SEKARWANGI (PART 3)

1219 Words
(Part 3) By: #ElifiaTaraka POV    : Hanif Kulajukan jeep membelah kabut tipis yang mulai menghablur terkena matahari pagi. Udara masih terasa dingin menembus kulit hingga sampai ke tulang. Kumatikan AC dan kubuka sedikit jendela. Bagaimanapun juga, dinginnya udara pagi lebih sehat daripada dinginnya AC dalam mobil. Kunikmati kesegaran pagi gratis dari Sang Pencipta dengan perasaan sukacita. Di depan, sudah terlihat rumah Mahendra. Ku kurangi kecepatan jeep dan kubelokkan ke sebuah rumah joglo bernuansa Jawa tradisional. Sederhana, namun memiliki daya pikat arsitektur menarik. Sebatang pohon sawo kecik besar memberikan naungan dan kesejukan rumah yang tampak anggun meski bersaing dengan kemodern-an zaman. Di sekitar rumah terdapat banyak tanaman khas masa lalu seperti mawar lokal, puring, ceplok piring, kembang kanthil, dan rumpun melati yang semakin mendaulatkan bahwa pemilik rumah adalah keluarga priyayi. Di teras banyak hiasan berbentuk gentong,cobek, dan pot dari gerabah. Belum lagi interior dan furniture rumah memberikan kesan masa lalu yang megah. Kedua orang tua Mahendra memang memiliki darah  bangsawan yang konon berasal dari trah bangsawan Yogyakarta. Kicauan perkutut yang digantang di halaman rumah menyambut kedatanganku. Bapaknya Mahendra, Pak Suryo yang terlihat asyik memberi makan burung dara yang bertengger di  pagupon sebelah rumah segera menghampiriku. “E, Nak Hanif? Piye iki, sajake wes siap budal?” katanya sambil tergopoh-gopoh mendekatiku. “Pangestunipun, Pak.” Jawabku sambil mencium tangan laki-laki umur 60 an itu. “Wah, dadi pak dokter tenan iki? Bapak senang, Le, lihat kalian. Kamu jadi dokter, Hendra jadi guru SD. Koyo’ ibuke biyen,” kata Pak Suryo sambil terkekeh. “Ini juga karena doa-doa njenengan, lo, Pak,” sahutku. “Halah, wes ayo lungguh disik!” Ajak Pak Suryo sambil menarik tanganku menuju teras. “Bu, Bu. Celukno Hendra. Iki lo, diampiri kancane malah enak-enak wae!” Teriak Pak Suryo memanggil istrinya. Istri Pak Suryo, Ibunya Mahendra segera datang. Seorang wanita kalem dengan umur sebaya suaminya segera menghampiriku. “Ealah, Hanif to? Wes suwe, le? Ayo, pinarak! Hendra masih berkemas. Embuh, bocah kae kok lelet banget,” kata Ibu Mahendra sambil menarikku menuju kursi yang ada di teras. “Ini, lo. Ibuk tadi goreng gedang kepok. Coba dicicipi, sekalian nunggu Hendra, tak buatin kopi dulu, Ibuk kemarin habis ndeplok kopi,” katanya tersenyum memperlihatkan sisa-sisa kecantikan masa lalunya yang pernah berjaya. “Waduh, Buk. Mboten usah repot-repot. Niki mawon pisange kulo cicipi, Nggih?” kataku sambil tersenyum dan segera melahap pisang kepok kegemaranku tanpa sungkan. Aku dan Mahendra sahabat sejak kecil. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, hingga SMA kami selalu bersekolah di tempat yang sama.  Hanya saat kuliah saja kami menempuh pendidikan masing-masing dan beda universitas. Mahendra yang kalem seperti Ibunya ternyata lebih tertarik dengan dunia pendidikan. Pembawaannya yang berwibawa namun penyabar dan mencintai dunia anak-anak ternyata membawanya menjadi seorang pendidik di Sekolah Dasar.  Dulu, sewaktu kecil aku sering dititipkan Mama ke rumah Mahendra jika Mama dan Papa harus bertugas di rumah sakit pada malam hari. Apalagi jika kedua orang tuaku harus dinas keluar kota beberapa hari. Aku juga bisa berhari-hari di sini. Maka, aku dan Hendra sangat akrab seperti saudara sendiri. Nasib baik juga selalu mempertemukan kami. Kami sama-sama diterima CPNS pada tahun yang sama dan kami secara kebetulan ditempatkan di wilayah yang sama. Hari ini, berangkatlah kita bersama menuju Blitar selatan untuk menghadiri pertemuan pertama dan perkenalan pegawai baru di kantor kecamatan. “Ayo, Nif! Keburu siang ntar,” tiba-tiba Hendra sudah bersiap dengan koper dan tas jinjingnya. Sialan anak ini, ditungguin molor, lagi ada orang menikmati pisang goreng ngajak berangkat, rutukku dalam hati. “Yuk, taruh di belakang, gih!” kataku sambil menunjuk koper dan tas Mahendra. Setelah berpamitan dengan Pak Suryo dan Istrinya, kami segera tancap gas menuju daerah selatan. Matahari sudah mulai menghangat, kabut sudah tak terlihat lagi. hanya sisa-sisa sedikit embun di kaca mobil depan yang sebentar lagi akan kering diterjang angin. “Undangane jam piro, Nif?” kata Mahendra memecah kesunyian. “Di undangan tertulis setengah sembilan. Ya, sebaiknya kita jam 8 sudah ada di sana. Aku mulai aktif di puskesmas besok. Habis dari kecamatan kamu langsung ke sekolah atau gimana? Motormu sudah kamu taruh di rumah dinas yang mepet sama sekolah kamu itu,kan?” kataku. “Yup, betul. Kalau gitu kita ntar langsung ke kantor kecamatan aja,” kata Hendra sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot. Perjalanan kami akhirnya melewati medan berkelok-kelok. Jalanan yang masih sepi membuat perjalanan lancar tanpa hambatan. Hanya saja perlu waspada dengan tanjakan yang curam. Ti “Ndra, aku ngantuk. Piye iki, Sob?” kataku sambil menahan kedua mata yang terasa berat. “Waduh, ngomong aja suruh gantiin,” gerutu Mahendra. “Beneran, Sob. Tadi malam nganter Mama di nikahan sepupu. Gila, pulang nyampe rumah jam setengah satu. Tidur, jam tiga udah bangun. Ayo, to, gantiin nyetir!” kataku berharap. “Yo, wes. Minggiro!” katanya menyuruhku menepikan mobil. Kami pun bertukar tempat. Rasanya nyaman sekali dapat memejamkan mata yang sejak tadi bagai terbebani jambu mete, berat, dan sepet. Jeep pun melaju lagi dan makin merangkak di jalan yang menanjak. Lokasi tujuan masih sangat jauh. Akses masih bagus dan nyaman untuk berkendara. Namun begitu nanti mendekati Peh Pulo pasti menyeramkan dan terjal. Banyak aspal berlubang, jalan yang masih berupa bebatuan, dan kiri-kanan banyak jurang. Belum lagi jika musim penghujan tiba, jangan dikata, pasti kita akan merasakan sensasi off road  menyeramkan bagi yang tak terbiasa. Jika membawa roda empat, mungkin hanya mobil khusus seperti ini yang cocok untuk medan di sana. Namun, akses yang seperti itu tak menyurutkan wisatawan domestik menikmati keindahan Peh Pulo yang masih perawan. Banyak muda-mudi menghabiskan waktu, memadu asmara menikmati angin laut atau sekadar berswafoto diunggah ke sosmed, diberi caption “Raja Ampat nya Blitar” dan disertai emoticon smile atau quality time. Di tengah kantuk, aku tersenyum sendiri memikirkan kebiasaan dan gaya hidup kaum urban. “Juragan, juragan. Awas lo, ya. Ntar sampai di medan berat mesti ra iso turu, kowe,” samar-samar kudengar gumaman Mahendra yang singgah ke telinag tapi makin lama makin sayup dan hilang ditelan angin perbukitan.   *** (bersambung ke part 4)   CATATAN: Piye iki, sajake wes siap budal?  = Bagaimana ini, sepertinya sudah siap berangkat? Pangestunipun   = minta doa restunya “Wah, dadi pak dokter tenan iki? Bapak senang, Le, lihat kalian. Kamu jadi dokter, Hendra jadi guru SD. Koyo’ ibuke biyen,”   =  Wah, jadi dokter beneran ini? Bapak senang, Nak, lihat kalian. Kamu jadi dokter, Hendra jadi guru SD. Seperti Ibunya dulu. Njenengan = panggilan hormat untuk orang lain (Jawa) “Halah, wes ayo lungguh disik!”  = Halah, sudah ayo duduk dulu. “Bu, Bu. Celukno Hendra. Iki lo, diampiri kancane malah enak-enak wae!”  = Bu, Bu. panggilkan Hendra. ini lo didatangi temannya malah enak-enak saja. Istri Pak Suryo, Ibunya Mahendra segera datang. Seorang wanita kalem dengan umur sebaya suaminya segera menghampiriku. “Ealah, Hanif to? Wes suwe, le? Ayo, pinarak! Hendra masih berkemas. Embuh, bocah kae kok lelet banget,”  = Ealah, Hanif, ya? Sudah lama, Nak? Ayo, silakan masuk. Hendra masih berkemas. NGGak tahu, anak itu kok lelet sekali. "Undangane jam piro,Nif" = Undangannya jam berapa, Nif? "Aku ngantuk, piye iki, Sob? = Aku mengantuk, gimana ini, Sob? "Yo wes, minggiro!" = Ya sudah, minggirlah. “Juragan, juragan. Awas lo, ya. Ntar sampai di medan berat mesti ra iso turu, kowe,”  = Juraga, jutagan.Awas lo, ya. ntar sampai di medan berat, pasti kamu tak dapat tidur.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD