Our

2300 Words
Damian, Ara dan Kalvin berkumpul di meja makan. Menyantap makan malam hasil karya Kalvin bersama. Sesekali Damian melirik Ara yang terlihat sangat menikmati makan malamnya itu.   "Enak sekali Ra?."   Ara tersenyum lebar pada sang ayah. "Iya Pa... Enak sekali. Apalagi sekarang makan malam bersama Papa."   "Papa ingin bertanya Ra."   "Hm... Apa itu?."   "Dimeja makan jangan mengobrol Damian. Kalian bicara saja nanti setelah makan." ujar Kalvin.   Suasana makan malam itu kembali hening, hanya menikmati makan malam saja. Beginilah kedekatan mereka. sangat dekat. Hingga memang terkadang banyak yang bertanya mengenai Damian pada Kalvin. Bahkan banyak juga yang mengira mereka saudara. Padahal mereka tak memiliki hubungan darah sama sekali.   Beberapa saat kemudian makan malam selesai. Saat Ara berpamitan hendak kembali ke kamar, Damian menginterupsinya.   "Ra... Kita bicara dulu sebelum kau belajar."   Damian menepuk sofa disampingnya, agar Ara duduk sisana. Ia merangkul anaknya itu yang begitu duduk langsung memeluknya erat.   "Ara kangen Papa...."   Damian bergumam pelan. "Papa juga." jeda sesaat. "Ra, siapa yang bersamamu tadi? Kenapa dia memegang tanganmu?."   Ara menghela nafas panjang. Ini lagi. Ayahnya ini sudah bertanya berulang kali dan selalu saja pertanyaan yang sama. "Papa... Dia Alvin. Teman Ara. Ara kan sudah mengatakannya beberapa kali. Dia teman sekelas Ara."   "Tapi memangnya harus berpegangan tangan begitu?." tanya Damian sedang dalam mode posesif. Ia tak suka puteri cantik kesayangannya itu di pegang sembarang orang.   "Papa... Alvin cuma memegang tangan Ara. Lagipula Ara juga sering begitu dengan Ivan."   "Papa tidak suka."   Ara menatap ayahnya curiga. "Papa posesif sekali. Papa cemburu ya?."   "Ya. sangat. Papa tak suka anak Papa dipegang-pegang seperti itu."   Ara merengut. "Tapi Alvin yang selalu menolong Ara, Alvin juga sering mengajak Ara menginap dirumahnya saat Papa bekerja. Papa... Mama Alvin juga sangat baik pada Ara...."   "Tapi kamu masih kecil Ra...."   "Memang anak kecil tidak boleh berteman?."   Kalvin yang melihat perdebatan itu hanya menghela nafas panjang. Sebenarnya ia sangat heran dengan Damian, dia ini sering meninggalkan Ara hanya dengan pengasuhnya jika sedang bekerja, tapi saat bertemu justru sangat amat posesif.   "Sudahlah Damian... Lagipula hanya berteman. Kau ini posesif sekali. Lama-lama nanti Ara tak memiliki teman jika kau terus begitu." lerai Kalvin.   Damian menatap Ara yang mengangguki perkataan pamannya. "Nanti tidak ada yang menemani Ara." ujar anaknya itu dengan bibir mencebik sedih.   Damian menghela nafas lagi. "Baiklah, baiklah... Maafkan Papa hm... Kau boleh berteman dengan siapapun, yang terpenting orang baik. Mengerti?."   Ara akhirnya tersenyum lebar seraya mengangguk. "Alvin baik Papa. Mama Alvin juga baik pada Ara."   Damian tersenyum lembut, Ara memang kelemahannya. Jadi ia akan selalu kalah dengan anak itu. "Baiklah-baiklah... Kapan-kapan kenalkan Papa pada mereka, oke?."   Bukan, bukan modus. Ia hanya ingin mengenal lingkungan anaknya saja. Ia ingin memastikan bahwa Ara berada di lingkungan yang aman.   Ara mengangguk, setuju dengan ucapan ayahnya.   Sementara itu Kalvin hanya bisa geleng-geleng kepala melihat interaksi ayah dan anak itu. Mereka memang menggemaskan. Terkadang bahkan ia berpikir, apakah jika ia memiliki anak akan seposesif Damian? Atau seperhatian Davin? Entahlah, selalu itu yang ia pikirkan. Ia selalu merasa iri pada mereka. Tapi ia rasa, ia belum cukup siap untuk menjadi seorang ayah.   "Ah Damian, aku harus pulang sekarang."   "Cepat sekali. Tumben." ucap Damian seraya menatap Kalvin.   "Besok aku ada pekerjaan."   "Jangan terlalu banyak bekerja Kal. Kau ini workaholic sekali."   "Ra beri Papa-mu cermin ya setelah ini." ujar Kalvin seraya beranjak.   "Bye Ra...."   Ara melambaikan tangannya pada Kalvin yang mulai pergi meninggalkan rumah mereka. Setelah itu ia menatap Damian. "Papa membutuhkan cermin?."   Damian terkekeh pelan. "Kau ini.... Oiya... Ra sebenarnya Papa malas menanyakan ini."   "Apa Pa? Alvin lagi?."   Damian menggeleng. "Ada tawaran untukmu, menjadi model seragam sekolah. Pertimbangkan ya... Tapi Papa harap kau....."   "MAU!!! Ara MAU!!!." Seru Ara dengan mata berbinar. Sebenarnya ini yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Ia juga ingin seperti Ayahnya.   Damian menghela nafas panjang. Harapannya Ara akan menolak, tapi malah mau. Kalau sudah begini, ia tak bisa melakukan apapun. Karena jika ia melarangnya, Ara akan sangat marah dan berakhir dengan mengacuhkannya. Tidak, ia tak suka sang anak mengacuhkannya.   "Nanti kau lelah Ra...."   Ara menggeleng. "Ara bisa mengambilnya saat libur. Lagipula sebentar lagi libur Pa. Tak apa... Daripada Ara sendiri dirumah."   Lagi-lagi Damian hanya menghela nafas panjang. Ya... Ara memang selalu hanya sendiri dirumah. Dia pasti kesepian. Apalagi jika ia tinggal lama untuk keluar negeri. Ia merasa sangat bersalah.   "Maafkan Papa Ra...."   Ara menatap Damian heran. "Untuk apa Papa meminta maaf?."   Damian tersenyum sangat lembut. "Papa sering meninggalkanmu. Kau pasti sangat kesepian."   Ara membalas perkataan itu dengan senyuman juga, kamudian memeluk erat ayahnya lagi. "Tidak apa-apa Papa. Ara tak apa. Papa bekerja begini demi Ara juga kan?."   Damian bergumam. "Tentu saja Ara...."   "Tapi Papa.... Ara ingin Papa lebih jarang keluar negeri. Ara takut jika ditinggal sangat lama."   Damian mengelus kepala puteri tercintanya itu lalu menganggukan kepala. "Hm... Papa usahakan."   Jujur, Damian selalu risau saat meninggalkan Ara sendiri. Ia juga selalu merasa bersalah akan hal itu. Tapi--- jika ia tidak bekerja, bagaimana bisa ia memberikan hidup yang layak untuk Ara? Bagaimabapun ia harus memberikan semua kebutuhan Ara, ia tak ingin Ara merasakan lebih kekurangan. Cukup dengan dia tak bisa bertemu Ibunya. Selain itu ia tak ingin Ara kekurngan apapun.   "Terimakasih Papa...."   Damian mengangguk lagi. "Sekarang kekamarlah, belajar jika ingin. Setelah itu tidur. Besok Papa antarkan kesekolah."   Ara mengangguk patuh. "Selamat malam Papa." ucap Ara kemudian berlalu setelah memberikan ciuman singkat di pipi kanan ayahnya.   ***     Pagi itu dikediaman Davin. Ayah muda itu sedang menunggu anaknya yang masih bersiap di kamar. Sesekali ia menatap jam di tangannya, memastikan anaknya itu tidak akan terlambat.   "Sydney--- Cepat. Kau akan terlambat." panggil Davin pada puteranya itu.   Davin memanggil begitu bukan tanpa alasan. Dulu saat Ivan belajar bicara, entah siapa yang mengajari dan entah darimana asalnya ia tau dengan kota Sydney dan selalu menggumamkannya setiap ada kesempatan. Jadilah sampai sekarang ia selalu memanggilnya begitu jika berada dirumah.   "Iya... Papa...." ucap Ivan seraya keluar dari dalam kamarnya.   "Lama sekali, nanti terlambat bagaimana?." ujar Davin seraya membukakan pintu mobil untuk anaknya.   Ivan tersenyum lucu, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya memamerkan giginya. Tadi sebenarnya ia sempat mengecek portal berita terlebih dulu dan ternyata salah satu berita mengatakan bahwa Cindy -seseorang yang ia tau adalah ibunya- bergabung dengan agensi baru, agensi yang sama dengan sang ayah. Tapi anehnya ayahnya itu belum mengatakan apapun. Bahkan sejak semalam ayahnya itu tak mengatakan apapun tentang pekerjaan atau apapun yang berkaitan dengan itu.   "Papa...." Ivan menatap sang ayah yang tengah menyetir. Haruskah ia tanyakan? Bagaimana jika Davin sebenarnya ingin menyembunyikan fakta itu? Atau bisa saja ayahnya itu tak tau tentang ibunya ini?   Ia sangat penasaran. Bagaimanapun ia merindukan Ibunya dan ia ingin bertemu dengan wanita itu.   "Kenapa?."   "Ah... Tidak Pa... Ivan hanya ingin memanggil saja."   Davin terkekeh pelan. "Van... Sebenarnya sejak semalam Papa ingin bicara padamu, tapi kau sangat sibuk belajar."   Ivan mengerjapkan matanya. Sebuah senyuman bahkan merekah, apakah sang ayah akan membicarakan ibunya?   "Apa itu Pa?."   "Ada tawaran untukmu, menjadi model seragam sekolah dengan Ara. Bagaimana menurutmu?."   Lagi-lagi Ivan mengerjapkan matanya. Model? Apakah dengan cara ini ia bisa bertemu ibunya secara langsung? Bisakah? Begitu?   Pasti bisa kan?   Senyum Ivan merekah, "Mau Pa. Ivan mau. Apa Ara sudah setuju?."   Davin bergumam. "Semalam paman Damian bilang, Ara sudah setuju."   "Pasti sangat seru nanti." seru Ivan bahagia.   Davin terkekeh. "Kalian hanya akan mengambil bagian saat libur, itupun akan Papa dan Paman Damian batasi. Kau mengertikan maksud Papa?."   Ivan mengangguk lagi. Tak apa walau saat libur. Ia masih merasa antusias mendengarnya. Apalagi saat membayangkan ia akan bertemu sang Ibu.   "Papa tak ingin kau lelah. Jika kau tak suka, katakan. Papa tak akan memaksa."   "Siap Captain!!!." seru Ivan lagi.   Davin tersenyum menatap anaknya yang terlihat sangat bahagia itu. Ia senang melihatnya bahagia. Tapi ia juga sangat khawatir. Cindy mulai bergabung dengan perusahaan hari ini. Itu artinya intensitas pertemuan merekapun akan semakin padat. Jika dulu hanya disebuah acara, maka sekarang sepertinya akan lebih dari itu. Lalu Ivan juga akan bergabung. Apakah ini semacam takdir? Apakah ini saatnya mereka juga bertemu? Entahlah... Entah kenapa, ia merasa sedikit tak siap bahkan untuk membayangkannya saja, tidak.   ***   Damian menuju perusahaan setelah mengantar Ara atas panggilan Danies. Pagi ini memang jadwalnya kosong, ia hanya akan berangkat keluar kota siang nanti untuk pemotretan edisi musim panas disebuah pantai.   Saat ia berjalan memasuki ruangan Danies, agak jauh didepannya berdiri sesosok perempuan berwajah manis yang tengah menatapnya dengan sangat terkejut. Dia bahkan terlihat mengeratkan pegangannya pada ujung kemeja yang ia kenakan.   Damian menyipitkan matanya, memastikan sosok yang ia lihat benar-benar orang itu. Seseorang yang dulu tiba-tiba menghilang dari hidupnya.   "Kyra?."   Bertepatan dengan itu, seseorang yang Damian panggil Kyra beranjak pergi menggunakan langkah lebar. Damian yang tak ingin kalah, mengejar perempuan itu kemudian meraih pergelangan tangan kanannya.   "Hei... Berhenti."   "Lepas...."   "Kyra!." ucap Damian dengan penuh tekanan itu tak membuat pria manis dihadapannya ini gentar. Dia masih berusaha melepaskan cengkraman Damian di pergelangan tangannya.   "Lepaskan aku...."   Damian melepaskan tangan itu, namun kini beralih merengkuh kedua belah bahunya. Menyudutkan perempuan itu dan menghimpitnya di dinding.   "Tatap aku."   Dia masih saja menghindar, dia seolah enggan untuk menatap Damian.   "Kyra...." Damian kini meraih kedua belah pipi lembut itu. Memaksa perempuan manis dihadapannya ini menatap matanya.   "Ky.... Kau kemana saja selama ini?."   Kyra, Lailah Kyara. Dia adalah seseorang yang sangat Damian cintai, dulu. Hubungan mereka memang berakhir sebelum benar-benar dimulai. Ya... Karena saat itu meski mereka bersama. Mereka tak memiliki komitmen apapun selain Damian yang mengatakan dia mencintai Kyra, begitupun sebaliknya. Hanya itu. Benar-benar hubungan tanpa ikatan. Dan--- Dia adalah ibu kandung Ara. Yang menghilang, dua bulan setelah Ara lahir.   "Dam...Damian..." suara Kyra tercekat. Kedua tangannya berusaha menepis tangan besar itu dari pipinya. "Jangan ganggu aku lagi. Ku mohon."   Deg!   Damian terpaku ditempat. Apakah ia baru saja di tolak? Ia tersenyum masam. Harga dirinya sungguh terluka saat mendengar kalimat itu meluncur mulus dari bibir indahnya. Setelah sekian lama perpisahan mereka. Hal itu yang pertama kali ia katakan? Apakah ia setidak berharga itu bagi perempuan ini? Apakah ia benar-benar tak memiliki arti dalam hidup perempuan ini? Begitukah?   "Katakan sekali lagi." tantang Damian seraya mendekatkan dirinya. Semakin menghimpit Kyra. Bahkan kini wajah mereka hanya berjarak beberapa centi saja. "Katakan!." tekannya dengan desisan tajam.   "Jangan.... Hm...." perkataan itu terhenti saat bibirnya dibungkam oleh bibir Damian. Tak ada lumatan atau sapuan lembut, bibir mereka hanya menempel saja. Hanya menempel, tidak lebih.   Damian menjauhkan dirinya tanpa mengalihkan pandangan dari Kyra yang masih terlihat shock. "Jangan pernah berani melarangku."   Kyra menatap berang Damian. Tangannya mengepal, bahkan giginya saling bergerutuk menahan marah. Setelah beberapa detik barulah ia mendorong Damian sekuat tenaga hingga Damian terhuyun kebelakang, setelah itu pergi tanpa mengatakan apapun.   Damian menatap punggung sempit itu yang kini menghilang dibalik pintu ruangan Danies. Ia mengerang pelan seraya menarik poninya yang sudah ditata rapih kebelakang. Menahan kesal dan amarah yang kini meluap begitu saja.   Kyra, perempuan yang selama ini ia tunggu. Ternyata tak menginginkannya lagi?   ***   Sementara itu tanpa disadari Damian, Davin melihat adegan itu dari kejauhan. Bukan ingin mengintip, tapi ingin memastikan tak ada orang lain yang akan melintas lagi di koridor itu. Ini pertama kalinya ia melihat Damian seperti ini, membuatnya yakin ada sesuatu diantara mereka yang tidak ia ketahui. Damian bukan sosok b******k yang mencium seseorang dengan sembarangan, karena itulah ia yakin ada sesuatu antara Damian dan perempuan itu.   Setelah memastikan keduanya memasuki ruangan CEO, Davin akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri menuju ruangan yang sama. Ia menarik nafas beberapa kali sebelum akhirnya memasuki ruangan itu.   "Maaf aku terlambat." ujar Davin kemudian mendudukkan dirinya disamping Damian.   Saat ini Davin belum berani menatap seseorang dihadapannya. Karena mencium wanginya saja sudah mampu membuatnya mabuk. Apalagi melihat orangnya secara langsung. Wangi yang lembut ini masih tetap sama dengan wangi yang selalu ia ingat. Dia selalu menggunakan wewangian bernuansa bunga dan buah yang sangat fresh dan sekarangpun ternyata masih sama. Dan mau tak mau hal itu membuatnya nyaris gila.   Ingin sekali ia mendongak dan menatap langsung si pemilik aroma ini. Tapi ia tak bisa. Ia tak ingin mendapati dirinya tak di inginkan lagi oleh perempuan dihadapannya ini.   "Finn... Hey...." tegur Danies.   Davin barulah mengangkat wajahnya setelah tangannya disentuh oleh Damian. Itupun menatap Damian, bukan kearah depannya.   "Ah... Ya... Maafkan aku."   Davin melirik Damian yang menatapnya penuh tanya, kemudian menatap Danies.   "Finn, kenalkan ini Shin dan ini manager-nya. Kyra."   Davin dengan terpaksa menatap perempuan dihadapannya itu. Ia terpaku. Hanya diam. Menatap pahatan, maha karya Tuhan yang sangat sempurna dihadapannya ini. Dia tersenyum, masih sangat cantik. Bahkan kali ini dia lebih cantik lagi. Lebih terlihat dewasa, lebih anggun dan lebih menawan. Apalagi mata indah itu, mata kucing yang dulu selalu ia tatap. Mata--- yang dulu selalu ia cintai tapi sekarang sangat melukai dirinya.   Kenapa dia bisa tersenyum seperti itu? Kenapa dia bertingkah seolah mereka baik-baik saja? Kenapa? Padahal dia tau dengan jelas bahwa hubungan mereka tak baik. Hubungan mereka bahkan lebih dari kata buruk.   "Kami saling kenal." ujar Cindy yang membuat Davin semakin merasa aneh.   Apa tujuannya mengatakan itu? Dia yang meninggalkannya, lalu dia juga yang ingin kembali memasuki hidupnya? Begitu?   "Ah benarkah?."   Cindy mengangguk. Membuat Davin hanya menghembuskan nafasnya kasar.   "Kau tak pernah bercerita mengenalnya Finn. Kemarin kau bahkan seolah tak mengenalnya saat aku bercerita tentangnya." ujar Danies. Perempuan itu menatap Davin sangsi, karena tak biasanya Davin menutupi sesuatu darinya.   Davin menatap Cindy terlebih dulu kemudian menghadap Danies.   "Kami bertemu di beberapa acara. Hanya bertemu. Kami tidak sedekat itu."   "Finn...."   Davin menatap Cindy, pandangan itu tampak lebih sendu dari sebelumnya. Mata kucing itu bahkan kini terlihat sangat kecewa dan sedih.   Tidak! Davin. Dia tidak sedih. Itu hanya perasaanmu saja! Pikir Davin.   Kali ini Cindy terlihat menahan air matanya. Matanya bahkan berkaca-kaca. Davin hanya mengalihkan pandangan pada Danies yang sedang berbicara dengan manager Cindy, tak ingin larut dalam tatapan mematikan itu. Ya--- tatapan mematikan. Yang dapat melukainya dan menghancurkannya hingga tak tersisa.   Tatapan itu. Masih sangat mempengaruhinya.   Bagaimanapun dia cintanya dan sekarangpun masih sama.   Ia hanya tak ingin terlihat lemah. Ia tak ingin terlihat masih mencintai perempuan itu, meskipun kenyataannya sebaliknya.   Ia hanya.... Tak ingin terluka lagi.   *** Bersambung   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD