(Part 4)
By: #ElifiaTaraka
POV : Penulis
Seutas tali, kain panjang gendongan kayu, dan sebilah pisau sudah ada di tangannya. Sekar melangkahkan kedua kaki ke hutan dengan penuh gairah pagi yang menghangatkan raga. Seulas senyum berpadu dengan binar mata yang memancarkan selaksa pengharapan. Pengharapan atas apa yang harus diperoleh di hutan hari ini. Ia harus pulang dengan membawa ranting kering yang banyak untuk mengasapi ikan tangkapan bapaknya hari ini. Sesekali ia bertingkah lucu dengan berlari kecil sambil memutar badan seolah-olah ingin bersaing dengan pasukan kupu-kupu yang baru saja keluar dari sarangnya. Ia permainkan tali pengikat kayu sambil menyenandungkan suara yang tak jelas nadanya.
Sekar terus berjalan dengan riang dan tak perlu naik motor maupun onthel. Baginya, berjalan kaki akan membuat tubuhnya sehat dan kuat. Jika badannya sehat, ia bisa membawa banyak ranting, membantu Bapak dan Maknya menjual ikan asap.
Sampailah ia di tujuan. Matanya menyapu area pepohonan di hutan yang luas, mencari kalau ada ranting yang patah. Saat musim kemarau memang banyak ranting kering dan daun yang gugur begitu saja. Tak hanya ranting kecil, kadang yang besar pun juga ikut berjatuhan karena terlalu kering, keropos, dan tak mampu melawan angin. Biasanya, Sekar mengumpulkan ranting kering dan memotongnya kecil-kecil agar mudah dibawa pulang. Ranting yang dibawanya akan membantu mengurangi pembelian kayu bakar.
“Banyak sekali hari ini yang jatuh,” gumamnya sambil memandang ke atas dahan.
Sekar pun segera mengumpulkan ranting kering, memotong, menata, dan mengikatnya untuk dibawa pulang. Ia lihat ke atas, matahari pagi makin meninggi. Sekar menyeka bulir keringat yang menempel di dahi dengan kain gendongan kayunya. Dirapikannya ikatan rambut yang sudah kendor. Ia merasa lelah dan ingin istirahat sebentar. Sekar menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon asam hutan yang meneduhkan. Angin semilir bertiup lembut memainkan gerai rambutnya dan menerabas kelopak mata membuat Sekar terkantuk-kantuk.
“Hem…, sejuk sekali. Nikmat mana yang kau dustakan?” gumam sekar memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
Di tengah rasa kantuknya, Sekar tidak menyadari ada bahaya yang mendekatinya. Seekor ular menggeliat mendekati pohon asam tempatnya bernaung. Sekar masih nyaman dengan buaian angin dan menikmati kantuk hingga tiba-tiba ia merasakan pergelangan tangan kirinya seperti digigit dan terasa sakit. Sekar terkejut melihat ada seekor ular berwarna hijau menjauh dari tempatnya bersandar. Sekar digigit ular.
Sekar menahan sakit di pergelangan tangannya. Tidak ada siapapun di sana. Bapak-bapak pencari rumput atau pencari ranting kayu yang lain juga tidak terlihat. Sekar menahan sakit hingga bulir bening menetes di kedua pipinya yang kemerahan. Di tengah rasa panik dan putus asa, tiba-tiba ada seorang laki-laki muda yang tampan bertubuh tinggi dengan style keren yang layak berdiri di sebelah artis drakor yang sering ia lihat di televisi. Laki-laki muda itu memakai setelan celana hitam, kemeja biru, dan jas branded warna putih.
Laki-laki muda itu mendekati Sekar. Diraihnya tubuh Sekar dan direngkuh dalam dekapan untuk digendong meninggalkan pohon asam. Sekar yang panik dan tidak dapat berbuat apa-apa akhirnya menurut meski tak tahu entah dibawa ke mana. Kepalanya sudah pening dan rasa sakit di pergelangan tangan makin tak tertahankan. Namun,untuk sejenak Sekar merasa nyaman dalam gendongan laki-laki muda itu. Ia pandang paras tampannya yang memikat, lalu ia rebahkan kepalanya dalam dekapan laki-laki yang entah itu siapa.
Laki-laki itu menurunkannya di sebuah dipan tinggi bersprei putih. Di sisi kiri ada sebuah meja kerja dan lemari kaca berisi obat-obatan dan peralatan medis lainnya. Seluruh ruangan berwarna putih dan tidak ada seorang pun di sana kecuali dirinya dan laki-laki muda tak dikenal itu.
Belum sempat Sekar bertanya siapa dia, laki-laki muda itu mngeluarkan sebuah jarum besar sekali dan berkata,
“Aku dokter yang akan menyelamatkan kamu, Sekar.” Kata laki-laki muda itu sambil tersenyum dan senyumnya kali ini sangat menawan dan … , sedikit mengerikan.
Sekar terkejut melihat laki-laki itu membawa jarum besar yang belum pernah ia lihat dan ini besar sekali. Lebih cocok untuk menyuntik gajah atau sapi. Sekali tusuk, pasti ia akan mati, pikir Sekar dalam hati. Laki-laki itu terus mendekati Sekar dan memegang bagian pergelangan tangannya yang digigit ular.
Laki-laki muda itu perlahan menempelkan jarum suntik ke kulit Sekar, segera akan menusuknya. Sekar takut dan ingin berontak. Ia ingin memukul laki-laki itu, memasukkan dalam jaring ikan untuk dilempar ke lautan. Namun, apa yang dapat ia perbuat? Matanya sudah berkunang-kunang, seisi ruangan seakan berputar. Sekar pun menjerit histeris memecah kesunyian dalam ruangan berwarna putih itu.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…”
“Sekar, Sekar, Sekar, Nduk. Keturon, ya, kowe?” kata sebuah suara disusul sebuah tangan menggerak-gerakkan bahunya.
“Nduk, tangi! Turu kok nyang kene?” kata suara itu lagi.
Sekar tergeragap dan membuka mata. Ia menengok kiri-kanan dan menyadari bahwa dirinya masih berada di bawah pohon asam hutan. Sekar melihat ke pergelangan tangannya. Ia mengelus kulitnya, mulus tidak ada bekas gigitan maupun luka. Sekar menarik napas panjang. Sebuah mimpi buruk baru diperolehnya.
“Mbok Jah, aku ketiduran, Mbok,” kata Sekar yang baru menyadari bahwa yang membangunkannya adalah Mbok Jah yang lagi menengok tanaman di mbaon-nya.
“Walah, mimpi apa malam-malam?”
“Mimpi dicokot ulo, Mbok.”
“Loh, peneran. Mimpi digigit ular itu pertanda akan dapat jodoh. Kamu kan sudah nggak sekolah to, sebentar lagi pasti dilamar orang.”
“Halah, Mbok Jah ki lo. Iso wae.”
“Woo…., dikandani kok.”
Rupanya, cukup lama hari ini Sekar berada di hutan. Setelah berbasa-basi dengan Mbok Jah, Sekar segera berkemas dan menggendong ranting kayunya untuk dibawa pulang. Sekar menelusuri kembali jalan yang tadi pagi ia lalui tanpa bernyanyi dan berlari kecil. Perjalanan pulang kali ini terasa sangat melelahkan dan panas. Seandainya ia tidak ketiduran pasti tidak pulang kesiangan.
Sekar melewati jalanan yang belum beraspal dan nampak sepi. Angin kemarau yang kering berembus kencang. Tiba-tiba terdengar suara klakson dari belakang. Sebuah mobil jeep hitam melintas perlahan dan menguarkan debu betebaran yang membuatnya terbatuk-batuk. Sekar menutup hidung dan memejamkan mata.
“Aduh,aduh, orang kaya naik mobil, sembrono. Ra nduwe sopan,” Sekar mengomel sendirian.
Sekar berhenti sejenak dan membetulkan gendongan ranting kayunya. Tak lama kemudian ia kembali melanjutkan perjalanan. Sekar berjalan setengah terbungkuk- bungkuk karena beban ranting yang ada di punggungnya. Seandainya ada yang menyadari, bahwa Sekar adalah sosok yang masih mampu berkutat dalam kehidupan sederhana yang tak biasa dilalui oleh remaja masa kini. Sosok remaja yang masih polos dan menerima dalam segala kekurangan finansial keluarganya.
Langkah kaki Sekar semakin ringan menapak di bawah langit yang luas. Saat itu, matahari yang semakin meninggi dan pancaran panasnya menjadi saksi bahwa sosok wanita perkasa yang berjalan di antara perbukitan dengan seonggok harapan di punggungnya, seperti yang ada dalam sebuah lukisan dan ilustrasi buku cerita itu memang benar-benar nyata.
***
(bersambung ke part 5)
CATATAN:
Mbiok = panggilan untuk Ibu (Jawa)
“Mimpi dicokot ulo, Mbok.” = Mimpi digigit ular, Bu.
“Halah, Mbok Jah ki lo. Iso wae.” = Hakah, Bu Jah ini, lo. Bisa aja.
“Woo…., dikandani kok.” = Wo..., dibilangin, kok.
“Aduh,aduh, orang kaya naik mobil, sembrono. Ra nduwe sopan,” = Aduh, aduh, orang kaya naik mobi, sembroni, nggak punya sopan.