"Ini, bantu saya memeriksa laporan ini." Relix menaruh tumpukan berkas di atas kedua tangan Syafira yang tengah menengadah.
"Ini sebagai hukuman untuk kamu yang lagi dan lagi datang terlambat, di hari kedua. Sudah sana kamu keluar, saya sibuk!" Syafira masih melongo menatap banyaknya berkas di tangannya ketika Relix menepuk bahunya.
"Kamu dengar kan apa yang saya katakan? Sana keluar!" Wanita itu langsung gelagapan.
"B-baik Pak," ucap Syafira yang akan keluar ruangan namun terhenti ketika Relix kembali memanggilnya.
"Iya Pak, ada apa?" tanyanya sambil membalikkan tubuhnya menghadap Relix.
"Waktu kamu untuk memeriksa seluruh laporan itu hanya sampai jam makan siang saja, sesudah waktu jam makan siang. Berkas-berkas itu harus kembali berada di meja saya, saya akan periksa lagi. Jika kamu melakukan kesalahan lagi, maka hukuman lain akan menantimu. Sudah sana kamu keluar!" Syafira memaksakan senyumnya.
"Baik Pak, kalau begitu saya keluar dulu. Terima kasih karena sudah memaafkan saya," ucap Syafira penuh penegasan di seluruh katanya kemudian keluar dari ruangan itu dengan perasaan kesal.
"Jangan jatuh, please. Jangan jatuh ... jangan jatuh ...." BRUKKKK
"Ah sial ini berkas!" umpat Syafira tak sadar.
"Ada apa di luar Syafira!?" tanya Relix dengan suara tegasnya dari dalam ruangan.
"Ah tidak ada apa-apa Pak! Hanya masalah kecil saja!" teriak Syafira agar Relix dapat mendengar suaranya.
"Huh, untung aja." Syafira menunduk untuk mengambil berkas-berkas yang berjatuhan semuanya.
Jangan salahkan dirinya yang tak hati-hati dalam membawa berkas itu, tetapi salahkan saja Relix yang dengan tidak berperasaannya menyuruhnya membawa tiga puluh berkas sekaligus. Bayangkan saja, seberat apa tadi dia membawa berkas itu dari dalam ruangan CEO-nya itu menuju luar sini? Dia sebenarnya ingin protes kalau dia akan membawa berkas itu dengan bertahap, tetapi melihat wajah tak bersahabat Relix membuat nyalinya menjadi ciut. Akhirnya inilah yang dia dapatkan, semua berkas berjatuhan di atas lantai dan dia harus memungutinya satu persatu.
"Bu Syafira sedang apa?" tanya sebuah suara berat yang kemudian dia ikut membantu Syafira memunguti berkas-berkas yang berjatuhan.
"Ah terima kasih ya, Hendra." Syafira menerima uluran berkas yang Hendra berikan kepadanya kemudian menaruhnya di atas mejanya sendiri.
"Sama-sama Bu, ah iya Ibu mau saya buatkan teh atau kopi? Kebetulan saya ingin membuatkan kopi untuk Pak Relix" tanya Hendra sopan. Hendra itu merupakan salah satu office boy yang bekerja di sini, usianya masih sangat muda. Mungkin sepantaran dengan Syafira, pria itu bekerja paruh waktu di sini sambil menyelesaikan kuliahnya yang tertunda karena kurangnya biaya.
"Ah tolong buatkan saya teh saja ya Hendra," ucap Syafira pada Hendra.
"Baik Bu, kalau begitu saya permisi dulu." Hendra membungkuk sopan kemudian pergi meninggalkan Syafira menuju dapur kantor.
Kini tatapan Syafira beralih pada berkas yang menumpuk di atas mejanya, dia menghela napas sejenak kemudian duduk sambil mengambil salah satu berkas dan mulai memeriksanya dengan teliti. Tentu saja dia harus sangat teliti dalam memeriksanya, jika tidak maka bisa dipastikan si Boss suka marah-marah itu pasti akan mengeluarkan taringnya lagi. Ah mengapa bekerja tak seenak yang dia bayangkan ya? Atau karena dia yang bekerja di sini makanya rasanya tidak enak? Andai saja dia bekerja di perusahaan lain, apakah Bossnya akan segalak ini? Syafira langsung menggeleng ketika pikirannya dipenuhi dengan kata andai-andai.
"Maaf, Bu. Ini tehnya saya taruh di atas meja ya Bu?" Syafira hanya melirik ke arah Hendra sekilas kemudian kembali fokus pada berkas di hadapannya.
"Ah iya Hendra, terima kasih ya?" Pria itu mengangguk kemudian memasuki ruangan Relix untuk mengantarkan kopi kepada CEO itu.
"Bu, Bu Syafira dipanggil Pak Relix." Helaan napas panjang Syafira lakukan ketika mendengar perkataan Hendra, apalagi ini? batinnya kesal.
"Ya sudah, kamu boleh pergi Hendra. Terima kasih."
"Baik Bu." Hendra berlalu pergi meninggalkan Syafira yang kini menghela napasnya dan mulai mengetuk pintu atasannya.
"Masuk!" Setelah mendengar perintah masuk dari dalam, Syafira membuka pintu itu dengan perlahan kemudian memasuki ruangan itu.
"Kata Hendra, Bapak memanggil saya ya? Ada apa ya Pak?" tanyanya sopan.
"Saya hanya ingin bertanya, sampai mana kamu memeriksa berkas itu." Syafira menganga, ini CEO perfeksionis itu tak salah bertanya kan? Berkas itu baru lima menit yang lalu Relix berikan padanya dan dia kini langsung menanyakan perkembangan dia yang memeriksa laporan seabrek itu? Benar-benar!
"Saya baru saja akan memulai memeriksa berkas yang pertama, Pak." Syafira masih menjawab dengan sopan, walau dalam hati terselip rasa kesal yang teramat dia pendam.
"Ingat ya, jangan sampai salah apapun dalam memeriksa. Atau kamu akan menerima konsekuensinya," ucap Relix yang membuat Syafira mengangguk.
"Baik, Pak."
"Ya sudah kamu boleh pergi!" usir Relix tanpa menatap ke arah Syafira, pria itu kembali berkutat dengan laptopnya.
Walaupun Relix tak melihat anggukkan kepalanya, namun Syafira tetap mengangguk. Dia yang akan membuka kenop pintu itu terhenti ketika Relix bersuara.
"Ah iya satu lagi, besok-besok kamu saja yang membuatkan saya kopi. Tadi saya juga sudah katakan pada Hendra kalau mulai besok kamu yang menggantikannya membuatkan saya kopi," ucap Relix tanpa beban namun terdengar tak ingin terbantahkan.
"Bagaimana maksudnya, Pak?" tanya Syafira mencoba memastikan.
"Perlu saya ulangi perkataan saya yang tadi? Kamu punya telinga yang normal kan untuk mendengar dengan jelas perkataan saya? Saya tidak suka jika sekretaris saya banyak tanya seperti kamu. Biasakan belajar untuk memahami perkataan saya tanpa harus saya ulangi lagi!" Syafira menunduk, iya sih dia tahu. Tetapi masalahnya kan, ini bukan tugasnya. Masa dia yang bertugas meng-handle segala urusan CEO-nya itu kini harus juga membuatkan kopi? Kan itu adalah tugas OB. Pekerjaannya saja sudah banyak, sekarang ditambah dia yang harus membuatkan Relix kopi?
Syafira bukannya berniat perhitungan ya? Tetapi dia berpikir dengan penuh kematangan, dia menebak pasti Relix akan mengomentari caranya membuat kopi. Sudah dipastikan itu yang akan terjadi besok, Syafira menggeleng. Untuk apa juga dia memikirkan hal yang belum terjadi?
"Maaf Pak, saya bukannya menolak. Tetapi bukankah membuatkan kopi itu tugas OB ya Pak? Tugas saya kan bukan itu Pak, saya juga harus memeriksa laporan Bapak, membuat agenda Bapak. Juga hal lainnya yang lebih penting," ucap Syafira yang dibalas tatapan tajam oleh Relix.
"Maksud kamu membuatkan saya kopi itu hal yang tidak penting!? Begitu maksudmu!? Dengar ya, asal kamu tahu saja. Sebelum-sebelumnya pun sekretaris saya juga saya minta membuatkan kopi untuk saya, kenapa kamu yang masih dua hari menjadi sekretaris saya sudah mulai bisa protes dengan permintaan saya? Memangnya apa susahnya bagi kamu membuatkan saya kopi? Toh itu pun tidak memerlukan waktu yang lama." Syafira menahan napasnya, menyesal sudah dia menyuarakan isi pikirannya. Karena berkat itu kini dia mendapatkan omelan panjang dari Relix, tadi perkataannya bisa dia tarik kembali tidak sih?
"Syafira! Kamu mendengarkan saya bicara tidak sih!?" Syafira sontak mendongak.
"Iya Pak, saya dengar. Besok pagi saya yang akan membuatkan Bapak kopi, bukan lagi Hendra." Relix tersenyum puas mendengar perkataan Syafira.
"Itu yang saya mau dengar dari kamu, ya sudah kamu boleh keluar. Selesaikan pekerjaan kamu tepat waktu," peringat Relix.
"Baik, Pak." Syafira keluar dari ruangan Relix, wanita itu menghempaskan tubuhnya di atas kursi.
"Ah coba aja tadi gue iyain aja pasti enggak bakal panjang kayak tadi, nah gara-gara tadi waktu lima belas menit yang seharusnya gue pergunakan buat menyicil berkas ini hilang begitu saja gara-gara mendengar ceramah si CEO perfeksionis itu." Sambil terus saja mengomel, Syafira mulai serius mengerjakan pekerjaan yang Relix embankan padanya. Ah bukan pekerjaan, lebih tepatnya hukuman karena dia yang datang terlambat. Ingatkan lagi Syafira untuk tidak datang terlambat besok pagi, karena jika sampai dia terlambat lagi. Dia tidak akan pernah bisa membayangkan hukuman apa yang akan Relix berikan padanya, bisa jadi nanti hukumannya akan lebih berat dari ini.
Memeriksa berkas itu sambil menikmati secangkir teh buatan Hendra membuat Syafira sedikit rileks, hingga tanpa sadar dia sudah memeriksa semua berkas itu tepat pada saat jam makan siang telah tiba. Wanita itu mendesah lega, dia menatap ke arah tumpukan berkas yang akan dia kembalikan pada Relix.
"Eh Ra, makan siang bareng yuk!" ajak Luna yang sengaja menghampiri Syafira.
"Iya Bu, tapi sebentar ya Bu? Saya mau mengantarkan berkas-berkas ini ke ruangan Pak Relix." Luna mencibir ketika Syafira malah berbicara formal padanya, tetapi begitu melihat tumpukan berkas di atas meja Syafira matanya pun langsung membulat.
"Ya ampun Ra! Ini berkas sebanyak ini!?" tanya Luna tak percaya, Syafira hanya tersenyum kaku.
"Kalau begitu saya pergi dulu ya Bu?" pamit Syafira kemudian memasuki ruangan Relix dengan tumpukan berkas di tangannya, jalannya pun sangat perlahan karena takut berkas-berkas itu akan kembali jatuh seperti tadi.
"Permisi, Pak. Ini berkas-berkasnya sudah saya periksa dengan teliti," ucap Relix yang masih berkutat dengan laptopnya.
"Ya taruh di atas meja saja," ujarnya acuh.
"Hmm, Pak ...." panggil Syafira ragu.
"Iya?" tanya Relix tanpa menatap ke arah Syafira, pria itu masih fokus dengan pekerjaannya.
"Bapak tidak keluar untuk makan siang? Ini sudah jam makan siang loh Pak," beritahu Syafira membuat pergerakan tangan Relix yang sedang mengetikkan kata demi kata di atas keyboard pun terhenti.
"Ah iya saya lupa, kamu mau makan siang?" Sontak saja Syafira mengangguk.
"Iya Pak, saya sudah janji makan siang dengan Bu Luna. Tadi beliau menghampiri saya dan kini menunggu saya di depan ruangan Bapak," ujar Syafira membuat Relix sedikit kecewa dengan jawaban Syafira.
"Ya sudah kalau begitu, kamu makan siang saja dengan Luna. Ah iya, sekalian pesankan makan siang untuk saya. Saya terlalu sibuk keluar untuk sekedar makan siang," ucap Relix dengan nada datar.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Syafira sopan kemudian pergi keluar dari ruangan Relix.
"Gimana Ra? Bolehkan sama si CEO?" tanya Luna ketika Syafira keluar dari ruangan Relix.
"Iya boleh kok Bu, tadi Pak Relix sekalian menitipkan pada saya untuk membelikannya makan siang." Luna mengangguk kemudian mengajak Syafira memasuki lift.
"Kita makan di mana ya? Kantin aja kali ya? Lebih dekat, soalnya habis ini gue juga ada kerjaan sih." Syafira mengangguk saja, dia mau makan di manapun juga boleh-boleh saja karena dia suka semua jenis makanan.
"Eh Ra, gimana rasanya jadi sekretaris Pak Relix?" tanya Luna ketika mereka sudah duduk bangku meja kantin setelah sebelumnya menyebutkan pesanan mereka pada Ibu kantin.
"Ya enggak gimana-gimana Mbak," jawab Syafira yang dibalas tawa renyah Luna.
"Yakin lo? Tau enggak lo, kalau Pak Relix itu dari dulu udah terkenal sama sifatnya yang perfeksionis. Dari dulu sekretarisnya banyak yang mengundurkan diri karena enggak betah sama perlakuan Pak Relix yang keterlaluan, maksudnya keterlaluan rapi dan rajinnya itu. Salah dikit, kena semprot. Terlambat dikit, dapat surat peringatan tanpa ada alasan apapun itu." Syafira tak heran lagi mendengar cerita Luna, karena dia pun merasakan hal itu.
"Ra kok bengong? Pasti lo lagi mikirin Pak Relix ya?" Perkataan Luna membuat Syafira tersadar.
"Hah!?" Luna malah terkekeh.
"Tau juga enggak? Walaupun perfeksionis gitu, banyak loh yang naksir sama Pak Relix. Secara kan Pak Relix itu ganteng, jadi idola deh buat para cewek-cewek di kantor. Bahkan lo tahu enggak Ra? Gosipnya dulu Pak Relix pernah ditembak sama salah satu pelanggan di perusahaan kita." Syafira mendengarkan dengan seksama cerita Luna yang kini mulai menarik perhatiannya, tetapi Luna sepertinya ingin menggoda Syafira. Karena bukannya wanita itu melanjutkan perkataannya, dia malah hanya diam saja dan hal itu semakin menambah rasa penasaran di hati Syafira.
"Terus Pak Relix terima enggak Mbak?" tanya Syafira yang tanpa sadar menyuarakan rasa penasarannya, hal itu membuat Luna terkekeh.
"Penasaran juga kan lo, Ra." Syafira mengangguk sambil menyengir.
Luna akan melanjutkan ceritanya, tetapi terhenti ketika seorang waiters mengantarkan makanan mereka.
"Makasih ya Mbak," ucap Luna yang dibalas anggukan oleh waiters itu kemudian dia pergi meninggalkan Syafira dan Luna yang tengah mengaduk-aduk nasi goreng mereka agar tercampur dengan sambal goreng yang tersedia.
"Jadi ya Ra, itu si Pak Relix nolak. Padahal tuh ya, pelanggan cewek itu orangnya cantik loh. Mana body-nya aduhai lagi, ditambah ya dia itu salah satu anak pemilik unit-unit apartemen elit itu loh. Usianya sih enggak terlalu jauh sama Pak Relix, cuma dua tahun di atas Pak Relix aja. Lo tahu enggak alasan Pak Relix nolak cewek itu?" Tentu saja Syafira langsung menggeleng karena dia memang tidak tahu alasan Relix menolak wanita kaya, seksi dan cantik itu.
"Gue masih inget banget tuh sama perkataannya Pak Relix, karena gue dulu enggak sengaja lewat dan dengar pembicaraan mereka. Ingat ya gue bukannya nguping, tapi enggak sengaja dengar." Luna seakan menegaskan kalau dia tidak menguping, padahal sih dalam sebuah arti itu pun sama saja maknanya.
"Pak Relix bilang kalau dia enggak tertarik sama cewek di atas dia, dia tertarik sama cewek yang usianya beberapa tahun di bawah dia. Terus, penampilan cewek yang enggak terlalu menor, tetapi cantik natural. Dan Pak Relix bilang dia udah punya calon istri waktu itu, OMG! Gue masih penasaran banget tahu sama calon istrinya Pak Relix. Pak Relix itu sih orangnya tertutup banget, orang kantor enggak ada yang tahu kehidupan pribadinya. Ah mungkin lo tahu Ra?" Syafira langsung menggeleng.
"Ah iya gue lupa, lo kan masih baru di sini. Mana mungkin ya Pak Relix bisa terbuka sama lo, orang sama sekretarisnya yang udah lama kerja aja dia enggak tahu apa-apa." Syafira tersenyum sepanjang Luna menceritakan tentang Relix, andai saja kalau Luna tahu calon istri yang kini sudah menjadi istri Relix adalah dirinya. Kira-kira apa ya reaksinya?