Faculty Day

1718 Words
Jakarta, September 2010. Lyssa.            “Yang jadi mahasiswa baru. Tugasnya udah banyak aja ya sebelom kuliah,” ledek Kak Bill dengan seringaian. “Mau aku bantuin nggak?”             Aku mendesah kesal. Kurang asem juga ya Kakak yang satu ini. Adiknya lagi kesusahan, bukannya dibantuin malah diledekin pula! “Bantuin napa Kak? Jangan ngeledekin gitu dong..”             “Lah ini makanya aku tanyain kamu Lys, mau dibantuin nggak?” tanyanya lagi dengan senyum sambil menahan tawanya, “Jangan ngeluh mulu dong. Mau aku bantuin apa nih? Buat name tag? Buat buku tanda tangan? Atau mau dibantuin cari perlengkapan?”             “Buatin name tag aja deh Kak,” kataku. Aku pun menyerahkan kardus, kertas warna, selotip, gunting dan tali rafia pada Kak Bill. Wajahku masih kusut karena aku masih tidak bisa terima kenyataan dengan tugas yang diberikan oleh pantia faculty day.             Sungguh, mereka menyebalkan.             Mereka menyuruh peserta untuk mencari tanda tangan angkatan di atas kami. Alasannya sih, supaya bisa lebih kenal sama anak-anak angkatan atasnya. Katanya mereka juga, kenal sama kakak angkatan itu penting, karena kita juga nanti pasti akan butuh bantuan mereka.             Buatku, masalah butuh bantuan kakak angkatan sepertinya bukan masalah yang penting. Toh, aku sudah punya Kak Bill yang bisa membantuku untuk setiap tugas yang aku harus kerjakan. Kak Bill terkenal pintar, dan rajin di angkatannya. Aku yakin aku tidak perlu bantuan kakak angkatan lain untuk mengerjakan tugas macam apapun.             “Gimana menurut kamu anak-anak hukumnya?” tanya Kak Bill sambil memotong kardus menjadi bentuk bintang dengan lima sudut. “Anak hukum angkatan kamu gimana?”             “Anggapan jujur atau bohong?”             “Jujurlah, Lys. Orang hukum emang banyak bohongnya, tapi seenggaknya jujurlah untuk hal yang satu ini loh.” Kak Bill menatapku serius. Dia sengaja meletakkan gunting dan kardus yang dipegangnya untuk konsentrasi mendengarkan pendapatku mengenai teman-teman angkatanku.             Aku pun menarik napas dalam-dalam. “Sejujur-jujurnya ya Kak, anak-anaknya itu ngeselin, cowoknya lemes banget mulutnya. Tiap kali ada yang bicara di depan, mereka ikutan ngomong. Giliran disuruh kasih pendapat, merekanya pada diem! Maunya apaan sih!? Mereka itu cewek atau cowok? Yang ceweknya aja nggak secerewet mereka!”             Kak Bill kembali menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengulum senyum. “Kamu tuh Lys, mulutnya ya kebiasaan lagi. Jangan nyerocos terus. Ambil napas dong kalo lagi cerita.”             “Kebawa emosi Kak,” balasku dengan wajah kusut maksimal.             “Jangan masuk UKM debat ya kalo gitu,” saran Kak Bill, dengan senyum, dia pun mengambil gunting dan kardus lagi untuk kembali digunting. “Kalo kamu emosian bisa ancur itu ruang debat nantinya.”             “Aku juga nggak suka debat kok.”             “Kalo kamu mau kenal banyak sama orang pinter, ikut debat, biar kamu ikutan pinternya,” jelasnya, “Ada cowok-cowok gantengnya juga kok. Yang pasti, lebih ganteng dibandingin Miguel.”             Aku berdecak kesal. “Ya tetep aja Kak, aku nggak suka debat. Lagian aku nggak ada niatan buat jadi anak yang menonjol kok di kampus.”             “Terus kamu mau jadi kupu-kupu? Kuliah pulang, kuliah pulang?”             “Ya nggak jugalah.”             Aku sendiri berpikir jika kerjaku hanya kuliah pulang, kuliah pulang, setelah lulus nanti aku mau jadi apa? Memang sih, Mama dan Papa memiliki bisnis EO. Tapi percuma saja aku kuliah hukum jika aku ujung-ujungnya hanya kerja di kantor EO-nya orangtuaku di Denpasar. Malu-maluin tahu.            Bisa-bisa kalau seperti itu, aku cuma jadi ibu rumah tangga lagi setelah lulus. Idih! Amit-amit! Nggak mau ah!             Aku kan bercita-cita jadi konsultan hukum untuk bidang kesehatan. Cita-citaku nggak boleh mandeg ditengah jalan gini dong!             “Denger-denger kamu dulu aktif di OSIS?”             Aku hanya menggumam sambil melanjutkan membuat tabel tanda tangan.             “Nggak minat ikut Senat?” tanya Kak Bill, “Ketuanya angkatan aku tahun ini. Jamin, kamu langsung lulus seleksi kalau kamu mau daftar. Kalo alesan kamu takut IP jelek, itu sih alesan basi. Kakak jamin kamu nggak mungkin dapet IP jelek.”             Aku menahan tawaku sambil melihat Kak Bill skeptis. “Kak, Kakak jangan sotoy gitu dong.”             “Kamu itu pinter, Lys.” Kak Bill kembali menatapku lekat-lekat. “Percayalah.”             Aku masih menatapnya bingung. “Kakak tuh yakin dari segi mananya sih?”             Kak Bill tiba-tiba mengeluarkan ponselnya, dia memperlihatkan sebuah foto kertas yang dikirimkan oleh kakak sulungku, Aldi. Foto itu adalah foto hasil psikotes yang aku lakukan saat aku masuk kelas tiga kemarin.             “Kamu sengaja nggak mau ambil Udayana waktu SNMPTN kemaren bukan?” tebaknya, “Kamu sengaja ambil UI, supaya kamu bisa menjauh dari Miguel dan Carol. Terus waktu SBMPTN, kamu malah dengan konyolnya pilih universitas yang peminatnya luar biasa banyak. UI, Brawijaya, Hasanuddin. Sementara, kamu nggak ambil Udayana—yang persentase diterimanya besar. Apa coba alasannya?”             Menurutku, memang percuma saja jika aku berusaha berbohong dengan Kak Bill. Orang ini macam cenayang profesional yang dapat membaca pikiranku. “Iya emang sengaja aku nggak mau ambil Udayana. Apalagi kalo masuk situ aku harus ketemu Miguel terus-terusan. Males banget.”             Kak Bill mengusap puncak kepalaku, dia melontarkan senyuman hangatnya. “Hatimu terlalu lembut untuk disakiti ya? Makanya kamu nggak bisa lupain perbuatan mereka.”             “I’m not moving yet, Kak.”             “I know. Cobalah buat cari anak angkatan kamu.”             “Nggak ada yang bagus. Mereka ngeselin semua.”             “Tak kenal maka tak sayang—kata pepatah sih gitu. Makanya coba kamu kenalan, siapa tahu bisa sayang beneran,” jelas Kak Bill dengan seringaian isengnya.             Aku membulatkan mataku, lalu memukul lengannya. “Ogah ah! Nggak mau cari anak hukum.”           “Ati-ati kemakan omongan sendiri aja sih. Kamu belom liat kakak angkatan kamu yang anak hukumnya kan?”             Aku menggeleng. “Emang mereka oke?”             “Nanti kamu juga lihat pas minta tanda tangan. Kerjain sana tugasnya yang bener.”             “Okidoki Bos!” aku cengengesan sambil memamerkan rentetan gigiku yang rapih. —————————— Denpasar, September 2007.             Aku pulang sekolah, dan Miguel memang janji mau mengajakku jalan ke daerah Sanur. Di depan gerbang sekolahku, sebuah mobil jazz hitam yang amat kukenali itu menungguku. Jendela pengemudinya terbuka dan memperlihatkan sosok lelaki yang berada di bali setirnya, memakai kacamata hitam, menyembunyikan mata indahnya.            Mata Miguel adalah mata terindah yang pernah aku lihat. Dia memiliki mata bulat berwarna hazel yang indah, dengan alis yang rapih. Fitur lain di wajahnya yang menarik adalah hidungnya yang mancung, dan bibirnya tebalnya.             Singkatnya, Miguel adalah sosok cowok yang bisa dikatakan sangat terkenal di sekolah. Selain karena dia blasteran Spanyol-Bali yang sempurna, dia juga memiliki sikap yang luar biasa mengesankan. Ramah, dan berjiwa sosial tinggi adalah dua sifat yang langsung dikatakan oleh siapapun yang mengenal Miguel.             Aku baru kelas satu saat ini. Sementara dia sudah kelas tiga.             Beruntungnya aku, karena aku dapat mengenal Miguel yang notabenenya anak populer, mantan Ketua OSIS saat dia kelas dua, atlet futsal, dan juga pemenang olimpiade ekonomi tingkat provinsi kebanggaan sekolah. Singkatnya, Miguel adalah jelmaan siswa teladan yang sempurna, dan tak heran jika banyak siswi yang mengejarnya.             Kebanyakan anak kelas satu hanya tahu siapa Miguel, dan tidak ada yang benar-benar mengenalnya secara dekat, secara langsung. Aku kenal dengan baik siapa Miguel, dan aku pun mengenal keluarganya dengan baik. Ibunya memiliki restoran bergaya Spanyol di daerah Sanur, dan ayahnya adalah seorang kritikus musik dengan spesialisasi genre latin.             “Maaf ya lama, El,” kataku, sambil cengengesan, memamerkan sederetan gigiku yang masih menggunakan kawat gigi. “Bu Rika tadi ngeselin banget. Asli deh, tugasnya juga nggak bisa dijelasin lagi kayak gimana susahnya.”             Miguel tertawa, “Nikmati aja. Putih abu-abu itu asyik kok.”             “Iya siap Pak Bos!” ledekku dengan menjulurkan lidahku. “Eh, jadi ke Latino?”             Miguel mengangguk, “Masuklah.”             Latino adalah nama restoran milik ibunya yang ada di Sanur seperti yang kubilang tadi. Kami mulai berangkat dari sekolahku yang letaknya di Denpasar menuju Sanur yang berada di daerah selatan pulau Bali ini. Sampai di Latino, aku melihat ada sosok seorang lelaki paruh baya yang sedang berkutat dengan beberapa partitur lagu.             “Miguel!” panggil Om Jose, ayah Miguel. “Kamu bawa Lyssa?”             “Iya Pa,” balasnya. “Lys, ngobrol sama Papa dulu ya bentar. Aku ke dapur dulu ambilin makanan.”             Aku baru akan membuka mulutku untuk mengatakan apa yang aku inginkan.             “Bandeja paisa, asado, ceviche. Itukan yang kamu mau?”             Aku mengangguk dengan senyuman. Miguel membalas senyumku dan berlalu masuk ke dapur. Sementara aku berdua bersama Om Jose membahas lagu yang sedang digubah oleh Om Jose. Lagu tradisional Meksiko yang komposisinya mau diubah olehnya menjadi beraliran bossanova.             Aku sering menemani Om Jose untuk menggubah lagu. Aku sendiri sudah sejak kecil belajar piano. Aliran musik kita memang berbeda, aku memilih klasik. Tapi setidaknya Om Jose memiliki teman untuk bertukar pikiran tentang lagu-lagu yang sedang dikerjakannya. Tak jarang, aku juga menayakannya tentang musik latin, jazz, dan aliran bossanova. Hingga akhirnya aku jatuh cinta dengan aliran bossanova dan mengoleksi berbagai album bossanova.             Saat makanan datang, Miguel pun menyuruhku untuk makan dulu, sebelum berbicara dengan ayahnya lagi tentang lagu-lagu lain. Selesai makan, dia mengantarku pulang ke Denpasar.             Di depan rumahku, Miguel bilang, “Mau ke mana besok?”             “Sekolah.”             “Besok libur, Lys, jangan konyol.”             Aku mengingat-ingat jadwal besok. Oh iya, besok adalah hari Sabtu. “Mungkin di rumah.”             “Jalan-jalan mau?”             “Ke?”             “Kintamani?” tanyanya. “Atau kamu lebih seneng ke pantai?”             Aku bergumam pelan. “Mm... Ke pantai terus juga bikin bosen sih. Kintamani boleh juga.”             “Ku jemput siang ya besok.”             Aku mengangguk, dan setelahnya Miguel pergi untuk pulang.             Saat aku masuk ke dalam rumahku, aku melihat sosok Carol ada di dalam rumahku. Si Princess dari keluarga ibuku itu tertawa-tawa saat aku masuk ke dalam rumah. Carol meledekku karena aku pulang diantar oleh laki-laki. Oh, ayolah memangnya apa yang salah dengan Miguel yang mengantarku pulang?             “Duh, ada yang udah gede nih, pulangnya dianter cowok.”             “Itu temen,” kataku.             “I Made Miguel kan?” tanya Carol. “Dia temen gue kok. Tenang aja sih, gue tahu lo adik kelasnya dia.”             Aku pun hanya tersenyum menanggapi Carol. Dia memang tinggal disini selama liburan, untuk kerja di EO milik orangtuaku. Aku pun banyak curhat tentang Miguel, hingga aku mengaku bahwa aku memang menyukai Miguel.             Dan saat aku sudah sepenuhnya yakin bahwa aku menyukai Miguel, dan mempercayakan semua rahasiaku pada Carol, dia mengkhianatiku.             Tepat di awal bulan November tahun 2007, aku merasakan sakit hati pertamaku yang luar biasa menyiksa, berkat Carol dan Miguel. ——————————
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD