mencintai kamu," ucap ibu.
"Ibu baik sekali sama Aulia, terima kasih ya, Bu," ucapku.
"Bapak kamu sangat berjasa bagi keluarga kami, ini tidak seberapa dibanding apa yang Bapakmu berikan pada keluarga kami."
"Tapi, Bu. Kami tidak minta balas budi."
"Sudah kamu harus mau menerima pemberian kami, kami tidak tenang jika tidak membahagiakan kamu."
Aku pasrah dengan apapun yang mereka berikan, lagi pula keluarga bapak juga kehidupannya susah tidak mungkin aku merepotkan Paman Aryo.
"Kamu ini sebenarnya sangat cantik, karena kurang terurus saja jadi kelihatan dekil. Ibu yakin Bisma akan cepat mencintai kamu."
"Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau, ibu tinggal dulu ya," ucap ibu lalu meninggalkanku.
Aku bingung akan melakukan apa, aku tidak pernah tahu yang orang kaya lakukan.
Akhirnya aku putuskan untuk ke dapur, mungkin dengan memasak bisa mengambil hati keluarga ini. Meskipun mereka baik sama aku paling tidak aku harus memantaskan diri menjadi menantu yang baik.
Aku masih belum tahu dimana dapur berada, aku mencari keseluruh ruangan. Rumah sebesar ini kalau kesasar gimana coba.
Saat aku berjalan sambil mataku melihat kesekeliling, aku menabrak seseorang.
"Maaf," ucapku.
Laki-laki itu menatapku tak berkedip, entah siapa dia.
"Cantik," gumamnya, tapi aku masih mendengar gumaman itu.
Aku langsung berlalu meninggalkan laki-laki itu, eh tapi apa sebaiknya aku tanya dia saja ya.
"Mm, Mas, maaf dapur sebelah mana?" tanyaku ragu.
Laki-laki itu mendekat, mengernyitkan dahi.
"Kamu siapa?" tanyanya.
"Aku, Aulia."
"Aulia siapa?"
"Istrinya Mas Bisma," jawabku lirih, entah aku merasa aneh saja menyebut diriku ini istri Bisma.
"Oh, Kak Aulia. Perkenalkan aku Kevin adiknya Kak Bisma," sapanya ramah. Dua orang yang sangat berbeda, Kevin sangat ramah sedangkan Bisma entahlah dia menyapaku saja tidak mau.
"Itu jalan menuju dapur, Kak," ucap Kevin sambil menunjuk ke arah dapur.
"Terima kasih ya …." Aku ragu memanggilnya apa.
"Kevin, panggil saya Kevin. Saya 'kan adik ipar Kak Aulia," ucapnya ramah.
Aku tersenyum lalu meninggalkan Kevin menuju dapur.
Mbok Sumi sedang sibuk memasukkan pakaian di mesin cuci. Sepertinya Mbok Sumi belum masak, pasti dia kerepotan karena mengerjakan pekerjaannya sendiri.
"Mbok, aku bantu masak ya," ucapku pada Mbok Sumi.
"Jangan, Mbak itu pekerjaan saya."
"Nggak apa-apa, Mbok. Saya ingin melakukan tugas saya sebagai menantu di rumah ini."
"Ya sudah kalau begitu. Itu bahan-bahannya ada di kulkas, Mbak."
"Keluarga ini makanan kesukaannya apa, Mbok?" tanyaku.
"Mereka nggak rewel kok makannya. Apa saja yang saya masak mereka makan."
"Jadi saya boleh masak apa saja ya, Mbok?"
"Iya, Mbak silahkan masak apa saja."
Aku mengolah beberapa masakan, kata orang-orang di desaku masakanku itu enak, jadi aku sangat percaya diri kalau masakanku itu pasti diterima lidah mereka.
Aku memasak masakan ala kampung kami, masakan yang membuat orang-orang selalu merindukan kampung halaman.
Selesai mencuci baju, Mbok Sumi membantuku menyiapkan makanan di piring saji. Sambil menyiapkan makanan dan melanjutkan masak yang belum selesai aku menanyakan pada Mbok Sumi tentang keluarga suamiku. Aku tidak tahu sama sekali tentang mereka, apalagi Mas Bisma suamiku dia bahkan tidak peduli denganku. Menyedihkan sekali 'kan.
"Mbok, memangnya keluarga ini kerja apa sih kog bisa kaya raya begini?" tanyaku penasaran.
"Rumah sebesar ini, bisa-bisa aku kesasar. Tadi saja nyari dapur nggak ketemu," lanjutku.
"Bapak sama Ibu punya restoran, Mas Bisma usahanya jual mobil, Mbok nggak tahu namanya apa. Lalu Mas Kevin punya butik makanya tadi pakaiannya dibawakan banyak sama Ibu, itu ngambil di butiknya Mas Kevin," ucap Mbok Sumi. Pantas saja mereka kaya raya.
"Mereka semua orang baik, Mbak. Anakku saja dikuliahkan sama ibu. Anak Mbok seumuran Mbak Aulia."
"Anaknya tinggal dimana Mbok?"
"Ya disini, itu masih tidur." jawab Mbok Sumi.
"Mbok tinggal buang sampah dulu ya, Mbak," ucap Mbok Sumi sambil menenteng satu kresek besar sampah.
Aku segera membersihkan dapur, mencuci piring dan menata makanan serta piring di meja makan.
"Eh, ada pembantu baru," ucap seorang gadis yang terlihat bangun tidur, itu pasti anak Mbok Sumi. Anak perawan bangunnya siang amat.
Aku tersenyum menanggapi ucapannya.
"Mbak, siapkan makanan untuk saya ya di ruang belakang," perintahnya.