Bab 2

1022 Words
Fariz mengarahkan mobil ke kontrakannya. Ia melirik sekilas ke arah kontrakan Adis. Gadis itu sudah sampai terlebih dahulu dan sekarang duduk di teras sambil mengelus seekor kucing putih milik Ibu kontrakan. "Pak, baru pulang?" sapa Adis setelah Fariz turun dari mobil. Wanita itu terlihat tidak merasa bersalah sama sekali setelah mempermalukan fariz di kantor. Fariz tidak menjawab. Ia berjalan saja. Masih kesal dengan kejadian di kantor tadi. Merasa tidak ditanggapi, Adis mencoba lagi. Siapa tahu, sore ini Fariz mendadak tuli. Ia pun mengeraskan suaranya."Pak Faiz!" fariz terus mengabaikan Adis. Merasa kesal, Adis pun kembali menyapanya."Pak Fariz, muka Bapak kok kayak sempak baru, sih?" "Apa hubungannya sama sempak!"gerutu fariz yang akhirnya angkat suara. "Ketat!"Adis pun tertawa puas. "Hentikan omonganmu, Adis. Aku muak dengan urusan persempakan," balas Fariz ketus. Ia segera masuk ke dalam rumah. Berlama-lama bicara dengan Adis bisa membuatnya semakin gila setelah kejadian di kantor. Sementara Adis hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung. Padahal ia berusaha bersikap ramah pada tetangganya, tapi sepertinya Fariz tidak suka dengan keramahan dirinya. Adis masuk ke kontrakannya. Malamnya, Adis kelaparan. Seperti biasa ia memasak sendiri karena alasan lebih hemat dan higenis. Kompor dinyalakan, tetapi tiba-tiba apinya mati. Adis memeriksa regulator, ternyata gasnya habis.Ia segera berlari ke warung ibu kontrakan untuk membeli gas. "Tapi, anak Ibu lagi pergi, Dis...jadi enggak bisa masangin," kata Ibu Sutiyem, pemilik kontrakan. "Loh, terus...saya masaknya gimana dong, Bu." Adis menggaruk kepalanya. "Ya tunggu anak saya pulang," "Pulangnya jam berapa, Bu?" "Besok." "Dih si Ibu gemesin banget deh, jadi pengen cubit ginjal Ibu. yang beneran aja. Saya enggak makan dong malam ini," keluh Adis. Ibu Sutiyem tertawa kecil. "Ya kan...kamu punya tetangga cowok. Minta tolong aja tuh sama Fariz. Kemarin juga ada tuh yang minta tolong sama Fariz." Wajah Adis langsung berbinar."Oh, oke siap, Bu. Saya bawa dulu tabungnya, ya, Bu." "Tapi, nanti tabung yang kosong langsung kamu bawa sini, ya, Dis, soalnya takut kamu kelupaan. Besok mau diangkut tuh tabung kosongnya," pesan Ibu Sutiyem. "Beres, Bu."Adis menenteng gas tiga kilogram dan meletakkan di rumahnya. Setelah itu ia pergi ke kontrakan sebelah, masih dengan perasaan 'tidak merasa bersalah'-nya. "Permisi,Pak..." Adis mengetuk pintunya dengan setengah keras. Tidak ada jawaban. Ia menunggu beberapa detik, lalu mengetuknya lagi."PErmisi, ada Adis di sini, pak Fariz!" Fariz membuka pintu."Ada apa?" "Pak, minta tolong dong pasangin gas. Kebetulan anaknya ibu kontrakan lagi pergi,"kata Adis dengan nada yang dibuat semanis mungkin. "Enggak bisa masang sendiri?"tanya Fariz dingin. "Takut meledak, Pak." "Lah, kalau saya yang masang enggak bakalan meledak gitu?" Fariz melotot ke arah Adis. "Galak bener, Pak. Ayolah, Pak, saya mau masak, udah lapar tingkat kecamatan," kata Adis memelas. "Ya udah." "Yes! Ayo, Pak!" Adis mempersilakan. Fariz keluar, kemudian mengunci pintunya dan mengikuti Adis ke kontrakannya. Fariz membuka tabung gas yang sudah kosong, meletakkannya ke hadapan Adis. "Pak, saya balikin tabung ini dulu ke Ibu kontrakan ya. Bapak kalau udah selesai jangan kemana-mana dulu. Jagain kontrakan saya ya," kata Adis sambil melangkah pergi. Fariz hanya mengangguk, tapi, di dalam hati ia masih menggerutu karena Adis menyuruhnya terus. Tidak butuh lama untuk memasangnya. Api sudah menyala dengan baik. Fariz menunggu Adis kembali, tetapi wanita itu lama sekali. Pintu kamar Adis terbuka, dengan iseng Fariz masuk dan memeriksa seisinya. Sementara itu, Adis berjalan terburu-buru ke kontrakannya. Ia keasyikan ngobrol dengan Ibu kontrakan tentang salah satu warga kontrakan yang kabur tanpa membayar uang sewa. Tanpa ia sadari sudah lima belas menit berlalu, ia lupa kalau ada Fariz di kontrakannya. Ia melihat kontrakannya tertutup, sementara Fariz terlihat duduk di teras kontrakannya sendiri. "Pak, maaf...lama." "Sorry, saya enggak bisa nungguin kamu di kontrakan kamu. Soalnya enggak enak dilihat orang nanti. Makanya saya tutup terus...saya awasi dari sini," jelas Fariz. Adis mengangguk."Aduh, baik banget, Pak. Makasih, ya." "Oke, sama-sama ,Adis. Saya masuk, dulu." Fariz tersenyum ramah. Adis menatap Fariz dengan heran. Baru kali ini Fariz melemparkan senyuman ramah padanya.   **   Alarm berbunyi berkali-kali. Adis harus bangun dan segera mandi. Dengan langkah gontai, Adis pergi ke kamar mandi. Sekitar sepuluh menit kemudian ia selesai dan berpakaian. Adis melongo ketika mendapati lemari khusus celana dalamnya kosong. Hanya tertinggal satu buah. Ia langsung panik, celana dalam yang jumlahnya puluhan itu hilang. Adis memang memiliki banyak celana dalam dengan berbagai jenis. Setiap celana dalamnya ia bordir dengan namanya, Adisa Mahyana. Di sela-sela kepanikannya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan w******p dari nomor tak dikenal. Adis membukanya. "Mencari ini, Adis? Mereka ada padaku." Pesan itu dilengkapi dengan sebuah foto. Adis mendownload foto tersebut dan memekik kaget. Puluhan celana dalamnya ada di sana. Adis memeriksa foto kontak pengirim tersebut. "Fariz!!!!" Fariz tertawa puas saat mendengar lengkingan suara Adis dari kontrakannya. Adis bergegas berpakaian, untungnya masih ada satu celana dalam yang tersisa. Pria itu masih baik menyisakan satu untuk dipakai Adis pagi ini. Adis pergi ke kontrakan Fariz, mengetuknya keras. Fariz membuka pintu sambil menahan tawa. "Ada apa pagi-pagi begini bertamu?" "Balikin celana dalam aku," kata Adis pelan. Tapi, matanya melotot. "Celana dalam yang mana ya?" Fariz menahan tawanya. "Yang kamu curi! Sini!" Adis berusaha menerobos masuk ke kontrakan Fariz. Tapi, laki-laki itu langsung menahan Adis. "Kamu enggak boleh masuk. Kamu mau semua celana dalam kamu? Oke...tunggu aja nanti sore, ya." Fariz terkekeh sambil melambaikan tangan dan menutup pintu. Adis mendengus kesal. Ia segera kembali ke kontrakannya, lalu melirik cucian kotor di ember Hitam. Ia mengambil beberapa celana dalamnya yang kotor, lalu mencucinya. Jadi, seandainya Fariz belum membalikan celana dalamnya maka ia masih punya cadangan untuk dipakai. Kalau harus beli, Adis belum gajian. Uang yang ia pegang sekarang hanya untuk makan sampai awal bulan. Adis terpaksa sedikit terlambat datang ke kantor dari biasanya. Wajahnya terlihat lelah karena tadi harus terburu-buru karena mencuci terlebih dahulu. Kantor sudah agak sepi, mungkin karyawan sudah masuk ke ruangan masing-masing. Begitu sampai di ruangan, Adis dikejutkan dengan sebuah celana dalam yang bertengger di layar komputernya. Ia melirik ke sana ke mari, semua tampak sibuk. Ia segera meraih celana dalam itu, memasukkannya ke dalam tas. Lalu memastikan itu miliknya apa bukan. Benar, itu miliknya. "Adis, itu celana dalam kamu, ya? Kok bisa di situ, sih?" tanya Nana, yang kebetulan kubikelnya bersebelahan dengan Adis. "Ah, bukan. Masa, sih aku naruh celana dalam di sini. Ini pasti ada orang kurang kerjaan." Adis tertawa garing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD