Bab 4

1012 Words
"Ah, maafkan kami. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi." Fariz menarik celana dalamnya, lalu menyimpan ke laci. Dengan wajah merah padam, Fariz mulai memimpin rapat. Adis terlihat fokus di depan komputer. Lalu teleponnya berbunyi. "Dis, kamu dipanggil Pak Fariz di ruangannya." Adis mendelikkan matanya."Oke." Adis menuju ruangan Fariz, mengetuknya berkali-kali tetapi tidak ada jawaban. Adis memutuskan membuka pintu ruangan itu. Tapi, tidak ada siapa-siapa. Akhirnya ia memutuskan kembali bekerja. Jika memang Fariz membutuhkan, pria itu pasti akan mencarinya. Usai jam makan siang, Adis ke ruangan Fariz lagi. Tapi, pria itu juga tidak ada. Adis teringat dengan kelakuannya tadi pagi. Beruntung pagi ini ia tidak sengaja bertemu dengan Yulia di Lift dan ngobrol singkat. Dari obrolan ia mendapatkan informasi kalau Fariz ada meeting pagi ini. Adis tahu, Fariz memanggilnya karena hal tersebut. Hari sudah sore, jam pulang sudah tiba. Adis berjalan ke lobi. "Heh! Kenapa kamu dipanggil enggak datang ke ruangan saya? Hardik Fariz saat Adis berhenti di lobi. Adis memasang tampang sok kaget."Loh, tadi saya ke ruangan Bapak enggak ada. Saya balik dua kali loh, Pak." "Saya di ruangan terus seharian ini, Adis. Kalau pun enggak ada, kamu bisa tanya ke Yulia, kan?" "Kok tanya Yulia,sih?" Adis menggaruk kepalanya bingung."Memangnya ada apa, Pak?" "Sini..." Fariz menarik Adis ke parkiran."kerjaan kamu ini, kan?" Katanya sambil menunjukkan celana dalam yang memiliki tulisan yang jika diartikan adalah ‘Aku’ ingin memasukimu'. Adis menahan tawanya."itu celana dalam Bapak? m***m banget, Pak." Fariz melihat celana dalamnya betul-betul.  Celana dalam itu adalah pemberian kekasih Fariz terdahulu saat ulang tahunnya. Fariz merasa geli dengan tulisan itu sehingga ia tidak pernah memakai pemberian kekasihnya itu. "Kamu yang letakin ini di ruang meeting, kan?" kata Fariz dengan tatapan tajam. Adis menjauhkan wajahnya."Loh, kok saya? Memangnya saya bisa dapat celana dalam Bapak darimana? Bapak udah pindah, kan?" Fariz mulai berpikir bahwa ucapan Adis ada benarnya. Ia sudah pindah ke apartemen. Adis tidak tahu dimana ia tinggal sekarang. "Tapi, siapa lagi kalau bukan kamu, Dis. Cuma kamu yang segila ini." "Wah saya enggak tahu,Pak. Enggak ngurusin sempak Bapak. Mungkin aja itu kerjaan tukang laundry. Sudah sore, Pak. Saya pulang dulu." Adis segera pergi ke parkiran motornya. Fariz mengejar Adis."Adis...jangan becanda. Ini celana dalam saya masih baru dan tersimpan di lemari. Ini dibikin khusus untuk saya mana mungkin ada kembarannya." “Ya siapa tahu aja, Pak, celana dalam Bapak terpisah sewaktu di pabrik. Jadi, Bapak enggak tahu dia punya kembaran.” “Adis, saya serius…kamu ambil dari lemari saya, kan. Itu limited edition loh!” "Ya saya enggak tahu, Pak. Jadi, Bapak...nuduh saya ngambil gitu? Bapak tinggal dimana memangnya?" tanya Adis kesal sambil memasang helm. "Saya tinggal di sebuah tempat, lah.Saya simpan di lemari.” "Ya sana tanya sama lemari, Pak.Udah, Pak. Saya mau pulang." "Dengan motor butut ini?" "Weits...sembarangan banget bilang motor butut. Ini motor antik." "Jelek begini." "Jelek-jelek begini...saya belinya cash, Pak. Enggak kayak orang-orang sana...." "Kamu nyindir saya?" "Ciee...yang mobilnya masih kredit," kata Adis dengan nada mengejek. "Dengar, Adis...kalau sampai terbukti kamu yang lakukan tadi...maka...." "Iya...maka...?" tantang Adis. Fariz menyipitkan matanya, wajahnya mendekat ke wajah Adis."Saya akan tiduri kamu." Adis tertawa keras, lalu menstarter sepeda motornya. "Sudah deh, Pak. Jangan berhalusinasi.  Saya juga enggak tahu dimana Bapak tinggal bagaimana mau nyuri celana dalam. Jadi, Bapak mau tidurin saya?" Fariz mengangguk."Iya. Kalau sampai terbukti kamu yang mencuri." "Mimpi!!" Adis langsung ngacir dari tempat itu dengan cepat. Tinggallah Fariz yang mengumpat kesal. Ia harus pulang ke apartemennya untuk memastikan betul atau tidak celana dalamnya hilang. **   Adis terbangun dari tidurnya, ia menggeliat sambil melirik jam dinding. Pagi ini terlihat begitu cerah. Adis segera bangun dan pergi membuka pintu depan, seperti biasa. "Loh! Apa-apaan ini?" Adis memekik. Ia mulai panik tidak karuan saat melihat lima celana dalamnya bersangkutan di atas pohon mangga di depan kontrakan. Adis berusaha meraih celana dalamnya, tapi sulit sekali karena ia pendek. Ia harus menggunakan sesuatu seperti galah atau sapu. Adis pergi ke dalam mencari sapu untuk menurunkan celana dalamnya sebelum ada orang yang melihat. Dengan susah payah, Adis berhasil meraih semuanya. "Ah, syukurlah. Kembali lima. Harus dicuci tujuh kali, nih, jangan-jangan udah dijampi-jampi." Kejadian pagi ini membuat Adis membuang banyak waktu. Ia terlambat sampai di kantor. Wanita itu berkeringat sampai di ruangannya. Saat masuk, langkahnya terhenti tiba-tiba saat ruangan itu ramai sekali. "Ada apa ini rame-rame?" tanya Adis. "Oh enggak cuma ini ...ada perombakan ruangan. Kita lagi cari meja masing-masing aja," jelas Nana. Adis mengangguk-angguk. Lantas ia mencari mejanya, berputar-putar tetapi tidak ketemu. Akhirnya ia membiarkan semuanya duduk di meja masing-masing. Setelah itu barulah ia mencari sisanya. Tapi, tidak ada meja yang kosong, jumlah orang dan mejanya pas. "Lah, mejaku yang mana?" Adis menggaruk kepalanya. Semua orang bertukar pandang, lalu membantu Adis mencarikan mejanya. "Enggak ada, Dis. Coba kamu tanya sama Pak Trisno. Mungkin aja kamu dipindahkan ruangannya." Adis mengangguk mengerti."Oke. Terima kasih." Adis melangkah ke ruangan Pak Trisno, tapi ia menemukan beliau sedang berdiri di depan ruangan. "Permisi, Pak." "Iya, ada apa?" "Pak, ruangan kerja dirombak ya, Pak? Tapi kok meja saya hilang?" tanya Adis bingung. "Hilang bagaimana?" "Ya enggak ada, Pak." "Meja kamu rusak, ya, mungkin masih direnovasi." "Masih bagus kok, Pak. Kalau enggak ada meja, saya mau kerja dimana dong, Pak?" Pak Trisno berpikir sejenak."Tadi, yang bantu tombak pagi-pagi banget, sih, OB. Sebentar." Pak Trisno memanggil salah satu OB yang sedang lewat membawa nampan. "Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu?" "Meja di ruang kerja kurang satu. Ada yang dikeluarin enggak tadi?" "Oh, iya, Pak. Ada. Atas perintah Pak Fariz." "Sekarang meja saya dimana, Mas?" "Di Gudang, Mbak." Adis menganga."Ya ampun, salah saya apa, Pak, sampai meja saya diletakkan di gudang." "Adis, sabar ya...mungkin aja kamu naik jabatan. Kamu ke ruangan Direktur saja. Kalau Yulia tanya, bilang ini atas perintah saya." "Iya, Pak," balas Adis lemas. Ia melangkah gontai ke ruangan Direktur."Loh, kenapa aku ke ruangan Direktur ya?" Adis terlihat bingung sendiri. Ia mulai berpikir bahwa Fariz benar-benar Direktur sekarang. "Mbak Adis, ngapain?" "Mau ketemu Pak Fariz," kata Adis. "Keperluan apa, Mbak?" "Penting, saya diperintahkan langsung sama Pak Trisno." "Oh, ya udah, Mbak. Masuk aja." Adis mengetuk pintu, lalu membukanya. Pria itu tersenyum ceria.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD