6. Kencan

2128 Words
Hari ini adalah hari yang cukup menenangkan bagi Relix dan Syafira, mengapa bisa begitu? Karena hari ini mereka sama-sama tidak perlu disibukkan dengan yang namanya pekerjaan. Mereka bisa bersantai di apartemen tanpa perlu pusing memikirkan laporan, bertemu dengan klien dan segala t***k bengeknya itu. Bagi Syafira, hari libur seperti ini adalah hari yang dia tunggu-tunggu setelah satu mingguan dia bekerja di sebuah perusahaan dengan seorang CEO perfeksionis yang tak lain adalah suaminya sendiri. Akhirnya Syafira bisa menikmati waktu tenangnya tanpa dipusingkan dengan segala pekerjaan yang membuatnya sakit kepala dan ingin memaki-maki atasannya itu, yang tak lain adalah suaminya sendiri. Sedangkan bagi Relix sendiri, hari libur tentu saja adalah hal yang menyenangkan. Mungkin bagi dirinya yang terkenal perfeksionis, orang mengira dirinya tidak menyukai hari libur. Dirinya selalu disebut-sebut sebagai pria yang gila kerja, iya mungkin itu dulu. Namun, setelah menikah dengan Syafira semua hal itu berubah. Dia malah lebih ingin banyak libur agar bisa menikmati waktu berdua dengan Syafira, maklum saja karena asal kalian tahu saja bahwa Syafira dan Relix adalah pengantin baru. Ya mereka menikah tepat sebelum Syafira melamar pekerjaan menjadi sekretaris CEO, itu berarti dua minggu yang lalu. Bukankah itu memang sedang hangat-hangatnya sebuah hubungan pernikahan? Hal itulah yang dirasakan dua orang yang kini duduk saling berdempetan di sebuah sofa dengan televisi yang menyala. "Kamu beneran enggak mau kalau kita bulan madu, Yang?" tanya Relix sambil memainkan rambut panjang Syafira. Istrinya itu bersandar nyaman di dadanya, posisi yang benar-benar sangat Relix suka karena dengan hal ini dia bisa menikmati kehangatan tubuh Syafira dengan memeluk istrinya dari belakang. "Aku kan baru kerja, enggak mungkin kalau ambil cuti kan?" Syafira berbalik untuk menatap manik abu-abu bercampur hijau milik Relix, wajah blasteran suaminya itu terlihat sangat tampan dan seksi dengan rambut basahnya. Syafira langsung menggeleng ketika pikiran kotor mulai bersarang di otaknya, astaga! Sepertinya dia mulai tertular virus m***m suaminya. Wanita itu terus saja menggeleng-gelengkan kepalanya hingga membuat Relix mengernyit heran, mungkin di pikiran Relix sekarang adalah 'ada apa dengan Syafira?' namun dia hanya diam saja hingga Syafira akhirnya menghentikan gelengan kepalanya. "Mikirin apa hayo?" goda Relix membuat Syafira menggeleng. "E-enggak mikirin apa-apa," jawab Syafira gelagapan. Relix tentu saja tak percaya dengan mudah atas apa yang dikatakan sang istri, tetapi dia lebih memilih mengabaikan saja. Bukan hal itu yang lebih penting, hal yang paling penting adalah dia harus mengajak Syafira berbulan madu. Sudah lama sekali dia menantikan pergi ke suatu tempat sepi yang hanya ada dirinya dan Syafira, mereka bercinta seharian dengan suasana yang begitu sepi dan romantis. Istrinya itu memakai lingerie merah darah yang menonjolkan lekuk tubuh seksinya, berjalan dengan perlahan mendekatinya. Relix menggeleng, apa yang dia pikirkan tadi? Mengapa dia jadi menginginkan hal itu cepat terjadi? "Mau ya kita bulan madu, Yang? Kita ini masih pengantin baru loh. Masih anget-angetnya, masa enggak ada honeymoon-nya?" Relix kembali melancarkan aksinya untuk membujuk Syafira agar istrinya itu mau mengiyakan ajakannya. "Enggak bisa, aku enggak mungkin minta libur di saat aku pun masih baru." Mendengar hal itu, Relix menghela napasnya. "Aku kan Bossnya, kamu enggak perlu takut kalau ada yang marahin kamu." Syafira mencibir, benarkah Bossnya itu tidak akan marah? Justru karena Bossnya itu adalah Relix maka dia tidak mau mengambil resiko. "Bukan masalah itu juga, aku enggak mau jadi bahan gosip orang kantor kalau aku berani ambil cuti di saat aku masih baru. Bisa-bisa nanti aku digosipin yang enggak-enggak, ya meskipun aku juga takut kalau CEO-ku itu nanti marah. Kan kamu tahu sendiri kalau CEO di sana itu ya, perfeksionis banget. Apa-apa yang aku kerjain selalu salah di mata dia, padahal kesalahan aku itu cuma kecil banget tetapi tetap aja salah. Mana hobinya itu marah-marah lagi, coba aja kalau dia bukan atasan aku, aku pasti-...." Syafira langsung merapatkan bibirnya begitu sadar dia sedang berbicara dengan siapa, astaga mengapa dia bisa lupa kalau suaminya ini merupakan CEO-nya yang artinya dia tadi sedang membicarakan keburukan orang lain di depan orang yang sedang dia ceritakan keburukannya. Andai saja Syafira bisa memiliki mesin waktu milik Doraemon pasti dia sudah menggunakannya dari tadi, dia ingin mengembalikan waktu di mana dirinya yang belum mulai berbicara tentang keburukan si Mr. Perfect alias suaminya sendiri. Sedangkan Relix menahan tawanya ketika melihat wajah masam istrinya, dia sangat mengerti sekali apa yang tengah Syafira pikirkan. Ah apa seharusnya dia mulai berakting untuk mengerjai istrinya? Sepertinya itu bisa dicoba, hitung-hitung sebagai hiburannya setelah berhari-hari berkutat dengan pekerjaannya. "Oh jadi aku di mata kamu seperti itu saat di kantor?" tanya Relix sambil bersedekap d**a, dia bahkan melepaskan pelukannya di pinggang Syafira dan hal itu membuat wanita itu gelagapan. "M-maksud aku enggak gitu, aku tuh cuma-... cuma ...." Syafira tak dapat melanjutkan perkataannya. "Cuma apa?" tanya Relix dengan nada yang dibuat sedatar mungkin, Syafira meneguk ludahnya susah payah. Berkali-kali Syafira mengumpati dirinya dalam hati, terkadang mulutnya ini memang sulit terkontrol jika sudah menceritakan kekesalannya pada seseorang. Namun sasaran ceritanya kali ini adalah orang yang salah, kurang konyol apalagi dirinya ini? Bercerita keburukan seseorang di depan seseorang yang sedang dibicarakan. Adakah yang sama seperti dirinya? Sepertinya tidak ada karena hanya dirinya lah yang seperti itu, astaga! Berkali-kali dia merutuki mulutnya yang nakal ini. "Cuma itu lah pokoknya!" ucap Syafira yang mulai kesal karena tak dapat menjelaskan perkataanya sendiri. Relix yang tak dapat menahan tawanya lagi pun akhirnya memecahkan gelak tawanya hingga tawa itu memenuhi seluruh ruangan kedap suara ini, Syafira menatap Relix kesal ketika dia tahu kalau dirinya sudah berhasil dikerjai oleh suaminya. Ah kenapa Syafira tak menyadari itu ya? Padahal dia sudah sangat mengenal Relix yang memang suka sekali menggodanya sejak dulu. Bahkan sampai sekarang pun pria itu tak pernah berubah, suka sekali membuatnya kesal. Seakan rasa kesalnya itu adalah hal yang lucu bagi pria itu, kalau saja menumpuk kepala suami dianggap sopan maka akan Syafira lakukan sejak tadi. "Ketawa aja terus sampai ayam betina berkokok nyaring," ucap Syafira ketus membuat Relix langsung menghentikan tawanya. "Ngambek nih ceritanya?" tanya Relix yang kini kembali memeluk istrinya dari belakang, dagunya dia tumpukan di atas bahu Syafira. "Harusnya aku loh yang ngambek karena kamu ngata-ngatain aku, kok sekarang jadi kebalik?" Syafira semakin kesal ketika Relix kembali membahas yang membuatnya malu pada dirinya sendiri. "Enggak usah di bahas lagi yang itu!" kesalnya yang di balas kekehan ringan Relix. "Terus bahas apa? Bahas anak aja yuk!" ajak Relix dengan semangat, Syafira langsung mencubit perut Relix kencang hingga membuat pria itu mengaduh. "Giliran bahas anak aja semangat banget!" cibir Syafira membuat Relix menyengir. "Laki-laki kan memang seperti itu, Yang. Kalau enggak gitu, patut dipertanyakan kenormalannya." Pandai sekali Relix membela diri, hingga membuat Syafira mencibir mendengarnya. "Alasan aja," cibirnya. "Jadi kamu beneran enggak mau nih kalau kita pergi bulan madu?" Syafira menggeleng. "Tadi udah aku jelasin alasannya, masa mau aku ulang lagi. Capek mulut aku jelasinnya," ujar Syafira. "Kalau capek biar aku aja yang di atas kamu di bawah aja, biar aku yang bekerja." Perkataan ambigu menjurus m***m yang Relix lontarkan membuat Syafira kembali melayang cubitan terindahnya untuk suami yang paling dia cintai itu. Syafira bukan wanita polos yang tak tahu apa-apa, meskipun pergaulannya tak sebebas teman-temannya dulu namun tetap saja dia mengerti perkataan ambigu itu. Mungkin jika gadis yang benar-benar polos akan sangat bingung dengan perkataan Relix, tetapi tidak dengan Syafira. Dia sangat mengerti, maka dari itu dia memberikan cubitan tanda kasih sayangnya pada sang suami. "Auuh! Kamu kok suka cubit-cubit gitu sih, Yang? Sakit nih. Kalau mau cubit-cubit itu, yang di bawah Yang. Dia pasti suka banget," ucap Relix. "Sekali lagi kamu ngomong yang m***m lagi, enggak ada jatah buat kamu malam ini!" Relix mencebik, mengapa Syafira suka sekali mengancam dirinya? "Kita kencan yuk, Yang" ajak Relix. "Enggak ah males keluar." Respon Syafira membuat Relix kesal. "Berarti aku bisa dapat jatah double dong kalau kamu enggak mau kencan sama aku," ucap Relix terselip dengan ancaman yang membuat Syafira berdecak kesal. "Iya deh iya, aku siap-siap dulu. Memangnya mau ke mana sih? Kencan-kencan segala, biasanya enggak pernah." Syafira berdiri kemudian berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian sambil menggerutu kesal. Akhirnya di sini lah mereka berada, di sebuah pantai yang terlihat sepi dengan para pengunjung lainnya. Sebenarnya ada sih pantai yang cukup ramai, namun dua orang itu memilih berada di tempat yang sepi seperti ini. Relix awalnya ingin mengajak Syafira ke mall, namun Syafira dengan tegas menolak. Dia tidak mau pergi bersama Relix ke tempat ramai, dia takut kalau ada orang yang mengenali mereka hingga berita itu tersebar di seluruh penjuru kantor itu kan berbahaya baginya. Hingga akhirnya dengan perdebatan yang cukup lama mereka memilih pantai untuk menjadi destinasi kencan singkat mereka, di tempat sepi dengan semilir angin dan ombak pantai yang sangat indah serta menyejukkan mata. "Kamu haus enggak?" tanya Relix pada Syafira yang berada di pelukannya. Mereka memang duduk di bawah pohon kelapa dengan Relix yang memeluk bahu Syafira, sedangkan Syafira sendiri bersandar dengan nyaman di d**a suaminya yang sandarable. "Haus sih, cuma emang ada yang jualan minum di sini? Kalau kita mau beli minum kita harus balik ke tempat tadi." Benar juga apa yang Syafira katakan, tadi mereka memang berjalan cukup lama menyusuri bibir pantai hingga mereka berada di sini. Di tempat yang cukup sepi, jika ada orang pun mungkin hanya satu atau dua orang selain mereka, selebihnya hanya hewan-hewan laut dan pantai lah yang menemani mereka. "Ya udah kita balik aja lagi di tempat tadi, kita juga udah lama kan di sini? Aku juga laper, Sayang. Perut aku butuh nutrisi," ucap Relix setengah merengek sambil mengusap perutnya. Wajahnya kini tak seperti CEO yang Syafira kenal, ah iya dia lupa. Kalau di rumah Relix akan menjadi suami hangat dan penuh cinta, jika di kantor maka kalian sudah bisa menebaknya sendiri kan? "Kalau gitu sekalian kita pulang juga, udah siang kan? Aku juga udah capek dan panas kita lama-lama ada di sini." Relix mengangguk, dia merangkul bahu Syafira dan mengajak istrinya itu menyusuri bibir pantai untuk kembali ke tempat keramaian di mana mobilnya terparkir. Awalnya Relix ingin agar menu makan siang mereka adalah sushi, tetapi Syafira tidak menyukai makanan berbau Jepang. Menurut Syafira rasa masakan Jepang tak selaras dengan lidahnya yang kental dengan masakan Indonesia, akhirnya Relix mengalah dan membiarkan Syafira memilih tempat makan siang mereka. Pilihan Syafira jatuh pada rumah makan sederhana yang menjual berbagai macam masakan tradisional dengan cita rasa bumbu yang begitu kuat, meskipun Syafira tergolong anak konglomerat tetapi seleranya justru masakan rumahan seperti ini. Syafira malah tidak terlalu suka dengan masakan bergaya Eropa karena menurutnya itu sama sekali tidak mengenyangkan ketika masuk ke dalam mulut, harga mahal tetapi tidak mengenyangkan? Untuk apa? pikirnya. Relix sih tidak masalah Syafira mengajaknya makan ke tempat seperti ini, dia memang menyukai masakan Jepang namun dia juga suka dengan berbagai jenis masakan. Asalkan di dalamnya tidak ada yang namanya oncom, dia benci makanan dari ampas kedelai itu. Bukan benci sebenarnya, melainkan dia alergi. Entah bagaimana dia bisa alergi dengan oncom, dia dulu pernah mencoba oncom tepung dan wajahnya yang putih bersih langsung terkena ruam merah begitu memakan oncom itu. Dari situ lah dia tidak lagi ingin mencoba memakan oncom, lebih baik dia memakan udang sekalian daripada oncom. Toh udang tak membuat kulitnya alergi, aneh sih jika dipikir. Tetapi yang namanya alergi pasti berbeda-beda bagi setiap orang kan? Sama halnya seperti dia. "Mau coba ini?" tanya Syafira ketika melihat Relix sedari tadi memperhatikannya makan. "Enggak." Relix menggeleng, dia mau sih disuapi Syafira tetapi masalahnya makanan yang tengah istrinya makan itu adalah tumis oncom. Dia kan alergi dengan bahan makanan itu, membayangkan wajah dan seluruh tubuhnya terkena ruam merah membuat Relix bergidik. "Padahal ini enak loh," ucap Syafira sambil kembali menyuapkan tumis oncom itu ke dalam mulutnya. "Iya enak bagi kamu, tapi bagi aku enggak." Syafira tergelak di sela makannya ketika mendengar ucapan suaminya. "Alergi kamu itu aneh tahu enggak? Orang pada suka makanan yang beginian lah kamu malah alergi? Udang malah enggak, kan aneh." Relix mendengus ketika Syafira mengejeknya. "Enggak usah ngejek deh, habisin aja itu makanan kamu." Lagi, Syafira kembali tergelak hingga dia tersedak makannya. "Tuh kan, makanya jangan suka ngejek suami. Gini kan akhirnya, kualat kamu tuh." Meksipun berkata ketus seperti itu, Relix menyodorkan es teh miliknya pada Syafira yang langsung menerima dan meminumnya. "Udah belum nih?" "Bentar kali! Perut aku masih kenyang, enggak kuat jalan." Syafira menatap Relix kesal. "Makan banyak, tapi enggak gemuk-gemuk. Lari ke mana itu makanannya?" cibir Relix yang dibalas delikan mata Syafira. "Kalau aku gendut nanti kamu enggak cinta lagi sama aku," ucap Syafira. "Mana ada aku begitu? Mau bukti? Ya udah habis ini kita bikin anak aja biar kamu cepat hamil dan gendut. Ayo!" Relix terlalu bersemangat hingga tanpa sadar tersandung kursi yang dia duduki hingga tubuhnya terjerembab di atas meja, melihat itu Syafira menahan tawanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD