(Part 7)
By: #ElifiaTaraka
POV : Penulis
Hanif tampak berjuang menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Sesekali ia mendesis karena lidahnya tak dapat menahan rasa pedas dan panas. Meskipun krengsengan gurita itu sudah disisihkan, rupanya bagian lain juga terkena rasa pedas dari cabe yang menguar di piringnya. Wajahnya semakin memerah dan berkali-kali ia meneguk air mineral hingga tiga gelas plastik ia habiskan.
Sebenarnya, bisa saja ia menaruh piringnya dan tidak memakannya. Namun, hatinya merasa tidak enak dengan yang lain. Sebagai warga baru, Hanif berusaha memberikan kesan baik dan tidak ingin menyinggung semua yang hadir di sana.
Tampak Hanif beberapa kali mencuri pandang ke arah Sekar dengn sorot mata tajam seolah-olah akan membuat perhitungan. Gadis itu terlihat duduk di belakang teman-temannya sedang menikmati makanan.
Beberapa waktu kemudian, acara tasyakuran selesai. Setelah membereskan peralatan makan dan bersih-bersih, mereka berkemas untuk menunaikan salat Isya berjamaah. Selepas Isya, seluruh santri mengaji berpamitan dengan Abah dan Umi Hasyim untuk pulang ke rumah masing- masing.
Seperti yang lainnya, Hanif beranjak dari duduknya dan melangkah ke luar musala untuk kembali ke rumah. Saat di depan musala, Hanif menyapukan pandangannya berusaha mencari seseorang. Ia melihat ke sekeliling, namun yang dicarinya tak juga ia temukan. Dengan muka kecewa, Hanif segera berjalan pulang menuju rumah dinasnya.
Sementara itu, Sekar dan Aisyah ditemani Imam berjalan pulang.
“Kang Imam, em…, Ais mau ngasih sesuatu untuk Kang Imam,” kata Aisyah sambil menyodorkan sebuah kado yang dibungkus kertas merah.
“Apa ini, Ais?” kata Imam sambil mengernyitkan dahi.
“Tolong diterima, ya, Kang,” kata Aisyah malu-malu.
“Maturnuwun, Ais. Kamu tidak perlu repot-repot begini sama Kang Imam,” kata Imam merasa sedikit tidak enak.
“Ah, enggak kok Kang. Ais senang kalau Kang Imam mau nerima pemberian dari Ais,” jawab Aisyah sambil tangannya meremas ujung kerudungnya.
“Ehm…,” Sekar berdehem.
“Kenapa kamu? Batuk?” tanya Aisyah.
“Nggak, terusno wae. Dunia milik berdua, kan?” jawab Sekar.
Imam terlihat tidak senang mendengar jawaban Sekar. Imam berpikir, apakah Sekar sedang cemburu? Ah, tidak mungkin. Selama ini Sekar mungkin hanya menganggap dirinya sebatas kakak saja meskipun dalam hati kecil Imam ingin meminta lebih dari sekedar itu.
“Kang Imam, Sekar juga punya sesuatu untuk Kang Imam,” kata Sekar dengan riang sambil mengeluarkan bungkusan kecil dari tasnya.
“Ini, Kang. Semoga Kang Imam suka,” lanjutnya sambil menyerahkan bungkusan biru itu untuk imam.
Imam terlihat antusias menerima pemberian Sekar. Tanpa malu ia membuka bungkusan saat itu juga di depan sang empu pemberinya.
“Kok, dibuka sekarang?” tanya Sekar.
“Rapopo,” jawab Imam sambil tangannya merobek kerta bungkusan itu dan membukanya.
Sebuah kain ikat kepala berwarna hitam yang terdapat tulisan SI-Best Friends Forever dari sulaman yang indah. Imam tertegun membaca tulisan itu. ia tahu artinya. Huruf “S” adalah Sekar, huruf “I” adalah Imam. Ia menyukainya, namun kalimat di belakangnya ia tak suka. Imam berharap tulisan itu berubah menjadi “Love Forever”. “Jangan ngarep, Imam. Harapanmu terlalu tinggi. Begini saja sudah baik daripada tidak,” suara hati Imam meratap lirih tanpa ada yang mendengarnya.
“Kenapa, Kang Imam? Kang Imam tidak suka, ya?” tanya Sekar membuyarkan lamunannya.
“Ah, tidak, tidak. Aku seneng, seneng banget Sekar. Maturnuwun, yo, cah ayu,” kata Imam berusaha menguasai durinya kembali.
“Kang Imam, kado dari Ais kok tidak dibuka? Kenapa hanya dari Sekar yang dibuka?” protes Aisyah dengan wajah cemberut.
Aisyah merasa kecewa karena perlakuan Imam ke dirinya snagat berbeda dengan perlakuannya terhadap Sekar. Aisyah selama ini tahu, bahwa Imam diam-diam menyukai Sekat. Namun, Aisyah juga tahu, bahwa Sekar selama ini hanya menganggap Imam sebagai seorang kakak saja, tak lebih. Berarti dirinya tidak perlu bersaing , tetapi harus menambah semangat lagi untuk mengerjar Imam.
“Iya, iya. Punya kamu juga Kang Imam buka. Kamu jangan nangis, yo,” kata Imam sambil mebuka kado milik Aisyah.
Aisyah pun kembali tersenyum saat Imam membuka kado darinya. Sebuah baju koko warna coklat muda yang pas ukurannya dengan Imam.
“Ya Allah, Ais. Kamu kok tahu ukuran bajuku?” tanya Imam heran.
“Ais kan perhatian sama Kang Imam,” sahut Sekar sambil melirik ke Aisyah.
“Piye, Kang? Suka. Pokoknya, semua tentang Kang Imam, Ais itu tahu,” jawab Ais sambil tersenyum- senyum sendirian karena teringat bagaimana ia beberapa hari yang lalu diam-diam mengambil baju Imam di jemuran untuk dilihat ukurannya. Aisyah puas karena usahanya selalu tak sia- sia.
“Kamu ojo cengengesan koyo ngunu,” kata Sekar mencubit lengan Aisyah.
“Ya, sudah. Maturnuwun, Ais. Semoga Gusti Allah yang membalas kebaikan kamu. Yuk, kita pulang!” kata Imam mengajak mereka melanjutkan perjalanan pulang.
“Sama-sama, Kang. Semoga Kang Imam selalu sehat, panjang umur, dan dapat ikan banyak tiap hari, dan makin sayang sama Ais,” kata Ais dengan gembira.
Imam tersenyum mendengar celoteh Aisyah. Ia mengibaskan baju koko coklat muda itu ke wajah Aisyah dan dibalas Aisyah dengan dengan pukulan kecilnya. Mereka pun terbahak bersama dalam perjalanan menuju rumah masing-masing dalam malam yang merangkak menuju larut.
***
(Bersambung ke part 8)
CATATAN :
Rapopo = tidak apa-apa
Maturnuwun = terima kasih
"Nggak, terusno wae!" = Tidak, lanjutkan saja!
"Piye, Kang?" = Bagiamana, Kak?
"Kamu ojo cengengesan koyo ngunu," = Kamu jangan cengengesan kayak gitu