New Beginning

1841 Words
Jakarta—August, 2010. Lyssa.             Aku menapakkan kakiku di pelataran rumah Om Ridwan dan Tante Elisa. Mereka adalah orangtuaku sekarang. Setidaknya selama kurang lebih empat tahun nanti, aku akan tinggal di rumah mereka, saudara dari ayahku yang berada di Ibukota. Mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Bill—aku memanggilnya Kakak—yang lebih tua dariku dua tahun. Kita berada di fakultas dan universitas yang sama.             Kalian ingin tahu apa yang akan kupelajari secara khususnya selama—mungkin—empat tahun ke depan ini?             Ilmu hukum.             Banyak keluarga besar dari ibuku yang tidak menyetujui jika aku berkuliah di jurusan tersebut. Entahlah, banyak sekali ocehan yang mereka lontarkan kepadaku. Mulai dari alasan aku yang memiliki keturunan Tionghoa, aku yang perempuan, aku yang anak bungsu, dan masih banyak alasan lainnya yang membuat keluarga ibuku terus-menerus mengatakan tidak ‘jangan kuliah hukum.’             Heran, sebenarnya apa yang salah dengan jurusan yang kuambil?             Pada intinya, mereka semua memang mengatakan lebih baik ambil ilmu ekonomi, manajemen, akuntansi, atau marcom (marketing communication).             Oh, ayolah! Mengapa harus hal-hal yang berbau ekonomi. Pertama, aku tidak suka akuntansi, dan marketing. Menurutku, cukup sudah belajar akuntansi selama SMA, berkutat dengan uang-uang imajiner yang tak nyata dalam kehidupan nyata. Buatku, akuntansi adalah beban hidup selama SMA. Marketing, bukanlah hal yang menyenangkan untukku bagian pemasaran, menjual omongan, janji-janji bukan tipeku. Ilmu ekonomi bukan ilmu yang mudah untuk dipraktikkan. Semua orang bisa berteori mengenai pembangunan ekonomi yang ideal dan membangun skema yang sebagus mungkin. Namun, tidak akan semudah itu untuk menjalankan idealisme yang ada di dalam ilmu ekonomi. Kalau begitu, bagaimana dengan manajemen?             Buatku, manajemen adalah jurusan sejuta umat, yang memiliki banyak lulusan, sehingga menurutku manajemen bukanlah jurusan yang menarik untuk dipelajari. Label pasaran yang melekat pada manajemen adalah alasan utamaku tidak mau manajemen—meskipun ayahku sendiri juga lulusan manajemen.             “Ospek besok gimana Lys?” tanya Kak Bill yang muncul di ambang pintu kamar tidurku yang terbuka lebar-lebar. Aku sengaja membukanya lebar-lebar karena aku masih harus mengurus beberapa barang yang belum sempat aku benahi dari seminggu lalu sejak aku sampai di Jakarta. “Kangen pantai?”             Mendengar kata ‘pantai’ membuatku tersenyum masam. Aku memang merindukannya. Tentu saja aku merindukannya. Aku dibesarkan di Bali, dimana aku setiap pulang sekolah kerjaanku adalah jalan-jalan di Kuta, Sanur maupun Jimbaran. “Kok tahu sih Kak?”             “Jelaslah, kamu dari tadi aja merhatiin foto itu mulu,” balas Kak Bill, menunjuk pada sebuah bingkai foto yang berisi kolase foto-fotoku bersama teman-teman SMA-ku, orangtuaku, dan kakak-kakakku. Semuanya berlatar pantai. “Kalau liburan nanti Kakak ajak kamu ke pantai juga deh. Tapi nggak jamin bakal banyak bulenya kayak di Bali. Pantai di sini banyaknya turis lokal.”             “Di mana tuh Kak? Ancol?” tanyaku, “Kalau cuma di Ancol sih nggak usah deh. Itu mah bukan pantai. Masa masuk pantai aja harus bayar. Kalau bayar parkir sih okedeh, aku terima. Cuma, ini bayarnya tiket masuk per orang, tiket mobil. Dikata wahana kali pantainya, mending bagus. Ini bagus juga nggak.”             “Ngomongnya tuh di kontrol dong Lyssa,” tegur Kak Bill sambil tersenyum, “Ngomong kok kayak kereta? Di bablas semua.”             “Iya Kak, iya. Emangnya di mana?”             “Ke Tanjung Lesung. Disana, pantainya lumayan,” balas Kak Bill, “Harga nginepnya juga lumayan. Jadi, kalau memang mau ke sana, kita nabung dulu. Jamin, kamu nggak akan rengek-rengek minta pulang ke Denpasar deh kalau udah tahu asyiknya Jakarta.”             Semoga saja begitu.             “Iya deh Kak.” Aku masih membenahi barang-barangku. Kebanyakan adalah koleksi novel yang kubawa dari rumah, bonekaku, dan beberapa dekorasi kamar seperti poster yang menjadi semua impianku.             Medical law.             Stanford University.             Universiteit Utrecht.             Kutipan-kutipan quote dari Kahlil Gibran, Mark Twain, Charles Dickens, dan sastrawan lainnya. Dan juga, kutipan untuk mengampuni orang lain.             Dari semua kutipan sastrawan itu aku sengaja mengambil beberapa quote tentang hal mengampuni dari beberapa orang, dan ada juga yang tidak dikenal. Aku punya alasanku tersendiri mengapa aku memasangnya.             Aku belum bisa mengampuni Carol.             Ya, Carol dan Miguel.             Dua orang yang sudah menyakitiku, dan membuat hatiku hancur selama tiga tahun di dunia putih abu-abuku.             “Forgiving does not erase the bitter past. A healed memory is not a deleted memory. Instead, forgiving what we cannot change creates a new way to remember. We change a memory of our past into a hope of our future.” Kak Bill membaca sebuah kutipan quote yang kutempeli di lemari. “Louis Smedes? Kenapa kamu tempel itu?”             “Karena aku belom bisa mengampuni Carol.”             Kak Bill sudah pernah kuceritai mengenai Carol dan Miguel. Apa yang telah mereka perbuat kepadaku, apa yang membuatku benar-benar sulit untuk melupakan apa yang mereka lakukan.             “You know what, Sist?” tanya Kak Bill yang kini sudah mengambil tempat duduk di sebelahku, bersandar pada ranjang. Aku pun juga melakukan hal yang sama dan mendengarkan Kak Bill. “You’re worth for happiness. Kamu anak yang baik, Lys—disamping keras kepala, ceroboh, dan cerewet. Even you’ve been betrayed by Carol, but you’re still good, and being nice to both of them.”             Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Kak Bill.             “Kak, kalau aku baik, itu karena aku memang harus berbuat baik pada mereka. Akan konyol ceritanya jika Mama sama Papa bertanya kenapa aku sama Carol diem-diemankan? Jadi, dari pada aku nyusahin diri sendiri buat cerita apa yang terjadi diantara hubungan antar sepupu ini, lebih baik aku bersikap baik dan tersenyum saja.”             “Udah maafin mereka?” tanya Kak Bill.             Aku menggeleng.             “Udah lupain masalahnya?”             “Pengampunan setidaknya terjadi jika kita bisa melupakan apa yang telah mereka, jika tidak mendapatkan permintaan maaf dari orang yang bersangkutan.” Aku menarik napas dalam-dalam sambil menoleh pada Kak Bill dan tersenyum getir. “Aku tidak pernah mendapatkan permintaan maaf dalam bentuk apapun dari Carol ataupun Miguel. Aku juga tidak bisa melupakan apa yang sudah mereka lakukan padaku. Jujur itu menyakitkan.”             “Selama tiga tahun?”             “Mungkin lebih dari tiga tahun nantinya.”             “Kamu nggak harus menyiksa diri kamu sendiri dengan sakit hati yang berlarut-larut, Lys,” kata Kak Bill sambil mengusapkan telapak tangannya beberapa kali di puncak kepalaku. Kak Bill memang sudah lama ingin memiliki seorang adik perempuan. Sejak pertama kali aku datang, Kak Bill selalu bersikap lembut dan menyayangiku bagaikan adik kandungnya sendiri.             “Aku nggak pernah menyiksa diriku sendiri.”             “Kalau begitu kenapa kamu nggak pernah pacaran?” tanyanya.             “Aku...”             Aku tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaan yang ada di dalam hatiku tentang alasan yang membuatku tidak pernah pacaran. Kuakui, aku memang ingin berpacaran saat SMA, dan menikmati indahnya kasmaran di kala SMA. Namun, sejak Carol dan Miguel berpacaran, aku tidak bisa menyukai orang lain lagi seperti aku menyukai Miguel.             Dengan degupan jantung tak keruan. Keinginan untuk melihatnya lebih sering tiap hari. Perasaan yang luar biasa bahagia setiap kali mendapatkan kiriman pesan darinya ataupun tiap kali aku berbicara dengan Miguel.             “Kamu aja nggak bisa jelasinkan? Tandanya kamu benar-benar menyukai Miguel—terlalu menyukainya—dan takut jika hatimu sakit lagi.”             Aku termenung dengan ucapan Kak Bill.             “Come to me whenever you need shoulder to cry on,” kata Kak Bill sambil beranjak, “I’ll be you trash can for every boy that come to chase you. Kamu adikku.”             Aku hanya tersenyum tipis, dan Kak Bill meninggalkanku di kamar sendirian.             Sejujurnya, apa yang dikatakan oleh Kak Bill memang benar adanya.             Aku takut sakit hati—lagi. ——————————             Aku berjalan ke kampus.             Hm... sebenarnya nggak jalan sih. Aku diantar oleh Kak Bill untuk ke kampus, dengan motornya. Aku sendiri sebenarnya tidak ada masalah sama sekali untuk jalan kaki ke kampus. Namun, Om Ridwan ngotot mengatakan padaku untuk diantar oleh Kak Bill saja.             Sebagai keponakan jauh yang numpang di rumahnya Om Ridwan, aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Sungguh.             “Hati-hati ya Lys,” kata Kak Bill, dengan wajah yang tertutup dengan helm hitamnya. “Nanti kalo udah beres, telpon Kakak, biar dijemput.”             Aku mendengus kesal, “Nggak usah Kak. Aku punya kaki sendiri kok, masih bisa jalan pulang. Lagian jarak rumah ke kampus nggak sampai beribu-ribu kilometer kok.”             “Jadi anak cewek kalo dibilangin tuh nurut aja, Lys,” kata Kak Bill sambil menyentil dahiku. Aku pun tersenyum kecil karenanya, lalu akupun mengangguk sebagai jawabannya untuk menurut dengan ucapannya. “Oke ya. Kakak pergi dulu. Kalo kamu nggak telpon, Kakak yang telpon kamu!”             “Iya Bawel!” balasku.             Motor Kak Bill pun pergi melaju meninggalkanku.             Aku pun melihat gedung fakultas hukum dari universitas yang kumasuki ini. Salah satu universitas swasta yang ada di Jakarta, dan memiliki akreditasi fakultas hukum terbaik di Jakarta. Cukup bangga bagiku untuk bisa menjadi mahasiswa di universitas ini—terlepas dari sakit hatiku karena gagal di SNMPTN dan SBMPTN.             Banyak anak-anak—yang kuyakini mereka juga mahasiswa baru—yang menunggu di depan gedung itu sambil bercakap-cakap. Mungkin mereka sudah saling kenal.             Sementara aku?             Ayolah, aku ini anak rantau dari Denpasar yang tinggal bersama saudara dari ayahku, dan aku disini layaknya orang asing. Meskipun kalian bisa berpikir kalau Denpasar adalah kota yang cukup besar juga, tapi jangan bandingkan dengan Ibukota Indonesia ini. Aku benar-benar seperti di asingkan, dan aku sekarang ketakutan.             “Namamu siapa?” tanya seseorang dari belakangku. Aku tidak menolehnya, karena aku pikir dia belum tentu benar-benar menyakan aku. Tak lama, aku mendengar suara yang sama lagi, dan orang itu menepuk pundakku, seolah dia mengatakan, aku emang nanyain kamu. Barulah aku menoleh dan melihatnya.             Seorang perempuan, memiliki tinggi yang sama denganku, dia berambut pendek, dengan mata bulat dan hidung yang mancung, bibir tebal. Dia memakai polo putih berkerah dengan jins biru dan sepatu kets. “Jadi namamu siapa?” tanyanya sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya.             Aku pun balas mengulurkan tanganku, berjabatan dengannya sambil melontarkan senyuman. “Alyssa Parahita.”             “Namamu bagus. Panggilannya?”             “Lyssa aja,” balasku. “Kamu?”             “Sasa. Sabrina Julia,” balasnya. “Fakultas hukum juga?”             Aku sedikit menahan tawaku, “Keliatannya? Lagian inikan emang gedung fakultas hukum.”             Sasa pun ikut tertawa, “Iya juga sih. Pertanyaan gue emang bodoh. Eh iya, kenalin juga nih, namanya Dea.” Seorang gadis dengan rambut tebal, memakai kacamata, dengan gingsul di giginya itu tersenyum sambil mengulurkan tangan seperti Sasa tadi. “Temen kos gue.”             “Lyssa,” kataku.             “Andrena. Tapi biasa dipanggil Dea aja,” balasnya. “Bukan orang sekitar Jakarta ini ya?”             Aku mengangguk.             “Dari mana?” tanya Sasa antusias.             “Denpasar.”             “Wih, anak pantai!” seru Dea. “Nggak napa, santai aja. Jakarta emang keras, tapi bukan berarti lo lemah kalo nggak bisa beradaptasi dengan lingkungan macam Jakarta ini. Nanti juga kebiasa kok.”             “Kalian dari mana?” tanyaku balik.             “Bandung,” kata Dea.             “Bekasi,” balas Sasa. “Deket ya? Tapi gue bisa tua dijalan kalo tiap hari bolak-balik Bekasi-Jakarta. Lumayan di ongkos, lumayan di tenaganya juga.”             Itulah awal perkenalanku dengan kedua temanku, yang kemudian menjadi sahabat dekatku selama aku berada di sini.             Sabrina Julia.             Andrena Margareth.             Setidaknya aku bisa sedikit melupakan rasa sakit hatiku kepada Carol dan Miguel.             Setidaknya begitu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD