5. Mr. Perfect

2168 Words
Sepertinya CEO-nya terlalu sibuk dengan pekerjaannya itu, sehingga saat Syafira menaruh bungkusan berisi makanan pesanan pria itu dan Bossnya itu sama sekali tidak menoleh padanya. Syafira tentu saja merasa senang karena artinya dia tidak mendapatkan kemarahan dari CEO yang suka sekali dengan segala kesempurnaan itu, padahal menurut Syafira di dunia ini tidak akan ada yang sempurna. Adapun itu pasti dibaliknya ada kekurangannya, dia berkata benar kan? Nah sama seperti pekerjaan manusia yang tak luput dari kesalahan. Jika ingin segalanya benar, maka minta saja pada Tuhan yang maha sempurna. Mengingat-ingat pekerjaannya dua hari ini membuat Syafira sedikit pusing, dia memang tak bekerja berat seperti kuli bangunan. Tetapi ternyata, otaknya cukup terkuras habis. Sebenarnya tak hanya otak melainkan emosinya juga, kenapa begitu? Bayangkan saja dia harus pandai menahan segala emosi yang hampir meledak jika saja Bossnya itu mulai berulah lagi padanya. Si Mr. Perfect itu dengan segala keinginsempurnaannya itu berhasil membuatnya pusing tujuh keliling karena harus bolak-balik dari ruangannya menuju tempat printer hanya untuk mengeprint satu persatu berkas. Astaga! Kalau begitu kenapa dia tidak meminta Syafira mengeprint semua itu dalam waktu yang sama? Jika begitu kan dia tidak perlu bolak-balik lagi! Ingin sih dia berteriak begitu tepat di hadapan Relix, tetapi pastinya dia akan langsung di depak dari perusahaan ini. Dia masih ingin berada di sini, biar bagaimanapun juga dia betah ada di sini karena semua orang baik-baik padanya. Terkecuali CEO-nya sendiri yang suka membuatnya repot. "Syafira! Sini masuk kamu!" Baru saja Syafira akan mendudukkan tubuhnya, Relix sudah memanggilnya. Dan hal itu membuat Syafira sangat geram sekali, astaga! Bossnya itu apa tidak bisa membiarkan dirinya istirahat barang sejenak pun kah? Mengapa dia selalu dipanggil terus? "Iya, Pak. Ada apa ya?" tanya Syafira kembali menghadap Relix dengan wajah lelah bercampur kesalnya. "Kamu saya minta print kan ini saja tidak bisa, kamu sebenarnya niat bekerja tidak sih!?" Syafira tak mengerti kenapa Relix tiba-tiba memarahinya, salah apa lagi dirinya oh Tuhan? "Ya Pak?" Relix berdecak ketika mendengar respon Syafira yang hanya seperti itu. "Kamu lihat sendiri hasil print-an kamu itu!" ucap Relix sambil melempar beberapa kertas itu di atas meja kerjanya. Syafira mulai meraih kertas itu kemudian dia kembali menatapnya satu persatu, tidak ada yang salah dalam kertas itu. Jika pun ada mungkin hanya sedikit tulisan yang pudar, tetapi masih bisa dibaca dengan jelas kok. Lantas apa yang salah dalam kertasnya ini? Apa Relix memang sengaja ingin mengerjainya? Syafira masih sibuk dengan pertanyaan demi pertanyaan yang muncul dalam benaknya, sedangkan Relix memperhatikan Syafira sambil bersedekap d**a. "Maaf, Pak. Saya tidak menemukan kesalahan dalam mengeprint ini, apa yang salah ya Pak?" Akhirnya Syafira memberanikan diri bertanya, walau besar kemungkinan Relix akan menyalahkannya yang tak becus menjadi sekretaris. "Kamu ini bagaimana sih? Masa menemukan kesalahan kamu sendiri saja tidak tahu!? Saya tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa menerima kamu yang masalah kecil seperti ini namun tidak bisa menemukannya." Dalam hati Syafira menggeram kesal, kalau dia punya keberanian besar sudah bisa dipastikan Relix akan mendapat amukan darinya. 'Ya kalau Bapak tahu ini masalah kecil kenapa Bapak permasalah!?' Dia ingin berkata demikian, namun dia tahan karena tidak mau Mr. Perfect itu semakin marah padanya. "Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak tahu di mana letak kesalahan saya dalam mengeprint, jika sekiranya menurut Bapak ada yang salah. Saya meminta tolong dengan hormat beritahu apa kesalahan saya supaya saya bisa memperbaikinya." Relix berdecak kesal, dengan kesal pria itu menunjuk kertas yang menjadi kesalahan Syafira. "Kamu lihat ini!? Ini, di sini letak kesalahan kamu! Kalau kamu tahu tintanya sudah mau habis, seharusnya kamu ganti dulu baru mengeprint file lagi!" Syafira sudah menduganya, dia pasti akan kena semprot lagi oleh Relix hanya karena masalah kecil. Syafira benar-benar tak habis pikir, terbuat dari apa hati atasannya ini? Kenapa dia suka sekali marah-marah? Atau jangan-jangan dia tak punya hati lagi! Ah mana mungkin, kalau di rumah suaminya kan sangat mencintainya sudah bisa dipastikan kalau Relix memiliki hati. Astaga! Syafira langsung menggeleng ketika dia malah memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dia pikirkan di kantor, ingat Syafira! Ini kantor bukan rumah! Bersikaplah profesional, batinnya berusaha mengingatkan dirinya sendiri. "Mengapa setiap saya menjelaskan kesalahan kamu, maka kamu akan selalu bengong Syafira!" Syafira tersentak, dia kembali pada kesadarannya ketika mendengar suara Relix yang menggelegar. "M-maaf, Pak." Syafira menunduk, dia merasa terintimidasi dengan tatapan tajam Relix. Kenapa mata Relix begitu dingin sekali padanya? Sangat berbeda sekali saat mereka di rumah, Relix akan memandangnya hangat dan penuh cinta. Astaga! Syafira! Hentikan pikiranmu itu, Syafira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bengong lagi!" Wanita itu berjengit kaget ketika Relix berbicara tepat di telinganya dengan suara keras. "Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf, ya sudah saya akan mengeprint laporan ini kembali." Syafira bergegas mengambil kertas itu kemudian pergi dari hadapan Relix. "Ya ampun, itu Relix apa monster ya?" gumam Syafira sambil mengusap dadanya, mencoba menetralkan rasa terkejutnya karena teriakan Relix. Sedangkan di dalam ruangan, Relix menghela napasnya ketika melihat Syafira pergi dari ruangannya. Dia tersenyum tipis kemudian kembali duduk di singgasananya, sebenarnya Relix tak ingin bersikap seperti ini pada istrinya. Tetapi harus dia lakukan demi menjaga profesionalitas kerjanya, dia tidak mau bersikap baik pada Syafira dan berujung dia yang tidak profesional. Toh, ini kan yang Syafira inginkan? Istrinya ingin agar mereka bekerja dengan profesional tanpa memandang status mereka yang merupakan suami-istri, Relix hanya mengikuti kemauan istrinya saja. "Mau ke mana, Ra?" tanya Luna ketika melihat Syafira melewatinya. "Mau mengeprint, Bu" jawab Syafira sopan. "Lagi?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. Syafira mengangguk sambil tersenyum kaku, dia bingung juga ingin mengatakan apa pada Luna. Tidak mungkin kan dirinya mengatakan hal yang sebenarnya pada Luna? Dia tidak mau menyebarkan aib Mr. Perfect itu, ya walaupun pada kenyataannya semua sudah tahu sikap Relix. Namun tetap saja dia tidak mau berbicara yang tidak-tidak pada Laura, apalagi di saat jam kerja. Bisa-bisa Relix tak sengaja mendengar obrolan mereka dan dia akan dihukum untuk yang kesekian kalinya, membayangkan hal itu membuat Syafira bergidik. "Iya Bu, kalau begitu saya permisi ya Bu?" Luna mengangguk dan membiarkan Syafira pergi mengeprint, meskipun dia masih menyimpan rasa penasarannya atas alasan Syafira yang berkali-kali pergi ke tempat yang sama. Namun dia tahan, karena dalam bayangannya mungkin itu ulah CEO maha sempurna mereka. "Periksa yang teliti, ya Ra? Ingat jangan ada yang lecet sedikitpun. Nanti si Mr. Perfect itu marah lagi sama lo," ucap Syafira memperingati dirinya sendiri sambil membolak-balikkan kertas itu. Dia mencari-cari siapa tahu ada kertas yang cacat, lebih baik dia mewanti-wanti hal yang akan terjadi kan? Daripada dia harus kena semprot lagi kemudian mengulangi hal yang sama untuk kesekian kalinya. Syafira benar-benar sangat lelah, dia ingin sekali duduk barang sejenak saja. "Semoga aja kali enggak salah," gumam Syafira sebelum memasuki ruangan Relix. "Ini Pak, sudah saya print kan kembali" uca Syafira sambil menyerahkan kertas-kertas yang baru saja dia print. "Taruh saja di situ," ucap Relix acuh. Pria itu sibuk dengan laptopnya membuat Syafira penasaran sebenarnya apa yang tengah Mr. Perfect itu kerjakan, maklum saja Syafira masih baru di sini sehingga dia tak begitu paham dengan urusan pekerjaan Relix, dia sih sudah diberitahu pekerjaannya apa. Tetapi tetap saja rasa penasaran itu ada saat melihat Mr. Perfect itu terlihat sibuk. "Apa jadwal saya sore ini Syafira?" tanya Relix membuat Syafira langsung membuka buku agendanya yang memang dia simpan di dalam saku roknya karena ukuran buku itu sangat kecil dan untuk mempermudah dirinya membawa buku agenda itu ke mana-mana. "Sore ini Bapak ada pertemuan dengan Pak Gunawan, salah seorang pelanggan setia di perusahaan kita." Syafira membaca buku agenda itu membuat Relix mengangguk. "Baiklah, persiapkan dirimu karena mungkin sebentar lagi kita akan berangkat. Ah iya, katakan pada Pak Gunawan bahwa pertemuannya dimajukan saja. Ada urusan lain yang harus saya kerjakan," ucap Relix sambil menutup laptopnya setelah sebelumnya menyimpan file laporan yang telah dia edit. "Baik, Pak. Ingin dimajukan jam berapa ya, Pak?" tanya Syafira karena tadi Relix tak menyebutkan jamnya. "Jam tiga siang saja," jawabnya sambil memperbaiki jasnya yang sedikit berantakan. "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi keluar ya, Pak? Saya ingin menghubungi sekretaris Pak Gunawan dulu." Relix mengangguk dan membiarkan Syafira pergi dari ruangannya. Syafira duduk di kursinya, kemudian meraih telepon seluler yang ada di mejanya. Dia mendial nomor sekretaris pelanggan setia mereka, Syafira hanya menunggu tiga puluh detik untuk panggilannya diterima. "Hallo Bu Jenny, ini saya Syafira sekretarisnya Pak Relix ...." sapa Syafira ketika teleponnya diangkat. "Hallo, saya sendiri. Ada apa ya Bu Syafira?" "Jadi begini Bu, Pak Relix mengatakan kalau dia ada urusan sore nanti. Beliau meminta agar pertemuannya dengan Pak Gunawan dimajukan menjadi jam tiga siang, kira-kira bagaimana ya Bu?" Syafira langsung mengatakan niatnya menghubungi Jenny. "Baiklah Bu Syafira, tunggu sebentar ya? Akan saya tanyakan dulu pada Pak Gunawan" ucap Jenny. "Baik, Bu. Ditunggu," balas Syafira sopan. Syafira menunggu Jenny yang sepertinya tengah berbicara dengan seorang pria yang Syafira tebak adalah Pak Gunawan, bagaimana dia bisa mendengar? Itu karena mungkin Jenny lupa mematikan suara telepon sehingga ketika wanita itu dan Pak Gunawan berbicara maka Syafira mendengarnya. Hal itu tak berlangsung lama karena dalam jangka satu menit, Jenny sudah kembali berbicara padanya. "Pak Gunawan setuju untuk memajukan pertemuan pada jam tiga sore Bu Syafira." Mendengar hal itu membuat Syafira tersenyum lega. "Terima kasih Bu, kalau begitu saya tutup ya teleponnya Bu." "Baik Bu," Tuut.... Syafira dapat tersenyum dengan lega karena tugasnya yang kesekian kalinya akhirnya selesai, beruntunglah dirinya karena Pak Gunawan setuju dengan usul Relix yang ingin memajukan jadwal. Karena jika tidak, maka bisa dipastikan dia yang akan terkena getahnya. Bukan menerka-nerka sih, karena hal itu pasti terjadi. Memangnya siapa lagi yang akan Relix salahkan selain dirinya? Sangat tidak mungkin Relix menyalahkan Pak Gunawan yang notabenenya adalah pelanggan setianya. "Hallo, Pak Relix. Pak Gunawan setuju dengan usul Bapak yang ingin memajukan jadwal pertemuannya," ucap Syafira di telepon. Syafira terlalu malas berjalan menuju ruangan Relix, akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi atasannya itu saja melalui telepon yang tersedia. Ah kenapa dia tidak mencoba hal ini dari kemarin-kemarin ya? Otaknya tak kepikiran sampai situ ternyata. Kalau dia kepikiran dari kemarin kan, dia tidak perlu merasa lelah bolak-balik ruangan itu. Sekali dua kali tidak masalah, namun Relix memanggilnya berkali-kali itu yang menjadi masalah. Mana sepatunya ini haknya ukuran tujuh senti meter lagi, bisa dibayangkan seberapa lelah kakinya yang jenjang ini? "Oke, kamu bersiap-siaplah. Kita akan berangkat dari sekarang," ucap Relix kemudian menutup teleponnya secara sepihak membuat Syafira melongo dengan telepon yang masih menggantung ditelinganya. Pintu ruangan Relix terbuka, menampilkan pria itu dengan setelan jasnya yang selalu rapi tanpa kusut sedikitpun. Relix menghampiri Syafira yang masih membebani tasnya, wanita itu memasukkan beberapa file yang mungkin akan sangat diperlukan di sana. "Ayo Pak kita berangkat!" ajak Syafira penuh semangat hingga tanpa sadar dia berteriak, ketika mendapat tatapan aneh dari Relix Syafira hanya tersenyum kikuk. "Maaf, Pak" ucapnya. "Ayo." Akhirnya Syafira mengikuti Relix dari belakang, dia terlalu lama menunduk hingga tanpa sadar menabrak punggung tegap Relix ketika pria itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Kamu itu sekretaris saya, berjalan di samping saya!" titahnya tegas tak terbantahkan. "Baik, Pak." Syafira akhirnya berjalan bersisian bersama Relix. Mereka memasuki mobil kantor yang sudah ada sopir yang akan mengantarkan mereka pergi ke tempat tujuan, sepanjang perjalanan Syafira lebih memilih menatap luar jendela. Dia tidak berani menatap wajah CEO-nya itu, bukan tidak berani sih. Dia berani, cuma takut saja kalau dia salah lagi. Dimarahi oleh Relix itu menyeramkan, apalagi mendapat hukuman dari Relix. Itu lebih menyeramkan daripada bertemu dengan hantu tepat di depan mata, eh ralat. Syafira takut hantu, dia tidak jadi berkata seperti itu. Dia tarik kembali ucapannya yang tadi, karena dua hal itu ternyata sangat menyeramkan dalam hidup Syafira. "Rapikan dandananmu itu dulu, saya tunggu di luar. Saya tidak ingin sekretaris saya terlihat tidak rapi saat bertemu dengan klien," ucap Relix ketika mobil telah berhenti tepat di depan sebuah restoran cepat saji kemudian dia keluar dari mobil meninggalkan Syafira yang terdiam. "Ada yang salah sama dandanan gue emangnya ya?" gumamnya. Dengan cepat, Syafira mengambil kaca kecil yang selalu dia taruh di dalam tasnya. Dia mulai memeriksa dandanannya yang terlihat masih rapi, tidak ada yang salah dengan dirinya. Akhirnya wanita itu hanya mengangkat bahunya acuh kemudian menyusul Relix keluar dari mobil, dia melihat Relix sedang berdiri dengan gaya cool-nya. Kedua tangan pria itu dimasukkan ke dalam saku celana bahannya, sejenak Syafira sedikit terpesona dengan gaya Relix. Namun ,hal itu tak berlangsung lama ketika Relix membalikkan tubuhnya dan menatap Syafira tajam. Seketika nyali Syafira menjadi ciut, ditatap sedemikian oleh Relix. Dia salah apa kali ini? "Mengapa kamu belum juga memperbaiki dandananmu itu?" tanyanya tajam. "Maaf, Pak. Menurut saya dandanan saya tidak ada yang salah, sudah benar Pak." Syafira berani menjawab karena menurutnya tidak ada yang salah dengan dirinya. Relix menatap Syafira lekat membuat wanita itu sedikit gugup, tangan Relix terulur membenarkan satu helai rambut Syafira yang mencuat membuat Syafira menahan napasnya sepersekian detik. "Lain kali benarkan tatanan rambutmu itu!" ujarnya kemudian pergi dari hadapan Syafira. "Astaga! Hanya satu helai rambut loh! Dasar Mr. Perfect!" umpat Syafira kemudian berlari menyusul langkah lebar Relix yang sudah memasuki area restoran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD