(Part 5)
By: #ElifiaTaraka
POV : Penulis
Sekar mempercepat langkahnya di bawah matahari yang menyengat sambil sesekali tangan kanan mengusap peluh tipis di dahinya. Ia ingin segera sampai ke rumah menaruh beban ranting di punggungnya dan memasak gurita hasil tangkapan Imam. Kali ini ia akan membuat masakan istimewa untuk Imam dan sahabat-sahabatnya di mushola Abah Hasyim. Setelah itu, ada kejutan istimewa yang ingin dibuatnya untuk Imam. Sekar ingin merayakan hari istimewa pemuda yang selama ini menjadi teman sepermainannya. Sekar tersenyum membayangkan bahwa Imam pasti suka dengan kejutan yang ia buat di hari ulang tahunnya.
Tiba-tiba Sekar teringat mimpi yang dialaminya sewaktu tertidur di bawah pohon asam tadi. Mimpi menakutkan dan menyebalkan. Menakutkan karena mimpinya mungkin saja hasil kejahilan penunggu pohon asam. Menyebalkan karena makhluk penunggu pohon asam itu menyamar menjadi laki-laki muda yang tampan untuk menjahatinya.
“Huh, dasar penunggu jahil. Kalau ketemu akan kupelintir lehermu,” gerutu Sekar dalam hati.
Sekar menepuk kepalanya seolah-olah ingin membuang semua pikiran tentang mimpi yang tak disukainya itu. Sekar pun makin mempercepat langkah kakinya. Setiap pulang dari hutan, Sekar selalu melewati rumah kosong bercat putih yang selalu terawat bersih. Rumah yang katanya milik pemerintah dan sudah lama tidak ada yang menempati. Namun, kali ini Sekar tampak mengernyitkan dahi, tak biasanya rumah itu dibuka pintunya kecuali hanya untuk dibersihkan dan itu pun hanya beberapa saat saja.
Sekar melihat ada sebuah mobil jeep warna hitam yang terparkir di halaman. Tiba-tiba naluri kekepoannya bergejolak. Sekar berhenti sejenak dan mengamati mobil itu.
“O, ternyata mobil itu, to, yang bikin debu tadi?” gumam Sekar.
Sekar mengendap-endap menuju ke rumah kosong itu, bersembunyi di balik rumpun cemara pantai yang ada di samping pagarnya. Ia ingin tahu siapa pemilik mobil yang membuatnya batuk-batuk tadi. Setelah lebih mendekat, Sekar dapat melihat ada dua orang di dalam rumah sedang bercakap-cakap. Tiba-tiba kedua orang itu keluar dan membuka pintu belakang untuk menurunkan koper, tas, dan barang- barang yang lain. Sepertinya orang tersebut akan menempati rumah kosong itu.
Sekar memperhatikan kedua orang itu. Mereka memakai seragam pegawai pemerintah. Sekar terkejut saat melihat salah satu dari mereka. Laki-laki itu sama seperti yang ia lihat dalam mimpinya di bawah pohon asam. Perawakan, paras, gaya rambut, gerak-geriknya tidak ada yang berbeda.
“Haaaa?” Sekar membelalakkan mata dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal karena tak percaya sekaligus tak mengerti dengan apa yang ia lihat.
Sekar melihat sekali lagi, wujud laki-laki itu tetap tidak berubah. Bukan mimpi, bukan pula ilusi. Ia juga tidak sedang dalam dunia drama Korea maupun China yang dapat mengubah pangeran yang ada di mimpi menjadi ceo kaya di dunia nyata.
“Kok bisa- bisanya khayal gini? Opo aku ngimpi, yo?” gumam Sekar sambil mencubit tangannya dan ternyata tangannya sakit.
“Hem, kalau gitu dia pasti makhluk pohon asam yang mengganggu tidurku itu. Awas, kamu!” gerutu Sekar sambil tangannya menarik sebatang ranting dari punggungnya. Ia pilih ranting yang agak besar.
“Klotak!!!”
Sekar melemparkan sebatang ranting itu ke jeep hitam dan mengenai kaca depannya. Sekar terkejut, ternyata lemparannya kuat sekali. Tampak kedua orang laki-laki tadi terkejut terutama laki-laki yang mirip dalam mimpinya. Sekar sedikit takut jika membayangkan laki-laki muda itu menemukannya dan tahu siapa yang melempar mobilnya. Sambil mengendap-endap, Sekar meninggalkan rumpun cemara tempat persembunyiannya dan berlari menuju rumahnya yang tak jauh dari situ. Ia sudah tidak mengetahui bagaimana ekspresi pemilik mobil tadi saat dirinya meninggalkan tempat itu. Entah ketahuan atau tidak yang penting ia pulang dengan selamat, pikirnya sambil tersenyum sendirian karena merasa puas, dendam mimpinya sudah terlampiaskan.
Sesampainya di rumah, Sekar menurunkan ikatan ranting dari gendongannya. Belum sepenuhnya ranting itu ia turunkan,
“Dolan nyang alas kok suwe meng? Keturon maneh?” tiba-tiba Pak Wongso, bapak Sekar sudah ada di belakangnya.
“Mboten kok, Pak. Tadi itu Sekar istirahat sebentar, eh, tiba-tiba sudah siang,” kata Sekar sambil memiji- mijit pundak Pak Wongso.
“Halah, alasanmu tiap hari itu. Bapakmu sudah hafal. Ati-ati, jangan suka tidur di dalam hutan. Banyak binatang berbahaya. Kepriye yen dicokot ulo utowo digudo genderuwo sing membo-membo dadi wong ganteng? Bangsa mereka itu pandai mancala putra lan mancala putri,” kata Pak Wongso.
“Ah, Bapak ini. Jangan nakut-nakutin Sekar, to. Kalau Sekar ngambeg gak mau cari ranting lagi gimana?” kata Sekar sambil memajukan bibir tipisnya bergaya cemberut.
“Ya, sudah, sudah. Sekarang kamu bantuin Imam di belakang. Katanya mau masak gurita? Imam dari tadi ngasapi gurita sendirian gak selesai-selesai,” ucap Pak Wongso meninggalkan Sekar.
Sekar pun berlari ke belakang rumah dan menemukan Imam sedang berusaha menghidupkan api.
“Kang, Kang Imam. Ngidupin api kok gak nyala-nyala?” kata Sekar mendekat.
“Ora ngerti iki. Piye to, Kar? Kayunya kurang kering mungkin?” kata Imam.
Sekar meraih tangan Imam yang sedang menggenggam ranting dan membimbingnya cara menata ranting agar cepat menyala.
“Gini, Kang caranya. Kayunya ditata gini, coba dikipasi,” lanjut Sekar sambil mengibas-ngibaskan tutup panci tipis untuk membuat angin.
Imam tiba-tiba terkesiap saat Sekar menyentuh tangannya yang sedang menggenggam seikat ranting. Tanpa sepengetahuan Sekar, Imam memperhatikan paras Sekar yang lembut dan selalu memancarkan keriangan. Imam memandang lekat sepasang mata Sekar dari samping. Mata itu yang selama ini ia kagumi dalam diam. Mata itu pula yang selalu memberikan semangat untuk berangkat mengembangkan layar dan menenangkan dirinya saat menaklukkan ombak di tengah lautan. Rasa kagum yang selalu bergejolak dan tak pernah ia sampaikan.
“Nah, sudah nyala, Kang.” Kata Sekar tersenyum gembira.
“Kang, Kang Imam,” kata sekar sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah Imam.
“Eh, i…,iya. Iya, sudah nyala,” sahut Imam tergagap dan sedikit salah tingkah.
“Ye, Kang Imam ngelamun, ya? Dari tadi kok lihat Sekar terus? Nyapo, Kang? Sekar ayu, yo?” kata Sekar sambil tertawa.
“Iya, memangnya siapa yang berani bilang kamu jelek?” kata Imam sambil mencubit hidung mungil Sekar.
“Au,sakit! Tak bales kamu!” teriak Sekar sambil mencubit pinggang Imam.
Imam pun berteriak meminta ampun dan meloncat meninggalkan tempat mereka membuat api. Sekar memburunya sambil membawa sebatang ranting yang akan dipukulkan ke tubuh Imam.
“Ampun, ampun, Den Ayu Sekarwangi. Ampun, sudah. Nanti guritanya gak matang-matang, lo. Ayo, kamu siapkan bumbunya. Cepet kita masak,lihat hari sudah makin siang. Nanti malam kita bawa ke mushola Abah Hasyim,” ajak Imam sambil mulai mengasapi gurita besar itu.
“Iya, iya. Udah tau,” sahut Sekar sambil mencibir ke arah Imam.
“Eh, Sekar. Kalau kelak aku sudah bisa punya kapal sendiri, mau nggak ikut aku?” tanya Imam tiba-tiba.
“Mau. Ke mana?” tanya Sekar.
“Ke tengah laut,” jawab Imam.
“Ngapain?” tanya Sekar penuh selidik.
“Cari gurita,” sahut Imam asal.
“Yah, gurita kan cuma nempel di karang situ? Kenapa jauh-jauh ke tengah laut, Kang?” protes Sekar.
“Ya, terserah aku,to. Lha wong yang punya kapal aku kok,”jawab Imam sekenanya yang membuat Sekar kembali cemberut dan semakin membuat wajah ayunya mnjadi wajah manja semanis madu.
Begitulah, untuk selanjutnya mereka asyik berkutat dengan aktivitasnya masing- masing sambil sesekali bercanda menebar kejahilan yang menggemaskan. Mereka, dua remaja yang sedang dalam dunia warna-warni masa muda yang segar. Imam, pemuda laut yang sedang mengejar layar perahu mimpinya. Sekar, sekuntum bunga yang sedang mengembangkan kelopak untuk menebar aromanya.
***
(bersambung ke part 6)
CATATAN :
“Dolan nyang alas kok suwe meng? Keturon maneh?” = Pergi ke hutan kok lama sekali? ketiduran lagi?
"Mboten, kok, Pak." = Tidak kok pak.
Kepriye yen dicokot ulo utowo digudo genderuwo sing membo-membo dadi wong ganteng? Bangsa mereka itu pandai mancala putra lan mancala putri,” = Bagaimana kalau digigit ular atau digoda makhluk ghaib besar yang menyamar menjadi orang ganteng? Mereka itu pandai mengubah diri menjadi laki-laki maupun perempuan.
"Ora ngerti. iki piye, to, Kar?" = Nggak tahu. ini gimana ya, Kar?