Vincent

1781 Words
Jakarta, September 2010. Lyssa.             Aku melihat pantulan diriku di depan cermin kamarku.             Tidak ada yang istimewa di dalam diriku, mungkin itulah yang membuat Miguel memilih Carol.             Seketika, aku menoleh ke arah layar ponselku. Sebuah BBM masuk. Sabrina Julia Lo dimana Lys? Udah jalan belom? Cari tanda tangan barenglah. Males cari sendirian, nanti kalo dikerjain sendirian kan repot. Alyssa Parahita Iya sabar. Bentar lagi jalan dari rumah kok.             Aku pun segera turun lantai bawah. “Tante, Lyssa pergi dulu ya!”             “Iya. Kamu bareng sama Bill aja, Lys, dia juga mau berangkat.”             Tante Elisa menunjuk Kak Bill yang masih memasang kondisi muka bantalnya. Ini sih bakalan lama kalo ditungguin. Kasian Sasa yang udah nungguin. Tunggu, Sasa kan tukang telat juga sih. Ah, bodolah. Kalo kesiangan, malah makin repot. Jakarta panas saudara-saudara.             “Aku nggak napa Tan. Aku pergi sendiri aja, ada janji sama temen.”             Tante Elisa pun mengangguk paham, “Ya sudah, hati-hati ya di sana.”             “Iya Tante!” ——————————             Sampai di kampus, aku melihat jam tanganku yang baru menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh lima menit. Kalau menurut jadwal yang aku dapat, akan banyak angkatan atas yang masuk kelas sekitar jam sembilan. Ini kesempatan yang bagus untuk mengumpulkan tanda tangan!             “Oi, Lys! Lo baru nyampe?” tanya Sasa, dia mengeluarkan buku tanda tangannya yang berwarna merah. Dia mengeluarkan pulpen, dan segera menghampiriku bersama dengan Dea. “Gimana? Udah dapet tanda tangannya siapa aja lo?”             “Kak Bill,” balasku, “Dia kan 2008.”             “Ah lo enak sih di rumah ada yang anak hukumnya. Eh, lo kan tinggal sama sodara, lupa gue,” kata Sasa lagi.             Aku segera menghampiri meja yang menjadi tempat biasa anak-anak mengambil kunci untuk masuk kelas. Aku melihat data bukunya. Tidak ada angkatan tua yang aku cari. Disini, yang aku cari adalah angkatan 2007 khususnya.             “Pak, ini nggak ada yang angkatan 2007?”             “Fakultas hukum?” tanyanya balik.             Aku pun menganggukkan kepalaku cepat.             Aku memandang ke arah pintu masuk gedung hukum. Seorang laki-laki masuk.             Laki-laki itu memakai kaos hitam polos, dengan celana jins abu-abu. Sebelah pundaknya memikul tas. Dia memakai kacamata, dibaliknya terdapat sepasang mata sipit. Singkatnya, aku dapat langsung mengetahui dia pasti memiliki darah Tionghoa, didukung dengan kulit putihnya.             “Nah, itu anak hukum,” kata Bapak yang menjaga kunci-kunci pintu. Dia menunjuk pada laki-laki yang baru masuk ke gedung hukum, yang sedang menunggu lift.             “Bapak yakin itu anak hukum?” Tanyaku.             “Yakin.”             “Bukan anak akuntansi?” tanyaku lagi.             “Kayaknya anak MIPA kali Pak?” tanya Sasa heran.             “Itumah anak sastra kali,” timpal Dea.             “Itu anak hukum. Orang saya kenal kok sama anak-anak hukum,” balas Si Bapak. “Angkatan 2007 kan? Ituloh, dia angkatan 2007.”             Walau agak bimbang, aku pun menghampiri orang yang meragukan itu.             “Permisi Kak,” kataku, “Kakak anak hukum?”             Laki-laki dihadapanku ini menoleh padaku. Tatapannya mengerikan sekali saudara-saudara! Berani jamin, dia pasti orang yang menyebalkan dan membosankan. “Iya.” Jawabannya singkat dan jelas. Benar-benar hanya menjawab menjawab pertanyaanku dengan tiga huruf. I-y-a.             “Boleh minta tanda tangannya Kak?”             “Boleh.”             Ini orang pasti kuper, alias kurang pergaulan. Aku akui dia memang memiliki wajah yang cukup tampan, dengan fitur wajah oriental. Tapi, dengan sifatnya yang menyebalkan ini dia ngga ada ganteng-gantengnya deh.             “Angkatan berapa ya Kak?”             “2007.”             Aku membuka buku tanda tanganku ke halaman angkatan 2007. Aku menyodorkannya pada laki-laki ini, dan kemudian dia mengambil pulpen dan buku yang aku sodorkan padanya untuk ditanda tangani.             Vincent.             Itulah namanya.             Setelah dia tanda tangani, dia mengembalikan pulpen dan bukuku, lalu segera setelahnya, lift pun terbuka. Dia masuk ke dalam lift dan meninggalkanku.             Hei, aku sendiri belum sempat mengucapkan terima kasih loh! Orang itu menyebalkan sekali!             “Lo dapet tanda tangannya?” tanya Sasa, aku menjawabnya dengan anggukkan, “Namanya siapa tuh?”             “Vincent.”             “Angkatan?” tanya Dea.             “2007.”             “Kok lo jawabnya singkat-singkat bener sih, Lys? Kayak bete gitu?” tanya Dea.             “Orang yang gue mintain tanda tangannya barusan aja bikin gue bete kok! Gimana gue nggak bete coba?” tanyaku balik sambil mendengus kesal. Aku pun memencet tombol panah lift ke atas.             “Lo mau ke mana sekarang?” tanya Sasa.             “Naik.”             “Katanya bete  karena orang tadi?”             “Iya. Tapi di atas pasti banyak senior yang lain. Buktinya orang tadi aja naik keatas. Pasti dia ada kelas,” jelasku dengan mudah.             “Bener juga,” timpal Sasa dan Dea.             Saat lift terbuka, kami bertiga pun segera masuk ke dalam lift dan naik ke atas. Begitu sampai di lantai tiga, aku melihat gerombolan anak-anak angkatan 2010 yang mengerumuni kakak-kakak angkatan atas untuk dimintai tanda tangannya. Astaga, tahu begini aku datang jam tujuh pagi tadi!             “Lyssa!” panggil Kak Bill.             “Hei! Kok Kakak udah disini sih? Bukannya tadi Kakak baru mandi ya waktu aku pergi?”             “Mandi cuma lima menit Lys, ngapain lama-lama. Jalan kaki sama naik mobil jelas beda kecepatannya,” balasnya kalem dengan senyum meledek, “Udah dapet tanda tangannya siapa?”             “Vincent.”             “Oh...” gumamnya. Namun, seolah ada yang salah dengan nama itu, Kak Bill tiba-tiba saja membulatkan matanya lalu mengulang nama yang kusebut beberapa detik lalu. “Vincent?! Vincent angkatan 2007?!”             Aku mengangguk polos, “Iya Kak. Emang kenapa?”             “Nggak,” balas Kak Bill, dengan senyum yang agak dipaksa. Sejujurnya, aku merasakan kalau Kak Bill menyembunyikan dibalik senyumannya itu. Seolah ada hal yang mau dia beritahukan kepadaku, tapi bukan ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya kepadaku. “Mau aku bantuin cari tanda tangan?”             Sasa dan Dea yang dari tadi menemaniku pun ikut semangat mendengar ucapan Kak Bill yang menawari aku bantuan untuk meminta tanda tangan segera memasang puppy eyes agar ikut dibantu. Kak Bill sudah kenal Sasa dan Dea sejak aku membawa mereka main ke rumahnya sewaktu masih ospek kemarin. Lalu, Kak Bill juga mengajak kita bertiga jalan-jalan ke mall, dan nonton bioskop.             “Ya udah kalian bertiga aku bantuin.”             “Makasih Kak Bill!!!” ——————————            “Kelas selesai sampai disini, dan jangan lupa untuk kumpul tugasnya di pertemuan berikutnya!” Kata Bu Rini, dosen yang katanya terkenal killer di fakultas ini. Beliau mengajar mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia, atau kami biasa menyingkatnya jadi PHI. Setelah dua jam di dalam ruang kelas, aku dan Dea keluar, dan segera memburu tanda tangan lagi.             Saat aku mau meminta tanda tangan seorang senior perempuan yang keluar dari pintu lift, aku melihat sosok laki-laki yang kumintai tanda tangannya tadi pagi. Masih ingat siapa dia?             Vincent.             Raut wajahnya masih datar, seperti pagi tadi. Beruntung aku sudah meminta tanda tangannya. Sepertinya semakin sore, semakin kusut wajahnya orang ini.             Aku akui dia memang ganteng, tapi ayolah. Siapa juga yang seneng ngeliat orang yang mukanya datar, expressionless, dan menyeramkan macam mayat sepertinya?             “Lys, gue mau minta tanda tangannya Kakak yang itu,” kata Dea, “Bantuin dong.”             “Minta sendiri aja sih De,” balasku.             “Dia serem.”             Memang nyatanya begitu kok. “Ya lo minta tanda tangannya juga nggak bakalan diterkam sama dia kali. Emangnya dia mau kenain lo hukuman mati? Makanya lo sampe takut kaya gini cuma mau minta tanda tangan sama orang macam dia?”             PLETAK!             Sebuah pukulan tepat di atas kepalaku berbunyi, pastinya pukulan ini menggunakan kertas, karena aku dapat membedakan bunyinya.             “Kak Bill!” seruku. “Main pukul pake kertas aja!”             “Loh, kamu tuh kebiasaan sih. Berisik tahu kalo ngomong. Kaya kereta nggak ada napasnya,” kilahnya. “Pulang yuk.”           Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul empat sore. “Udah nggak ada kelas lagi emangnya Kak?”             “Nope. Makanya ayo pulang,” balasnya. “Dea sama Sasa ikut aja.             Tanpa ancang-ancang pun kedua temanku itu segera mengekori aku dan Kak Bill menuju lift dan menunggu disana.             Dan entah kenapa, sepertinya aku memang harus bertemu dengan lelaki expresionless ini terus hari ini. Bahkan kami menunggu lift yang sama untuk turun ke lantai satu. Aku heran, orang ini punya teman apa nggak sih sebenarnya? Kok kayanya demen banget sendirian kemana-mana.             Tadi pagi sendirian.             Sore ini juga sendirian.             Dia anti sosial memangnya?             Saat kami berada di dalam lift yang sama pun dia hanya sibuk dengan ponselnya. Dia tidak menghiraukan aku, Kak Bill, Sasa dan Dea yang berada di dalam lift yang sama dengannya. Setelahnya, dia keluar duluan, kami berempat pun menuju parkiran mobil untuk menaiki mobil Kak Bill.             Selesai mengantar Sasa dan Dea, Kak Bill sengaja mengajakku jalan-jalan ke mall. Katanya sih buat melepas penatnya karena seharian ini harus belajar menyusun proposal untuk magangnya di sebuah firma hukum yang letaknya di daerah Jakarta Pusat.             Kini, aku dan Kak Bill berada di sebuah kedai es krim. Dia menikmati es krim rasa coklatnya, sementara aku dengan es krim rasa mint favoritku. Kami duduk di salah satu sudut kedai, di atas sofa empuk yang saling berhadapan dengan sebuah coffee table bulat.             “Kamu kayanya nggak seneng banget sama Vincent?”             Aku mendongak melihat Kak Bill. “Maksudnya Kak?”             “Kayanya kamu risih banget pas tadi lihat Vincent di dalem lift pas mau pulang. Emangnya kenapa sama Vincent?”           Aku hanya manggut-manggut. “Nggak kenapa-napa sih Kak. Cuma rasanya orang itu kok anti sosial banget?” tanyaku, “Emangnya dia nggak ada temen ya?”             “Vincent Kristiawan. Mahasiswa luar biasa yang terkenal di angkatan 2007 dengan otak jeniusnya. Kakak akui dia memang cerdas—dalam artian, secara akademik maupun soft skillnya.” Kak Bill menyuap dua sendok es krim ke dalam mulutnya sebelum melanjutkan certianya tentang Vincent.  “Dia juaranya debat di angkatannya, bahkan dia udah pernah menang lomba debat tingkat internasional sebagai juara dua. Dia juga atlet taekwondo setahuku, dia memang punya banyak prestasi.”             “Oh...”             “Mahasiswa yang luar biasa.”             “Terus kenapa Kak kalo dia luar biasa?” tanyaku balik pada Kak Bill.             “A good match for you.”             Aku tertawa pahit, meskipun aku sedang memakan makanan manis yang meleleh di dalam mulutku. “Good match? No thanks.” Aku menyuapkan es krim lagi ke dalam mulutku dan menjawab, “Cukup sudah bagiku untuk menyukai seseorang yang luar biasa seperti Miguel.”             “Seseorang yang luar biasa, harus memiliki pasangan yang seimbang—yang pastinya luar biasa juga.”             “Nggak Kak. Makasih. Aku bukan orang yang luar biasa, dan nggak ada niatan buat jadi mahasiswa yang luar biasa juga kok.” Aku menghabiskan es krimku secepatnya karena aku sudah panas mendengar godaan Kak Bill itu. Oh tolonglah, aku tidak ingin jatuh cinta kepada orang yang luar biasa lagi seperti Miguel.             Cukup satu kali sakit hati terhadap Miguel.             Dan Vincent bukanlah orang yang akan kusukai. Camkan itu. ——————————
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD