Part 4

1355 Words
"Aku tadi ketemu istrimu. Cantik." "Cantik dari mana, orang kampung tetap saja kampungan." __________ Bukan Istri Idaman Bisma Ardhana Akhirnya semalaman aku tidak bisa tidur sampai azan subuh. Segera kubersihkan diri lalu pergi ke masjid. Aku tidak bisa berlama-lama di dalam kamar ini selama ada Aulia. Selesai dari masjid aku tidak langsung pulang, aku jalan keliling komplek hanya sekedar mengulur waktu untuk tidak bertemu Aulia. Setelah agak siang aku pulang, hari ini ada janji dengan Pak Anwar langganan showroom mobil kami. Begitulah orang kaya, mobil bukan lagi untuk kebutuhan tapi lebih ke gaya hidup. Aku mempersiapkan diri agar tampil meyakinkan. Kulihat di lemari kenapa banyak sekali pakaian wanita. Apa mungkin ibu telah mengganti pakaian Aulia. Mau diberi pakaian apapun gadis kampung itu pasti akan tetap kampungan. "Kak, aku masuk ya," suara Kevin tanpa menunggu persetujuanku langsung masuk kamar. "Ada apa sih?" tanyaku. “Aku tadi ketemu istrimu, cantik,” ujar adikku sembari menyengir. "Cantik dari mana? orang kampung yang tetap saja kampungan," jawabku ketus. Aku tidak suka Kevin memuji wanita kampungan itu, apa matanya sudah tidak normal. “Beneran, Kak. Risa, lewat. Kalah jauh cantiknya. Kalau tahu gini aku saja yang nikahi Aulia.” Kevin terkekeh mengatakan itu. "Apaan sih kamu." "Kalau ingin istri cantik ya dimodali, Kak. Itu baju-baju yang dipakai istrimu harus di bayar lho. Bisa tekor aku," ucap Kevin sambil mendudukkan dirinya di sofa. "Eh, kenapa ini selimut sama bantal ada di sini? Jangan bilang kalau kalian tidur terpisah ya," tuduh Kevin. "Jangan ikut campur urusan aku." "Kak, istri cantik gitu di anggurin." Dia masih terus saja mengkonfrontasi. “Mana tahu kamu soal perempuan,” kataku kesal. "Aku itu tahu soal perempuan, makanya aku cari wanita yang benar. Masalahnya wanita yang benar itu susah dicari." "Bilang saja kamu nggak laku, dasar jomblo!" "Sama kali, selama ini Kakak juga jomblo. Kebetulan saja Kakak beruntung dapat bidadari." "Bidadari apaan, cewek kampung gitu." Siapa yang tertarik dengan wanita kampungan seperti itu. "Kakak nggak tahu aja, cewek kampung itu masih ori." "Sok tahu kamu. Sana keluar dari kamarku," usirku karena kesal mendengar ucapannya tentang cewek kampung itu. "Tapi dibayar lho itu bajunya," oceh Kevin lagi belum juga kelar. "Iya, kamu total berapa nanti aku transfer." Kevin akhirnya menyingkir dari kamarku. Jujur aku penasaran, di mana gadis kampung itu sekarang. Pasti dia terlihat norak menggunakan pakaian dari butik Kevin. Setelah mandi dan mengganti pakaianku, aku keluar untuk sarapan bersama keluargaku. Hal yang tidak pernah kami lewatkan meskipun sebenarnya masakan Mbok Sumi tidak begitu enak, apalagi kalau pagi lebih sering hanya membuat nasi goreng. Kevin sudah berada di meja makan, bapak dan ibu juga menuju meja makan. Kenapa masakan begitu banyak di meja makan, dan nggak biasanya tertata rapi dan bersih. Lagi mimpi apa Mbok Sumi, tiba-tiba rajin gini. Atau mungkin Niken yang membantunya? Tidak mungkin juga anak itu mau membantu Ibunya. "Tumben Mbok Sumi masak sebanyak ini," ucap ibu sambil menarik kursi lalu mendudukkan bokongnya. Mbok Sumi yang dari belakang membawa air tersenyum dan menaruh air putih di tengah meja agar bisa terjangkau kami. Bahkan piring dan gelas sudah tertata rapi di tempat masing-masing, biasanya juga ditumpuk di tengah dan kadang kami masih kebingungan mencari sendok. "Bisma, Aulia mana?" tanya ibu, aku harus jawab apa kalau dari pagi aku belum melihatnya. Bangun tidur saja aku tidak berani melihatnya. "Mbak Aulia, sini, ayo, makan kenapa diam di situ?" Suara Kevin membuatku menoleh ke arah yang dia maksud. Kenapa dia cantik sekali, bahkan tidak terlihat kalau dia wanita kampung yang kumel. Siapa yang mendandaninya. Pantas saja Kevin bilang Aulia cantik, kalau lihat kemarin Aulia pakai baju apa pasti dia sudah ilfeel dari pandangan pertama. Aulia menunduk memainkan jarinya, mungkin dia ragu untuk bergabung bersama kami. "Aulia, kamu duduk di situ," ucap ibu sambil menunjuk kursi di sampingku. Aulia menuruti ucapan ibu, dia duduk di sampingku tepat di depan Kevin Dan Kevin tak berkedip melihatnya. Mbok Sumi dari belakang membawa empat cangkir teh dan meletakkannya di ujung meja. Aulia dengan cekatan mendekatkan cangkir-cangkir itu di dekat kami. "Ini tadi yang masak Mbak Aulia semua, Bu," ucap Mbok Sumi. "Kamu bisa masak?" tanya ibu tak percaya, apalagi masakan sebanyak ini. "Mbak Aulia jago, Bu. Katanya sudah biasa masak," jawab Mbok Sumi lagi. "Aulia biasa disuruh masak kalau ada acara di rumah tetangga, Bu," jawab Aulia. Kami mencoba masakannya, dari suapan pertama aku benar-benar baru merasakan masakan seenak ini, bahkan masakan di restoran ibu kalah jauh untuk ukuran rasa. Kata orang cinta datang dari mata turun ke hati, apa nanti aku juga begitu, cinta datang dari perut naik ke hati. Apa mungkin aku jatuh cinta pada gadis kampung itu gara-gara masakannya. "Enak sekali masakan kamu," puji ibu, dan di iyakan oleh bapak. "Tuh kan, Kak. Kamu itu beruntung, sudah dapat istri cantik pintar masak lagi. Eh malah semalam di anggurin," ucap Kevin yang membuatku kesal. "Bisma, tidak baik meninggalkan istri kalau malam, apalagi malam pertama. Kamu harus berusaha mencintai Aulia, apa yang kurang. Aulia cantik dan pintar masak juga," sahut ibu memuji Aulia. "Kak Bisma menyuruh Kak Aulia tidur di sofa, Bu," adu Kevin, anak ini benar-benar membuat kesabaranku hilang. Awas saja, tidak akan aku bayar baju untuk Aulia. "Bisma, kamu ini bagaimana, sih. Seharusnya kamu itu memberi ruang pada Aulia. Kalian saling mengenal dulu, ibu jadi merasa bersalah pada bapaknya karena membawa kesini membuatnya menderita," ucap ibu terlihat kesal. Aku menunduk mengakui kesalahan, tapi aku memang belum siap menikah apalagi secara tiba-tiba begini. Satu ranjang dengan seorang wanita bisa-bisa membuatku khilaf, apalagi Aulia hanya seorang gadis kampung. Apa pantas dia jadi istriku. Selesai sarapan kami masih berbincang menceritakan perkembangan usaha kami. Ya, karena kami punya usaha sendiri tidak terikat aturan kantor, jadi kami bisa berangkat kapan saja ke tempat kerja kami. Apalagi Kevin, dia setiap hari juga di rumah karena butik Kevin berada di depan rumah. "Aulia, nanti kamu ikut Bisma ya. Biar kalian lebih dekat," pinta ibu. Kalau sudah ibu yang minta aku tidak bisa menolak. Aulia mengangguk sambil tersenyum, manis sih. Kenapa dia terlihat manis, nggak salah lihat 'kan aku? Ibu menyuruh Aulia mengganti baju, tanpa banyak komentar dia masuk ke kamar. Kami masih menikmati makanan ini, bahkan Aulia masih sempat membuat salad buah juga. "Mas Bisma, Niken bareng ya," kata Niken tiba-tiba. Seperti biasanya, dia memakai pakaian yang membuatku muak. Pakaian yang menempel pas menonjolkan lekuk tubuhnya dan rok pendek sepaha memperlihatkan kulitnya yang sawo matang. Kalau bukan karena Mbok Sumi, mana mau aku satu mobil dengannya. "Niken, pakai baju seperti itu apa enggak masuk angin?" tanya Kevin, dia paling sebal dengan Niken. Bahkan sering sekali mengomentari penampilan Niken yang norak menurutnya. "Apaan sih, Mas Kevin. Baju Niken 'kan seperti ini semua," jawabnya tak tahu malu. "Besok-besok beli baju yang sopan, bikin sakit mata saja," kata Kevin lagi. "Bilang saja suka, Mas." Niken menjawab dengan tidak tahu malu lalu meninggalkan kami. Ibu hanya geleng-geleng melihat tingkah Niken. Anak itu kalau dibaikin bisa ngelunjak lama-lama. Aku masuk ke kamar mengambil ponselku. Saat aku masuk ke kamar, terlihat pemandangan indah di depan mata. Cantik. Aulia mengganti pakaiannya dengan dres warna hitam sepanjang bawah lutut. Kulit putihnya makin terlihat jelas, rambutnya dikuncir tinggi ke atas memperhatikan lehernya yang putih. Tak sadar aku menelan ludah, benar-benar pemandangan yang sangat indah. Dalam hatiku terbesit rasa sayang kalau dilihat orang lain. Reflek tanganku menarik kunci rambutnya dan melepaskannya agar rambutnya terurai. Aku tidak mau lehernya dilihat laki-laki lain. "Kalau di luar rumah, jangan perlihatkan lehermu," ucapku. Aulia mengangguk lalu merapikan lagi rambut panjangnya. “Aku tunggu diluar,” ujarku lalu aku berjalan ke luar menungunya di mobil. Setelah kunci mobil aku buka, Niken langsung masuk di jok depan. Aku masih menunggu Aulia, dia keluar dengan sangat anggun. Kurasa dia tidak kampungan seperti bayanganku. Aulia terlihat bingung karena di depan sudah ada Niken, aku menyuruhnya untuk duduk di belakang. Setelah kami di dalam mobil tiba-tiba …. "Lho, Mbak ikut juga?" Aulia tersenyum lalu mengangguk, terlihat dari spion mobil. "Sejak kapan Mbak kerja disini? Aku, kok, baru tahu ya. Apa memang ibu butuh pembantu lagi ya, Mas?" oceh Niken. Niken menganggap Aulia pembantu, dasar anak pembantu tak tahu diri. Aulia tidak menjawabnya, aku juga tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Niken. Tidak seharusnya aku terlalu baik dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD