SEKARWANGI (PART 6)

1576 Words
(Part 6) By: #ElifiaTaraka POV    : Penulis Senja kemerahan bergelayut di atas Pantai Peh Pulo. Ombak mulai menenangkan ritmenya bersama air laut yang pasang. Di rumah yang sederhana, Sekar berdiri di depan cermin. Ia kenakan dress panjang bermotif bunga sakura jepang warna kemerahan dan kerudung merah jambu yang lembut. Sungguh perpaduan serasi antara kain yang melekat di tubuh dan tabir penutup rambut panjangnya. Biasanya ia mengikat dua rambut itu dengan tali kecil berwarna merah, namun setiap sore ia mengenakan sesuatu yang berbeda dan bersiap ke musala Abah Hasyim untuk mengaji malam bersama remaja kampung yang lain. Terdengar suara dari teras memanggil-manggil namanya. Sekar segera beranjak dan mengambil tas yang biasa digunakannya untuk mengaji. sebelum membuka pintu kamarnya, sekali lagi ia melihat cermin dan memastikan bahwa kerudung merah jambu itu sudah rapi melekat di wajahnya. “Sekar, ayo berangkat! Sudah sore, nanti keburu maghrib,” kata suara di teras yang ternyata milik seorang gadis sebaya dengannya bernama Aisyah. “Iya, iya. Tunggu sebentar,” sahut Sekar tak lupa memasukkan sebuah bungkusan kecil warna biru. Segera Sekar ke luar menemui Aisyah. “Sekar, ayo, cepat! Aku wes ora sabar merayakan ultahnya ketua karang taruna kita. Hari ulang tahunnya Kang Imam, pujaanku,” kata Aisyah dengan penuh semangat. Aisyah adalah sosok gadis lincah sahabat Sekar dengan kecentilannya yang  khas dan selama ini sangat memuja Imam. Tipe gadis yang pantang menyerah sebelum mendapatkan perhatian dari sosok pujaannya. Namun sayang, hati Imam ternyata masih terlalu berat untuk berpaling dari gadis yang diam-diam ia kagumi. Ibarat bermain kejar-kejaran, Aisyah ingin mengejar lari Imam yang terus berlari, dan Imam diam-diam sibuk mengejar Sekar yang berada jauh di depan makin tak terkejar. “Eh, tunggu. Gurita masaknya lupa,to?” kata Aisyah. “Tadi sudah dibawa sama Kang Imam dan Amir. Sekalian nasi dan lauk yang lain sudah diangkut semua,” jawab Sekar sambil membetulkan letak kerudungnya. “Ais, ngaji kok bawa hp?” kata Sekar lagi ketika melihat Aisyah memasukkan handphone ke dalam tas nya. “La piye to, kamu ki? Barang penting ini. Moment istimewa Kang Imam tidak boleh terlewatkan. Lumayan, gawe delok-delokan sadurunge turu,” kata Aisyah sambil cengengesan. “Hush, jadi cewek kamu itu terlalu…, apa ya? Itu…, agresif,” kata Sekar sambil mendorong kepala Aisyah. “Namanya juga usaha,” sahut Aisyah dengan wajah tanpa dosa. “Halah, uwes. Ayo, ndang budal!” kata Sekar sambil menarik tangan Aisyah untuk mempercepat langkahnya. Sekar dan Aisyah segera menuju musala yang tak jauh dari rumahnya. Musala itu terletak di sebelah utara rumah dinas bercat putih yang tadi siang dilewati oleh Sekar. Saat melewati rumah bercat putih itu, Sekar melihat mobil jeep hitam itu masih terparkir di halaman. “Celaka,” gumam Sekar seakan takut jangan-jangan pemilik mobil itu mengenalinya. “Sekar, nyapo? Kenapa dari tadi ngelihatin rumah kosong itu terus?” tanya Aisyah. “Enggak. Ayo, cepat!” jawab Sekar mempercepat langkahnya. “Nyapo, to cah iki?” seru Aisyah kebingungan.  Sesampainya di musala, azan sudah berkumandang. Jamaah berdatangan untuk menunaikan salat maghrib berjamaah. Suara terompah Abah Hasyim terdengar menuju halaman musala pertanda salat berjamaah akan segera dimulai. Abah Hasyim segera menuju bagian depan dan menjadi imam jamaahnya. Setelah selesai, sebagian jamaah pulang kembali ke rumah masing-masing, hanya tersisa para remaja musala murid mengaji abah Hasyim. Biasanya para remaja laki-laki mengaji bersama Abah Hasyim dan untuk remaja putri mengaji bersama Umi Hasyim. Namun, khusus malam itu, Abah Hasyim mengumpulkan mereka semua dan memberikan wejangan pada santri mengajinya. Di sebelah Abah Hasyim duduk seorang pemuda yang masih asing bagi mereka. Lelaki muda itu memakai atasan koko putih, bersarung hitam, dan berkopyah hitam pula. Dilihat dari style yang dipakainya, terlihat bahwa laki-laki muda itu seperti orang dari kota. Kulit sawo matang yang bersih, gaya rambut kekinian, baju koko bermerk bukan kaleng-kaleng, dan sarung yang bagus memberikan kesan elegan. Lelaki muda itu memiliki sepasang mata hitam yang tajam namun memancarkan kecerdasan. Di antara sepasang matanya ada segaris hidung mancung dan berlanjut ke bentuk bibir yang menarik. Cambang yang lamat-lamat bahkan sedikit tak terlihat menambah kesan seksi paras laki-lakinya. Perawakan tubuh yang gagah dan bahu tegap, lengan berotot, mencirikan lelaki khas Asia yang suka merawat tubuhnya dengan olahraga. Lelaki muda di samping Abah Hasyim itu memang terlalu indah untuk diceritakan ketampanannya. Seluruh santri mengaji memperhatikan penampakan elok yang masih asing itu, terutama santri putri yang mencuri-curi pandang sekilas. Imam sebagai ketua karang taruna di kampung itu sepertinya memahami situasi dan akhirnya mengucapkan salam untuk membuka suara. Setelah semua menjawab salam, Imam pun melanjutkan kata-katanya. “Teman-teman semuanya, malam ini kita mendapatkan sahabat yang baru saja datang tadi siang. Beliau bernama Mas Hanif. Mas Hanif ini menempati rumah dinas yang sudah lama kosong, yang ada di selatan musala ini. Jadi, Mas Hanif ini, di sini bertugas sebagai dokter puskesmas kecamatan. Untuk lebih jelasnya, monggo Mas Hanif silakan njenengan memperkenalkan diri kepada teman-teman di sini,” kata Imam mempersilakan laki-laki bernama Hanif itu untuk berkenalan. Hanif mengangguk dan memberikan senyuman ramah kepada semua santri mengaji. Hanif mengucapkan salam dan disambut antusias oleh seluruh yang hadir terutama santri putri. Terlihat beberapa santri putri tersenyum-senyum sendiri dan menyimak dengan saksama apa yang diucapkan Hanif. “Sahabat semuanya, kenalkan nama saya Hanif Wijaya Kusuma Rahardjo. Kalian dapat memanggil saya Hanif. Seperti yang disampaikan Kang Imam tadi, saya adalah warga baru di sini dan tinggal di rumah dinas sebelah. Terima kasih untuk teman-teman musala, Kang Imam, Abah Hasyim, dan warga di sini yang telah menerima saya dengan baik.” Setelah Hanif memperkenalkan diri, Abah Hasyim memberikan wejangan dan sekaligus memberikan doa untuk acara tasyakuran ulang tahun yang dibuat para santri untuk Imam. Imam yang tidak menyangka bahwa hari kelahirannya akan diperingati oleh teman-temannya merasa terkejut karena yang ia tahu malam ini hanya acara makan-makan gurita hasil tagkapannya. Ternyata banyak lauk dan makanan yang telah disiapkan oleh sahabat mengajinya. “Nak Hanif, ayo, jangan malu-malu. Ayo, silakan gabung dengan anak-anak lain!” kata Abah Hasyim yang melihat Hanif masih sedikit sungkan. “Enggih, Bah. Enggih, siap,” jawab Hanif tersenyum. Semua mulai menikmati acara tasyakuran di musala itu. Mereka mulai membagi makanan dan lauk untuk dimakan bersama-sama. Di antara semua yang hadir, ternyata ada seseorang yang merasa tidak nyaman sejak awal. Sekar berusaha duduk di belakang santri yang lain dan lebih banyak menunduk seolah-olah agar tidak ada yang melihat wajahnya. Ingin rasanya ia menutup mukanya dengan mukenanya yang lebar. “Aduh, jangan sampai dia mengenaliku. Ya Allah, lindungilah hamba-Mu ini,” kata Sekar dalam hati. Sekar mencuri pandang ke tempat duduk santri putra untuk memastikan bahwa laki-laki muda bernama Hanif itu tidak melihat dirinya. Saat melhat ke arah kelompok duduk Imam, mata Sekar menatap sosok Hanif yang secara kebetulan Hanif juga sedang melihatnya. Mata mereka bertemu sesaat sebelum Sekar buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. “Mati, aku. Kenapa juga dia lihat ke arah sini? Jangan-jangan dia mau nglaporin aku ke polisi, trus aku diminta ganti rugi kaca mobilnya. O, my God,” Sekar mengomel lirih. “Sekar, nyapo maneh,to?” Aisyah menepuk pundak Sekar. “Ee, eng…, enggak,” sahut Sekar sambil mengambil kue di depannya dan segera melahap dengan cepat. “Sekar, tolong isikan piring ini dengan nasi dan lauk secukupnya untuk Mas Dokter Hanif,” kata Imam yang tiba-tiba mendekat dan meminta tolong pada Sekar. Sekar terhenyak mendengar ucapan Imam. Tak lama kemudian, Sekar tersenyum sendiri. Senyum yang licik, tepatnya. Segera ia mengambil sebuah piring rotan dan kertas makan yang sudah digunting Aisyah. Diisinya piring itu dengan nasi dan krengsengan gurita serta beberapa lauk lain. Sekar menoleh ke kiri dan ke kanan. Sementara itu, tangan kanannya meraih semangkuk sambal diam-diam. Ambil ambil sambal beberapa sendok dan ia campurkan dengan krengsengan gurita yang ada di piring. “Hem, krengsekan gurita paling istimewa untuk Mas dokter,” kata Sekar dalam hati sambil tersenyum penuh arti. Beberapa menit kemudian, Imam mendatangi Sekar kembali dan membawa makanan di piring dari Sekar. Diberikannya sepiring nasi itu untuk Hanif yang sedang mengobrol dengan Amir. Lalu Imam kembali membawa piring berisi nasi untuk Amir dan dirinya sendiri. Kemudian mempersilakan Hanif dan santri lain untuk segera menikmati makanan acara tasyakuran itu. Hanif tampak semakin akrab dengan para remaja musala. Dokter muda itu memang memiliki karakter yang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Senyumnya yang ramah semakin membuatnya menjadi bintang baru yang bersinar di tengah para remaja kampung itu. Sepertinya, Hanif akan menjadi idola dan menggeser posisi Imam di hati para remaja putri di pesisir Peh Pulo. “Uhuk, uhuk, uhuk…,” Terdengar suara Hanif terbatuk-batuk dan terlihat wajahnya memerah. Imam segera mengambilkan segelas air mineral untuknya. Hanif segera meneguk hingga setengah. “Kenapa, Mas?” tanya Imam. “Oh, nggak apa-apa, Kang,” jawab Hanif mengulum senyum yang dipaksakan. Wajahnya makin memerah, seperti udang yang baru diangkat dari air panas. Hanif mengamati makanan yang ada di piringnya, kemudian melirik ke arah tempat duduk santri putri dengan penuh selidik. Dilihatnya Sekar yang sedang asyik mengobrol dengan beberapa temannya yang lain. Hanif menggelengkan kepala, kemudian melanjutkan menyenduk makanan di piring yang ia pegang. Ia sisihkan makanan gurita cabenya. *** (bersambung ke part 7)  CATATAN: “La piye to, kamu ki? Barang penting ini. Moment istimewa Kang Imam tidak boleh terlewatkan. Lumayan, gawe delok-delokan sadurunge turu,”  = La gimana kamu ini? Moment istimewa Kang Imam tidak boleh terlewatkan.Lumayan, buat dilihat -lihat sebelum tidur. “Halah, uwes. Ayo, ndang budal!”  = Halah, ayo, cepat berangkat! "Nyapo to, Cah iki?" = Kenapa ya, anak ini? Enggih =Iya (Jawa)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD