The Man

1925 Words
Seorang pria berdiri dan terus berganti pose didepan sebuah kamera yang terus mengeluarkan suara dengan sangat cepatnya. Sesekali dia menghadap kamera sesekali mengabaikannya. Sesekali menatap dengan sayu memperlihatkan kesan sexy dan manly sesekali juga menatap tajam, menunjukan bahwa dia sangat dominan.   Dia Damian, Damian Han. Seorang model papan atas yang sudah tak diragukan lagi pengaruhnya di dunia permodelan. Parasnya yang tampan, tak pernah ada yang meragukan, hidung lancip, mata seksi dengan rahang tegas. Sungguh perpaduan yang sangat indah.   Suara tepuk tangan bergema begitu pemotretan itu berakhir. Damian si pemeran utama tersenyum seraya menunduk sebanyak tiga kali sebelum meninggalkan tempatnya.   Meski terlihat seperti bad guy. Damian tetap memiliki manner yang sangat baik. Tak hanya dirinya, tapi semua artis yang ada diagensi yang sama dengannya memang demikian. Sangat sopan dan berbicara dengan sangat santun.   Saat membersihkan make up seseorang memasuki ruangannya tanpa permisi. Dia Harry, manager-nya.   "Damian, Danies meminta untuk ke kantor hari ini."   Damian mengerutkan keningnya. Heran. Ada apa? Jujur saja ia sangat penasaran. Karena jika ia dipanggil pasti ada sesuatu yang penting dan harus segera dibicarakan.   "Hanya aku?."   "Tidak, Davin dan Kalvin  juga diundang."   "Tumben sekali."   "Mungkin ini mengenai tawaran model baju sekolah. Kau tau sendiri banyak yang ingin Ara dan Ivan jadi modelnya."   Sengwoo menggela nafas panjang. Ini tawaran untuk kesekian kalinya yang selalu ia tolak. Tapi tawaran itu selalu datang lagi dan datang lagi, seolah tak lelah dengan penolakannya. Sebenarnya ia tak pernah membicarakan ini dengan Ara, puteri kecilnya. Ia juga tak tau anaknya mau atau tidak. Ia hanya menolak atas kehendaknya sendiri. Karena ia tak ingin anaknya jadi sorotan media. Ia ingin anaknya hidup layaknya anak-anak biasa yang menikmati masa remajanya tanpa harus merasa dibatasi.   Damian melakukan itu karena sayang anaknya, tentu saja. Ia sangat amat menyayangi putri manisnya itu.   "Tak mungkin Kalvin juga ikut jika hanya akan membicarakan itu."   Damian terdiam beberapa saat, kemudian melirik make up artis yang baru saja menyelesaikan tugas, menyeka make up diwajah tampannya. Ia bergumam terimakasih kemudian berdiri, hendak beranjak.   "Ayo, kita ke kantor sekarang."   ***   Dikantor baru saja ada Davin yang berada di ruangan CEO itu.   Davin, dia adalah satu dari banyak model di agensi ini. Dia tampan, tinggi dan sangat proporsional sebagai model.   Pria itu berpenampilan sangat santai karena ia sengaja mengambil libur seminggu ini demi menemani putera kesayangannya yang sedang menghadapi ujian semester.   "Ada apa Nies? Tumben memanggilku saat libur begini."   "Sebentar Finn, tunggu yang lain." jawab pria yang masih duduk dimeja kerjanya. Sibuk memeriksa beberapa dokumen.   Davin memang memiliki nama panggilannya sendiri, Finn. Awalnya iseng, tapi nama itu dijadikan nama panggungnya sejak dia debut menjadi model internasional.   Tak lama kemudian dua orang lain memasuki kantor secara bersamaan. Damian dan Kalvin.   "Akhirnya kalian datang."   "Sudah menunggu lama?." tanya Damian basa-basi.   Davin mengedikkan bahunya sedikit. "Aku tidak. Tapi Danies yang menunggu lama."   Damian melirik Danies yang masih memeriksa dokumennya. Kemudian menatap Kalvin yang baru saja kembali dari luar negeri. "Jadi Kal, bagaimana Paris?."   "Menyenangkan. Kau tau, aku bertemu beberapa teman baru. Ada seorang model sangat cantik. Dia yang katanya sedang sangat populer itu, yang biasanya tak datang ke sembarang acara."   Damian dan Davin mengerutkan keningnya. "Siapa?."   "Shin? Ah... Ya Shin aku rasa."   Davin sedikit membulatkan matanya, ia membasahi bibirnya gugup kemudian menggigitnya pelan. Shin... Cindy... Seseorang dari masalalunya yang sampai saat ini masih menempati tahta tertinggi dihatinya.   Tapi bagaimana mungkin Kalvin bisa bertemu dengan Shin dalam event itu? Sementara Shin selalu menghindari hal itu. Apakah sengaja?   "Tapi dia menyebalkan. Dia malah bertanya tentang kau Damian! Dia bilang sangat penasaran padamu."   Davin mengalihkan pada Damian yang kini mengerutkan kening seraya menunjuk dirinya sendiri. Terlihat kebingungan.   "Aku? Bagaimana bisa?."   Kalvin mengedikkan bahunya. "Karena kau lebih populer mungkin? Aku tak yakin. Seharusnya dia cari tahu saja sendiri. Kau beruntung sekali disukai dia. Kalian tau... Banyak yang mendekati dia tapi semuanya di tolak, dan... Tiba-tiba menanyakan Damian... Bukankah itu sudah jelas, dia menyukaimu. Dia tertarik padamu Damian."   Damian terkekeh pelan, sebenarnya baginya tak aneh mendengar seseorang tertarik padanya seperti itu. Tapi kali ini sangat aneh. Seorang super model yang sedang panas-panasnya seperti Shin menyukainya? Tak mungkin. Semua orang tau, ia orangtua tunggal yang juga tak suka berkomitmen. Banyak yang menyerah setelah tau itu, tak mungkin Shin menyukainya, kan?.   Sementara itu Davin menautkan kedua tangannya gugup. Jujur saja, ia tak menduga Kalvin akan pulang membawa kabar seperti ini. Shin, dia cinta-nya. Mereka memang tak ada yang tau tentang masalalunya, bahkan ia tak tau tentang masalalu mereka juga. Mereka hanya berteman begitu saja tanpa mempedulikan kehidupan masalalu, begitupun Danies. Dia percaya begitu saja padanya dan juga dua orang temannya itu.   Cindy... Shin-nya... Menyukai Damian? Bagaimana bisa?.   Davin menatap Damian yang masih mengobrol dengan Kalvin, dia sesekali tertawa dan hanya menyimak. Hidungnya sangat lancip, matanya sangat indah, bibir itupun terlihat sangat menggoda. Davin menghela nafas panjang, ia kalah telak jika dibandingkan Damian. Damian memang memiliki fisik yang sempurna. Terlebih sikapnya yang baik, memberi nilai tambah. Membuatnya terlihat seperti seseorang tanpa cela. Sangat sempurna.   "Aku akan berbicara sekarang."   Davin mengalihkan pandangannya pada Danies yang kini duduk di sofa dekat mereka bertiga. Begitupun Damian dan Kalvin.   "Ada apa Nies? Sepertinya sangat penting." ujar Damian.   "Ada dua hal yang harus kita bahas. Pertama, ini tentang model seragam sekolah lagi dan kedua tentang seorang model yang ingin bergabung di perusahaan kita. Tentu saja aku perlu persetujuan kalian. Bagaimanapun kita membangun perusahaan ini bersama dan aku ingin memutuskan sesuatu bersama."   Davin menghela nafas. "Tentang model seragam sekolah, Aku masih tak bisa. Ivan, dia masih terlalu muda. Aku tak bisa membiarkannya bekerja seperti itu. Nies... Kau lihat sendiri anakmu, sekalinya terjun dia akan terus ditawari dan ditawari sampai menjadi sangat sibuk. Aku tak ingin Ivan begitu. Dia masih sangat kecil." jeda sesaat. "Jika tentang model yang ingin bergabung kita diskusikan lagi nanti."   "Aku juga sama. Maafkan aku Nies... Tapi aku tak ingin dia kehilangan masa remajanya."   "Bagaimana menurutmu Kal?."   "Aku tak memiliki anak."   Danies memutar bola matanya gemas. "Maksudku, kau memiliki saran tidak? Siapa yang bertanya kau memiliki anak atau tidak?."   Kalvin memamerkan giginya, tertawa pelan. "Baiklah. Baiklah...." Lalu ia nampak berpikir, ia menarik nafas terlebih dulu. "Jika aku jadi kalian, aku akan bertanya pada anak-ku. Dia ingin atau tidak. Jika dia ingin. Kenapa tidak? Karena jika itu keinginannya dia akan sangat menikmatinya. Seperti anak Danies, dia sibuk bukan karena paksaan. Tapi karena dia ingin dan menikmati saat dia bernyanyi. Aku rasa tak masalah, selama dia menikmati dan merasa senang."   Danies mengalihkan pandangannya pada Davin dan Damian, untuk melihat reaksi mereka setelah mendengar ucapan Kalvin. Bagaimanapun, kali ini ucapan Kalvin memang benar adanya. sangat masuk akal.   Damian yang pertama buka suara. "Baiklah akan aku tanyakan pada Ara dan setelahnya akan aku pertimbangkan lagi."   Davin menghembuskan nafasnya. Sejujurnya ia sangat ragu, ia tak ingin anaknya juga terjun didunia yang sama dengannya dan juga ibunya. Ia hanya ingin Ivan menjadi anak remaja biasa saja. Ia tak ingin ditinggalkan lagi, hanya demi menggapai mimpi. Ia takut Ivan menjadi terobsesi pada dunia model dan meninggalkannya juga. Tidak... Ia tak ingin seperti itu.   "Finn." panggil Danies.   "Akan aku pikirkan." putus Davin, ia hanya akan menanyakannya pada Ivan setelah ini. Tapi tetap saja, ia berdoa agar Ivan tak ingin melakukannya.   "Baiklah, aku tunggu kepastiannya dalam tiga hari." jeda sesaat. "Lalu tentang model yang akan bergabung, dia bukan model baru, makanya aku butuh pendapat kalian. Dia model yang baru saja kalian bicarakan."   Ketiga pria itu mengerut. "Yang mana?." tanya Kalvin.   "Shin."   Deg!   Jantung Davin berpacu dengan cepat saat mendengar nama itu disebutkan lagi. Cindy ingin bergabung disini? Diagensi ini? Harusnya dia tau bahwa dirinya juga ada disini. Kenapa dia malah datang? Apakah dia berniat menghancurkannya lagi? Atau membawa rencana lain? Kenapa? Kenapa dia kesini? Padahal semenjak kontraknya dengan agensi yang membawanya menjadi model dulu, banyak agensi yang menawarkan diri. Tapi kenapa kali ini dia malah ingin berada disini?.   Apakah takdir mempermainkannya?.   "Aku pikir tak buruk." ujar Kalvin. "Dia terlihat baik meskipun menyebalkan."   "Bagaimana kau Damian?."   Damian masih berpikir. "Ini aneh. Tapi... Jika menurutmu ini baik untuk perusahaan aku pikir tak masalah. Selama dia bukan orang aneh yang senang membuat scandal. Aku malas menghadapi orang bermasalah."   "Menurutmu Finn?."   Davin membasahi bibirnya terlebih dulu. Jika Cindy berada disini, diagensi yang sama. Apakah itu berarti intensitas pertemuan mereka akan meningkat? Terlebih, jika Ivan menerima tawaran itu. Dia... Akan mudah bertemu Ivan. Bagaimana jika dia mengambil Ivan-nya?.   "Finn...." tegur Danies lagi.   Davin akhirnya menaikan wajahnya. "Aku... Tak masalah. Terserah saja. Yang penting tidak merugikan kita."   Damian menatap Davin. "Finn.... Kau ini kenapa? Tak biasanya banyak melamun begini. Kau aneh sejak tadi."   "Ah? Tidak... Aku hanya memikirkan Ivan dan sebentar lagi aku juga harus menjemputnya."   "Yasudah sebaiknya kalian menjemput anak kalian sana, kasihan jika mereka menunggu." ujar Danies. "Jeff-ku juga sepertinya sudah menjemput Ken."   "Aku duluan." pamit Davin seraya berlalu. Membuat mereka bertiga yang ada diruangan itu saling bertatapan.   "Dia sangat aneh." ujar Kalvin. "Damian, aku ikut ya...."   "Menjemput Ara?."   Kalvin mengangguk, "Sudah lama aku tak melihat keponakanku itu. Aku berjanji akan memasakkan masakan yang lezat untuk kalian nanti."   "Lama-lama kalian seperti suami-istri. Sebaiknya menikah saja sana!." Komentar Danies.   "Tidak tidak. Terimakasih... Masih banyak yang mau padaku. Daripada orang egois ini. Lagipula aku masih normal."   Damian malah tertawa menanggapinya. "Sudah... Ayo... Kau bawel sekali seperti ibu-ibu saja. Bye... Sampai jumpa lagi. Jangan pulang terlalu larut."   "Ya!!! Aku bukan ibu-ibu!." seru Kalvin.   Danies terkekeh pelan melihat kedua model beda usia itu seraya menggeleng pelan. Mereka memang selalu seperti itu. sangat heboh jika bersama. Ia beruntung mendapatkan teman seperti mereka.   ***   Damian dan Kalvin bersandar pada mobil mewah milik Damian dengan sesekali mengobrol dan bergurau.   Damian memang terkadang menyempatkan diri menjemput Ara, meski hanya sesekali. Tak seperti Davin yang sangat rajin menjemput Ivan. Sekarang saja dia sudah pulang lagi. Sementara Ara belum terlihat keluar dari area sekolah.   Saat tengah mengobrol, Ara keluar bersama seorang pemuda yang lebih tinggi darinya dengan tangan saling bertautan.   "Damian... Sepertinya kau akan cepat mendapatkan menantu."   Plak!   Damian memukul kepala bagian belakang Kalvin.   "Ya... Kenapa memukulku?!."   "Ara masih kecil. Kau saja masih jomblo bagaimana mungkin Ara memiliki kekasih?."   "Aku tak bilang Ara memiliki kekasih. Aku hanya bilang kau akan cepat mendapatkan menantu." ujar Kalvin tak terima.   "Sama saja."   "Papa!!!." itu seruan Ara.   Damian tersenyum lebar saat melihat putera kesayangannya itu berlari kecil seraya merentangkan tangannya. Ia pun melakukan hal yang sama kemudian membawa puteranya itu dalam pelukan.   "Papa... Kangen." rengek Ara.   Damian mengelus kepala Ara kemudian menciumnya. "Papa juga...."   "Ra gak kangen paman?." tanya Kalvin.   Ara menatap Kalvin sesaat. "Maaf, siapa ya?."   "Ya! Dasar anak durhaka!!!."   Ara secepatnya bersembunyi dibelakang Damian seraya tertawa lepas. Dia memang paling senang menjahili paman-nya yang satu ini.   "Yasudah, paman tak akan memasakkan makanan kesukaanmu lagi."   Ara membulatkan matanya, ia segera berlari kearah Kalvin kemudian memeluknya. "Aaaaa..... Kangen Paman Kal."   Baik Damian maupun Kalvin terkekeh pelan melihat tingkah Ara yang sangat menggemaskan itu.   "Ayo kita pulang." seru Ara.   Damian membukakan pintu belakang untuk Ara kemudian dirinya memasuki bangku dibalik kemudi. Namun Kalvin bukannya masuk. Ia malah berjalan menjauhi mobil.   Kalvin memungut sebuah dompet yang baru saja terjatuh dari saku seseorang yang bersama Ara tadi. Setelah itu ia berlari menuju mobil yang hampir saja pergi membawa pemilik dompet itu.   "Permisi... Tadi aku melihat ini terjatuh."   Setelah mengatakan itu barulah kaca mobilnya diturunkan.   "T-terimakasih... Paman...." ujar anak itu.   Kalvin tersenyum sangat lembut. "Lain kali hati-hati ya...."   Anak itu tersenyum kaku seraya menatap seseorang disampingnya yang sama sekali tidak menatap kearah Kalvin. Dia hanya menyibukkan diri dengan ponsel ditangannya saja.   "Sekali lagi... Terimakasih Paman."   Saat kaca itu hampir tertutup. Barulah Kalvin bertatapan dengan perempuan dewasa disamping anak itu.   Mata itu....   Mata sendu itu....   Ia seperti pernah melihatnya... Ia seperti mengenalnya...   Tapi siapa?.   ***   Bersambung...   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD