Bab 4 – Pemasrahkan Kepada Pak Kyai

1101 Words
“Ini tidak Fair, Papa! Faiz mau pulang.” Kata Faiz.   Surya sudah memikirkan permintaan anaknya tersebut dan sudah memikirkan masak-masak semuanya.   “Perjanjian adalah perjanjian. Kalau kau meminta pulang saat ini, Papa anggap kau setuju untuk tidak membuat ulah lagi dan tidak pernah lagi meminta mama dan papa untuk kembali bersama.” Kata Surya tersenyum licik.   Seketika Sang Kyai yang biasa di panggil Abah pun datang. Beliau merasa bingung mengenai apa yang terjadi.   Faiz masih berdiri dan hendak pergi namun seketika dia menangkap sebuah wajah cantik yang menyembul di balik tembok. Faiz seketika terperangah melihat kecantikan yang ada di wajah gadis cantik yang terlihat sekali sedang mengintip aktivitas yang ada di ruang tamu.   “Pak Kyai.” Kata Endang sambil mengulurkan tangan. Abah langsung tersenyum dan menjabat tangan Endang. Kemudian, Surya pun melakukan hal yang sama.   “Duduk-duduk.” Kata Abah.   Seketika pandangan Faiz dengan gadis tersebut bertemu. Gadis itu melotot dan langsung pergi karena merasa ketahuan oleh Faiz. Tanpa sadar Faiz pun tersenyum.   Surya menarik Faiz untuk duduk. Bagaimana pun dia masih punya sopan santun, dia juga tidak mau kalau anaknya terlihat tidak sopan. Lagi-lagi Surya terus menjaga citra atau nama baiknya.   Endang melirik Surya, dia merasa bingung ingin melanjutkan acara penyerahan Faiz tau tidak jadi.   “Mohon maaf Pak Kyai. Awalnya kami ingin memasukkan anak kami ke pondok pesantren ini, namun sepertinya anak kami tidak mau.” Kata Surya.   “Eh, tidak Pak Kyai. Saya benar ingin masuk pesantren.” Kata Faiz.   Surya dan Intan saling pandang dan terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Faiz. Pasalnya, mereka sudah memikirkan masak-masak  tindakan mereka ini.   “Tadi bukannya kamu sudah mengatakan kalau tidak mau?” tanya Surya.   “Iya, sekarang sudah berubah pikiran, Pa.” kata Faiz.   Jiwa muda Faiz begitu menggelora saat melihat gadis yang dia lihat sebelumnya mengintip tersebut, ntah mengapa dirinya seperti merasakan cinta pada pandangan pertama. Gadis itu terlihat begitu cantik di matanya.   Tak lama kemudian, seorang gadis cantik datang dan membawakan minum, dan dengan sopan meletakkannya di atas mejanya. Gadis itu menunduk menghindari pandangannya sedangkan Faiz terus menatap lekat gadis tersebut.   “Kamu cantik sekali, Nak.” Kata Intan kepada gadis itu.   Gadis itu tersenyum malu-malu, “Terima kasih, Bu. Saya permisi dulu.” Katanya. Dia melirik Faiz sekilas. Hal tersebut membuat jantung Faiz berdegup dengan kencang.   “Ah, namanya Anindya Athaya Zahran, anak saya.” Kata Abah memperkenalkan anak semata wayangnya.   Anindya Athaya Zahran. -batin Faiz yang terus mengeja nama gadis cantik yang berhasil mengambil perhatiannya itu. Dia mengulang-ulang nama itu di kepalanya hingga dia hafas. Dia tidak mau melupakan nama gadis tersebut.   “Bagus sekali namanya. Dia juga terlihat sopan dan cantik.” Kata Intan mengomentari.   Abah terkekeh dan mengangguk. “Jadi, bagaimana, Nak?” tanya Abah kepada Faiz.   “Faiz mau Pak Kyai. Faiz mau pesantren di sini.” Kata Faiz dengan mantap.   Surya mengepalan tangan, anaknya benar-benar tidak bisa ditebak.   “Pesantren ini jauh dari Jakarta.” Kata Surya mencoba menggoyahkan keinginan anaknya.   “Tidak masalah, Pa. Lagian kalau dekat Jakarta bisa selalu pulang.” Kata Faiz.   “Pesantren ini jauh dari pusat kota dan jalan besar.” Kata Surya lagi.   “Justru suasananya akan emndukung untuk Faiz belajar, Pa.” Kata Faiz.   Surya mencoba memutar otaknya kembali, “Di pesantren ini dilarang pacarana.” Kata Surya.   Surya mulai menebak kalau perubahan yang dialami anaknya adalah karena anak Abah tadi karena dia melihat anaknya tidak melepaskan sedikitpun pandangannya dari gadis tersebut sebelumnya.   Abah yang mendengar apa yang dikatakan oleh Faiz dan Surya terkekeh. “Sepertinya anakmu sudah sangat mentap mau masuk pesantren ini. Betul?” tanya Abah kepada Faiz.   “Iya, sangat betul sekali.” Kata Faiz ikut terkekeh.   Surya menyikut anaknya agar diam. Faiz pun langsung terdiam.   Setelah memutar otak secara terus menerus, akhirnya Suryapun mengambil keputusan yang serius.   “Kami permisi sebentar Pak Kyai.” Kata Surya.   “Oh, iya, silakan.” Kata Abah.   Surya pun memerintah Faiz untuk mengikutinya melalui matanya. Faiz pun mengekori ayahnya dengan senang hati.   “Apa kau mengubah keputusanmu karena gadis itu?” tanya Surya seketika.   Faiz terkekeh dan mengangguk. Dia tidak tahu kalau ayahnya mengamati gerak geriknya. Apa begitu terlihat? Batin Faiz terus menerus bertanya.   “Apa terlihat sekali, Pa?” tanya Faiz dengan wajah tanpa dosa.   “Papa tidak melarangmu untuk berbuat apapun di sini. Papa membebaskanmu. Papa juga tidak peduli kalau niatmu di sini hanya untuk mendekati gadis tadi cuma satu pinta papa. Jangan sampai kenakalanmu sampai ke telinga papa dan media. Kalau itu terjadi, papa tidak akan menganggapmu sebagai anak papa lagi.” Kata Surya.   “Tunggu saja, Papa. Faiz akan pastikan kalau papa dan mama akan kembali lagi dan kita bisa hidup bahagia bersama.” Kata Faiz.   “Ck, kamu terlalu percaya diri. Baiklah, kita lihat seberapa kuat kamu di pesantren. Dekatilah dia, dan cepatlah pulang ke rumah dan menjadi anak baik.” Kata Surya. “Perusahaan papa menunggumu.” Lanjutnya.   “Hahaha sayangnya dalam waktu dekat ini Faiz tidak akan kembali ke rumah, Pa. Tunggu empat tahun, Pa. Akan Faiz buktikan kalau kalian bisa bersama lagi.” Kata Faiz.   “Papa sangat mengenalmu. Kita lihat saja nanti.” Kata Surya.   Di saat-saat seperti Faiz seperti tengah bercermin. Dia menyadari kalau sifat dirinya menurun dari ayahnya yang kini tengah menatapnya.   Faiz tersenyum, “Kita lihat saja, Pa.” katanya.   Lalu surya dan Faiz pun langsung masuk ke dalam rumah Abah. Kali ini Ayah Faiz sendiri yang memasrahkan anaknya kepada Abah. Padahal, awalnya yang akan memasrahkan Faiz adalah Endang, supir yang sudah berpengalaman memasukkan anak ke pesantren.   “Mohon bantuannya, Pak Kyai. Saya pasrahkan anak saya untuk didik di pondok ini oleh Pak Kyai dan semua guru-guru yang ada di sini. Kalau anak saya nakal nantinya, saya tidak keberatan kalau anak saya didisiplinkan dengan hukuman apapun. Saya tidak akan marah ataupun menuntut kalau hal tersebut terjadi selagi masih berada dibatas wajar.” kata Surya.   Intan terdiam, dia mengamati mantan suaminya yang masih terlihat begitu dewasa di matanya. Dia juga merasa kalau mantan suaminya itu terlihat sangat mengagumkan.   “Saya akui anak saya memang bukan anak yang baik, namun saya sangat berharap didikan di pesantren ini akan membuatnya perlahan kembali ke jalur yang benar.” Kata Surya.   Faiz di tempatnya rasanya ingin protes karena secara impisit, ayahnya mengatakan kalau dirinya sudah salah jalur. Namun, Faiz tidak berani menyuarakan apa yang ada dalam kepalanya karena dia takut kalau keberadaannya tidak diterima oleh Abah selaku pemilik pondok pesantren.   Faiz pun mengedarkan pandangannya ke arah lain dan pandangannya kini tertuju kepada pintu ke dalam tempat gadis pujaan hatinya pergi.   “Pak Kyai, maaf, boleh saya izin ke toilet?” tanya Faiz meminta izin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD