SEKARWANGI (PART 2)

799 Words
(Part 2) By: Elifia Taraka POV    : Hanif “Sri, jangan lupa abon sapinya masukin ke tas sekalian!” “Sampun, Buk,” “Baju dinasnya Mas Hanif sudah disetrika?” “Si…aaa…p, Buk.” “Sepatu kets, seragam olahraga?” “Beres, Ndoro.” Suara ribut-ribut dari dapur membangunkan tidurku. Segera kutengok weker di ujung meja yang masih menunjukkan pukul 03.00 WIB. Rupanya subuh belum datang, tapi sudah ada kesibukan antara Mama vs Mbak Sri asisten rumah tangga. Jika tak ingat hari ini Senin, tentu aku sudah bermalas-malasan tenggelam dalam selimut dan mendengkur di bawah bantal bermotif bebek karet ini. Namum, ah …., ini hari istimewa dalam karirku. Tak boleh kulewatkan. Namaku Hanif Wijaya Kusuma Rahardjo , laki-laki muda 25 tahun, tinggi 176 cm, single, berbadan atletis, berotot, kulit sawo matang, selalu keren, dan modis. Profesi dokter muda lulusan CPNS tahun ini. Selalu dikelilingi wanita cantik, tapi singgle is very happy. Kutengok Mama yang sedang sibuk di belakang bersama Mbak Sri menyiapkan keperluan yang akan kubawa. Hari ini aku akan berangkat menunaikan tugasku sebagai abdi negara yang baik ke daerah Blitar selatan di pesisir Peh Pulo yang masih kekurangan tenaga kesehatan. Sebuah tempat yang jauh dari keramaian perkotaan. Akses yang horor kiri-kanan jurang, jalan yang belum sepenuhnya beraspal, dan jika hujan selalu berlumpur, sulit dilalui tidak menyurutkan semangatku untuk menjalankan tugas. Mungkin inilah salah satu cara berterima kasih pada papa dan mama yang telah bersusah payah membuatku berhasil hingga hari ini. Keluargaku memang berprofesi di bidang medis. Mulai dari kakek yang berprofesi sebagai dokter gigi, Papa dokter bedah, Mama dokter umum, dan kakak laki-lakiku saat ini mengambil spesialis kandungan di Surabaya. Tak heran jika sejak kecil aku selalu dikenalkan dengan buku-buku dan ilmu medis. Setelah menempuh pendidikan dan keprofesian, aku mencoba mengadu nasib mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil. Tak kusangka Allah mengabulkan doaku dan memberiku amanah untuk menjalankan tugas menolong hamba-Nya yang membutuhkan pertolongan melalui perantara diriku. Menjadi dokter bukan hanya sebagai profesi yang membanggakan, namun bagaimana kita peduli sesama dengan sepenuh hati dan keikhlasan nurani kita. “Nif, jadi berangkat jam berapa, Le?” kata Mama. “Perjalanan dari sini sekitar dua jam kurang dikit, Ma. Minggu lalu sudah survey ke sana. Nanti setengah enam pagi berangkat,” kataku sambil memasukkan kamera mirrorlees tersayang ke tas. “Kok, ya sempat-sempatnya ngurusi kamera, to Nif, Nif,” kata Mama lagi. “Lo, ini nggak boleh ketinggalan, Ma. Ini salah satu benda wajib yang harus selalu Hanif bawa. Siapa tahu di sana ada gadis pantai yang cantik. Nanti kukirim fotonya ke Mama barangkali cocok jadi menantu Nyonya Elen Rahardjo. Ya, nggak, Ma?” kataku geli. “Ah, kamu ini. Konsen sama karirmu dulu jangan buru-buru nikah. Nikah belakangan kalau kamu sudah mapan. Mama sama Papa masih ingin kamu mengambil spesialis seperti Kakakmu,” kata Mama ketus sambil memasukkan camilan ke kresek putih. “Jodoh itu gak tahu kapan datangnya, Mama. Lagian Hanif juga ingin nikah muda aja, kok. Enak, Ma, nikah muda itu. Ntar, anak Hanif udah gede, Hanif masih ganteng,” kataku mengajak Mama bercanda. “Halah, embuh, Nif. Pesennya Mama, yang penting kamu jaga diri baik-baik, jalankan tugas dengan ikhlas, dan jangan terlambat makan. Jangan mikirin nikah terus, la wong pacar aja nggak punya,” kata mama sambil memotong wortel. Aku tertawa mendengar Mama yang mengomel sendiri. Terdengar suara Papa memanggil dari ruang mushola untuk segera berjamaah Subuh. Segera aku bergegas mandi dan mengambil air wudu. Setelah menjalankan salat Subuh berjamaah, Papa memberi wejangan untukku. Wejangan Papa di saat seperti inilah yang selalu menyejukkan hati. Saat kucium tangan dan kupandang wajah Papa terdapat garis wajahnya yang bercerita tentang suka duka kehidupan yang telah dilaluinya. Begitu juga dengan Mama. Mereka pasti akan semakin menua dari hari ke hari dan akulah yang harus mewujudkan harapan-harapannya yang mungkin belum sempat tercapai. Jarum jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Mesin jeep kuhidupkan. Segera aku berpamitan dengan seluruh orang rumah, termasuk Mbak Sri. “Mbak Sri, jaga mama baik-baik, ya, yang akur,” kataku pada perempuan paruh baya yang suka nonton sinetron  ikatan cinta itu. “Beres,Bos,” katanya sambil menunjukkan jempolnya. “Ma, Pa, Hanif berangkat dulu,” kataku sambil mencium tangan mereka. “Hati-hati, Nif,” kata Papa. “Kalau nyetir jangan ngantuk,” kata Mama. “Tenang, Ma. Hanif kan sama Hendra. Kalau ngantuk bisa gantian,” kataku berusaha menepis kegalauan Mama. Akupun menjalankan jeep pelan-pelan keluar halaman. masih terdengar teriakan good bye dari Mbak Sri yang membuatku ketawa lebar. “Good bye, I miss you, Bos. Saranghe,” teriak Mbak Sri. Kukeluarkan tangan kanan dari jendela mobil, kukirim tanda jempol dan telunjuk membentuk hati untuk Mbak Sri sebelum jeep hitam ini melaju menambah kecepatan. *** (bersambung ke part 3)  CATATAN: Sampun    : sudah (Jawa) Ndoro        : panggilan untuk majikan (Jawa)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD